Dari manakah saya mendapat
inspirasi untuk meliput kasus perumahan di kota besar? Sebenarnya belajar dari
pengalaman. Sebagai orang yang beranjak dewasa (:p) , saya mulai belajar
investasi. Dengan tabungan yang belum cukup banyak, saya mau coba beli rumah
atau apartemen di Jakarta. Menurut saran beberapa teman, hal itu bakal lebih
menguntungkan ketimbang jadi anak kos yang duit sewanya melayang setiap bulan
tanpa beri keuntungan sebagai hak milik.
yahh...harapan minimal punya rumah kecil dari tabungan sendiri... |
Mulai deh cari-cari brosur
perumahan dan apartemen. Sebuah apartemen pun ditawarkan kepada saya dengan
lokasi persis di depan kantor. Mata saya segera tertuju ke tipe studio (yang
tentunya harganya paling murah). What??!!! Saya langsung tercengang... Rp 600
juta-an! Ini sebenarnya harganya yang kemahalan, atau saya yang emang mengalami
shock-therapy karena belum pernah menjajaki harga apartemen sebelumnya??
Usut punya usut, ternyata itu
termasuk dalam harga tengah – dalam artian bisa dapat yang lebih murah, bisa
lagi yang lebih mahal. Yang jelas, lokasi dan kelas apartemen yang dimaksud
akan mempengaruhi harga. Apalagi kalau lokasinya di tengah kota....hadeuhhh....
Harga rumah? Jangan ditanya....
Untuk yang tipe 36 aja bisa dapat dengan harga yang sama (Rp 600 juta-an) mungkin
dengan lokasi di daerah luar Jakarta (bodetabek). Pernah lho...dapat rumah
kecil harga Rp 60 juta-an... udah seneng banget...:”).....
apa mau dapat rumah di daerah banjir kayak gini?? |
Usut punya usut lagi...ternyata
lokasi rumah itu di pinggir pojok bogor, dan bangunannya mungkin ngga full dari
bata. Terus kalau ambil rumah yang itu, gimana cara ke kantornya di Jakarta
tiap hari?? (@_@?)....See....emang nyarinya gampang-susah-susah (susahnya lebih
banyak, hehehehe...)
Mari kita belajar berhitung...
Sanggupkah masyarakat Indonesia membeli rumah di negeri mereka sendiri?
Menurut rilis terakhir,
pendapatan per kapita Indonesia 2013 adalah Rp 36.5 juta (atau setara Rp 3.2
juta per bulan). Maka:
Pendapatan Rp
3,200,000 (asumsi pelaku masih single, alias belom menikah)
Transport (asumsi naik
transJakarta) Rp
210,000
Kos/ kontrak (asumsi ngga pake
AC) Rp 500,000
Belanja bulanan Rp 200,000
Makan (asumsi 2x sehari) Rp
600,000
Pulsa (asumsi dengan paket
internet) Rp 150,000
TOTAL Rp
1,700,000
Artinya, masih ada sisa Rp 1,500,000
untuk hang out bareng teman, beli baju, bayar iuran (air, listrik, gas, cuci),
patungan kado ultah/ nikah, dsb. Kira-kira sisa berapa ya? Katakanlah Rp
500,000. Lalu si pelaku bisa memilih uang itu untuk ditabung, bayar asuransi
kesehatan, atau untuk cicilan rumah. Dan pada kenyataannya, saat ini sulit
banget bisa dapat cicilan rumah seharga Rp 500,000 per bulan (fiuhh...).
Ironisnya, di tempat lain, ada
orang-orang tertentu yang bisa beli beberapa apartemen dan rumah sampe 10. Mungkin
mereka cukup beruntung (atau pintar mengelola keuangan). Tetapi angka back-log
(kekurangan rumah) kita yang sampai 15 juta unit (menurut kemenpera) atau 21
juta unit (menurut pengamat property) tidak bisa dianggap remeh... Jangan
berpikir bahwa mereka yang tidak memiliki tempat bernaung adalah para tukang
becak, anak jalanan, atau cleaning service....di dalamnya termasuk saya dan
sejumlah white-collar yang masih menumpang tinggal di rumah orang tua dan
menggunakan mobil hadiah ultah bokap-nyokap...
perumahan kumuh di tengah kota...ngga jauh adri apartemen harga 600 juta-an |
Simak wawancara saya dengan Ali
Tringhada, yang mengupas bobroknya sistem penataan tempat tinggal bagi rakyat
di negara kita...
LORI00:00
Dari UU yang sdh ada saat ini,
itu kebijakan yang berpihak pada rakyat atau tidak?
ALI00:13
Contohnya UU rumah susun, masih
ada pasal2 yang belum jelas
Misalnya harus membangun rusun 20
persen dulu. Terus belum ada peraturan jelas misalkan pengembang membangun, dia
harus kontribusi untuk membangun rusunami untuk yang golongan rendah
LORI
Untuk yang golongan menengah ke
bawah?
ALI 01:11
Iya. Itu juga belum jelas.
Sanksinya sudah jelas ada, tapi bentuknya belum jelas. Artinya gini, kalau si
pengembang membangun rumah susun, dia harus dalam jangka berapa tahun baru
selesai (rusunaminya)? Dan itu kompensasinya jangan dalam bentuk uang. Jadi
kalau pengembang mewah bangun apartemen, dia bangun rusun dalam bentuk fisik.
Kemudian pengembang kategori mewahnya itu belum ada. Jadi yang menjadi objek si
UU itu pengembang mewah, ok. Tapi mewahnya itu seberapa? Belum jelas
Kemudian ada lagi hunian
berimbang. Banyak pengembang2 menengah
atas yang belm bisa menerapkan 1:2:3. Jadi si pengembang itu harus membangun 1
unit rumah mewah:2 menengah:3 sederhana. Itu belum bisa diterapkan juga karena
banyak pasal2 yang belum detail
LORI 02:13
Jadi pada kenyataannya pada
praktek di lapangan hal itu ngga terjadi?
ALI 02:18
Iya betul. ...Jadi kalau
kemenpera bilang target pembangunan rumah 210ribu unit...itu target siapa?
Kalau itu target pemerintah, berarti pemerintah yang harus bangun
LORI 03:18
Pada kenyatannya?
ALI 03:19
Pada kenyataannya pengembang
swasta yang bangun.
Kalau kita bilang pengembang
swasta itu sah2 aja karena dia ada profit margin yang dia ambil. Tapi ini kan
suatu paradoksnya yang mindsetnya juga salah.
Kalau pemerintah bicara membangun
210ribu rumah itu public housing, itu yang bangun pemerintah di atas tanah
pemerintah. Jika dibangunnya di atas tanah swasta, itu pati ada margin disana
yang tiap tahun pasti naik karena mengikuti mekanisme pasar. Jadi mindsetnya
sudah salah.
LORI 04:18
Itu sebabnya harga apartemen,
rumah, rusun terus naik
ALI
Betul
LORI
Padahal daya beli masyarakatnya?
amit-amit deh...jangan sampai kita sampai tinggal di penampungan saking ngga ada rumah (ilustrasi) |
ALI 04:26
Semakin rendah. Karena ada
inflasi, kemudian BI rate naik. Kalau BI rate naik, pasti suku bunga KPR pun
naik. Setiap BI rate naik 1persen, ada penurunan pangsa pasar KPR 4-5 persen.
Artinya setiap tahun selalu jatuh itu daya beli. Sedangkan harga rumahnya
semakin naik. ...
LORI 05:36
Pak Ali, khan dari yang dirilis
pemerintah tahun lalu kita backlog sampai 15 juta unit. Setuju ngga dengan
angka itu?
ALI 05:47
Itu naik khan, dari sebelumnya
13, 6 juta unit tahun lalu menjadi 15 juta unit. Itu kan dalam kondisi biasa
yang kalau saya lihat ada backlog 600 – 800rb rumah. ..., itu kami dari IPW
memprediksi ada 21,6 juta (backlog) lho. Naiknya berlipat2, ya emang begitu. Harga
tanah, ya...2010 – 2012 itu aja sudah ngga masuk akal. Naiknya bisa 5- -60
persen bahkan lebih. di beberapa titik lokasi bahkan bisa sampai 100 persen.
Kalau harga tanah naik berlipat2, daya beli makin jatuh. Maka wajar aja kalao
backlog itu bisa naik sampai 2x lipat.
LORI 7:04
Untuk harga rumah tapak yang
ditetapkan pemerintah itu di range berapa, pak Ali?
ALI 07:09
Kalau zona aslinya 98-105 juta d
jabodetabek, tapi di beberapa daerah kayak Papua lebih tinggi lagi
LORI
Kalau rumah susun?
ALI
Dulu 144 juta, sekarang 216 juta.
Tapi ada yang mengusulkan 540 juta
gaya hidup kota besar...tinggal vertikal |
LORI
Angkanya masuk akal ngga itu?
ALI 07:33
Angkanya masuk akal sebenarnya,
karena ini kan datang dari pengembang swasta. Sekali lagi mereka kan buth
profit margin. ...
LORI
Kalaumelihat
rumah dan rusunaminya harganya di atas 100 juta, masuk akal ngga dengan penghasilan
rata2 masy. Ind. Saat ini?
ALI
Kalau 105 juta
landed ya (rumah tapak) itu masih bisa. Masalahnya lokasinya dimana? Pengembang
bisa bangun 105 juta, tetapi lokasinya makin jauh, makin jauh
LORI
Di pojok ?
ALI 09:16
Di pojok...di
ujung2 dunia, gitu lah.
Belum lagi
ongkos transportasi segala macam. Jadi bisa beli, tapi kan ngga memberi
produktivitas untuk dia. Bisa dia mencicil Rp 700rb per bulan, Cuma rumahnya
dimana? Spec nya seperti apa? Kalau kita bicara rusunami di tengah kota, itu
emang ngga isa engga harganya ya mesti sekitar 200jt an lah...itu yang masih
bisa terjangkau sama karyawan yang
bekerja di jakarta.
rumah tapak....di pinggir Jakarta |
Tapi saat
karyawannya mau beli yang harganya 200jt, apartemennya kan ngga ada. Ngga ada
pengembang yang mau bangun apartemen harga 200jt. Rata2 bangun di atas 200 jt
lah (ngga mau terus terang klo rata2 540jt an...itu pun Cuma tipe studio).
Nah itu tugas
pemerintah . ini kau menengah tanggung nih dan menengah ke bwah, ketika mereka
punya daya beli 100-200 juta, karena pengembang ngga mau melirik kaum menengah
bawah yang profitnya sedikit. Sah2 aja, saya ngga nyalahin pengembang. Yang
saya salahin pemerintah tanggap harusnya ini tanggung jawab pemerintah, bukan
tanggung jawab swasta.
Ya, 1000 tower.
Bagus ngga? Bagus. Itu visi ke depan. Sebenarnya JK sudah melihat bahwa siap
ngga siap, mau ngga mau kita tinggal vertikal. Tapi masalah implementasi di
lapangan, aturan yang belum jelas, itu yang membuat program 1000 tower itu
gagal
LORI
Dari 2007 –
sekarang, dari 1000 tower itu berapa yang berhasil terealisasi?
ALI 11:07
Dari data
terakhir yang saya miliki, itu sekitar 30an persen. Dari yang terbangun itu
pun, ngga semuanya rusunami.
LORI
Karena?
ALI
Kan pengembang
mau ijin bangun rusunami. Dulu harganya masih 144 juta. Pengembang bangun
dengan ijin rusunami subsidi. Pada kenyataannya, dia ngga membangun semuanya yg
144 juta. Dia menjual malah dengan harga 300 jutaan (woww...2x lipat lebih).
Artinya ini kan ngga mencapai target
LORI
Dari awalnya
disasar untuk buruh dan semacamnya,,,,
ini rusunawa, rusunami, atau anami??? |
ALI 11:52
Betul. Dari
yang awalnya 144 juta untuk menengah ke bawah, pengembang malah bangunnya yang
350 jt. Kita ngga nyalahin pengembang, pemerintah yang aturannya ngga jelas.
Ada ngga dulu aturannya pengembang kalau bikin 1 tower, ini 60 persennya untuk
yang harga 144 juta rusunami subsidi? Ngga ada. Jadi kalau pengembang mau
bangun Cuma 1 lantai aja yang rusunami subsidi boleh ngga? Boleh.
LORI 12:24
Sisanya mewah,
terserah, hehehe..
ALI 12:26
Iya. Ngga ada
aturannya kan...
LORI
Itu semua
rusunami yang terbangun seperti itu di jakarta?
ALI
Hampir semua. Makanya
ngga ada yang bilang rusunami lagi. Sejak pengembang jualnya di atas harga 350
jt segala macem, pengembang ngomongnya anami – apartemen hak milik. Kan bukan
rusun lagi. ...
LORI
Pak, kan ada
masy kita yg konvensional – artinya maunya tinggal di rumah tapak. Apabila kita
melihat mereka tinggalnya di pinggir kota, kerjanya di kota, kemudian harus
bolak2 semacam itu. Apalagi ada yg ngga tinggal di rumah mili, tapi masih
ngontrak , kira2 kalau kita hitung berapa sih cost nya?
resiko kalau rumah di pinggir kota, tapi kerja di tengah kota....naik kereta |
ALI 13:52
Gini, ya....
Kita harus
merubah mindset. Kita ngga bisa ngomong lagi “saya mesti punya tanah”, ngga
bisa. Karena kembali lg ketika kita memiliki daya beli Rp 200 juta kaum
menengah tanggung, dia akan tinggal di pinggir kota. Dia kan mau rumah yang ada
tanahnya gitu kan. Dia bela2in 200jt beli cicilan di pinggiran jakarta. Tapi
kembali lagi masalahnya, ketika dia beli, dia sadar bahwa saya buat bolak balik
transportasi aja habis Rp 1juta
LORI
Sebulan?
ALI
Sebulan. Bahkan
bisa lebih malahan. ...
Jadi totalnya
bisa Rp 2,5 jt sebulan. Kalau dia menyicil rusunami yang harganya Rp 200 juta –
kalau ada lho, ya, seharusnya pemerintah ada tuh – kalau dia bisa menyicil Rp
2,5 jt, seharusnya dia bisa beli 300-400jt tuh apartemen. Secara produktivitas
pun dia tidak bolak balik berjam-jam ke rumahnya yang landed.
Jadi ini salah
satu fenomena yang – mau ngga mau – kalau kita kerja di metropolitan, apalagi
yang sarana transportasinya belum begitu bagus, kita harus membeli hunian yang
dekat dengan tempat tinggal kita (harusnya tempat kerja kita...). kalau nanti
kita sudah punya tabungan, mau beli rumah,bisa. Tapi itu priority nya sudah
jadi kedua. Beli apartemen dulu, beli rumah nanti. Pekerja kayak gitu. Kita
ngga bisa memaksakan bahwa kita harus punya rumah.
Kalau mau punya
rumah berarti harus siap – yaitu spendingnya harus naik – 2,5jt sebulan. Itu
belum dll, belum makan segala macam. Apa iya karyawan bisa kuat dengan mencicil
seperti itu? Saya rasa engga. Ujung2nya kredit macet – rumah yang dia beli itu
kosong, sedangkan dia tetap sewa atau kos di jakarta. Ujung2nya kan mubazir
juga, sayang... kalau dia bisa beli rusunami , ngga beli landed, dia punya aset
di jakarta dan harganya makin naik.
apa rela bangun sesubuh ini tiap hari demi kerja di Jakarta??? |
LORI 03:00
Bagaimana
dengan mekanisme bank tanah yang pak Ali ceritakan? Sebenarnya bagaimana
caranya dan negara mana yang sudah menerapkan?
ALI 03:07
Sebenarnya bank
tanah gini...umumnya udah ada bank tanah. Misalnya gini pemda2 menyediakan
10-20 persen untuk perumahan golongan menengah ke bawah. Masing2 pemda sudah
ada, masalahnya belum ada keseriusan pemda2 untuk memanfaatkan tanah itu. Dia
juga ngga tau ini buat siapa, karena pemda2 juga mungkin kekurangan pengetahuan
tentang tata ruang properti, dsb sehingga harus rasional juga. Jadi pemerintah
seharusnya punya badan yang mengurusi tanah2 yang dikembangkan untuk golongan
menengah ke bawah. Tanahnya dari siapa? BUMN. Pemerintah bisa aja – presiden
ketok palu, gitulah – tolong BUMN menyediakan 5 persen tanahnya untuk golongan
menengah bawah. Bisa ngga? Semestinya bisa. Itu akan dikelola oleh suatu badan.
Dia seperti pengembang besar pemerintah lah. Dia mesti membangun dimana aja, rumahnya
dimana, kota ini butuh berapa unit, dia bisa segala ini. Di singapore itu ada
Housing Development Board. HDB disana, dia punya bank tanah, dia bangun untuk
golongan menengah ke bawah, dia jual untuk konsumen menengah ke bawah. Ketika
si konsumen itu mau menjual kembali, menjualnya ngga boleh ke umum. Karena
kalau dijual ke umum harganya dah ngga masuk akal – itu mekanisme pasar yang
berlaku. Kembali lagi kalau kita bicara soal mekanisme pasar, itu bukan public
housing. Ini kita bicara tentang public housing. Konsumen itu harus menjual
lagi ke pemerintah. Ketika dijual lagi pemerintah, pemerintah sebenarnya
berfungsi untuk mengendalikan harga tanah kan. Di Indonesia kan ngga ada. Ngga
ada kalau rumah-rumah pemerintah harus dijual lagi ke pemerintah itu ngga ada.
Iu pun membuat harga tanah semakin naik...semakin naik..pemerintah pun ngga
bisa mengendalikan harga tanah.
Nah kembali
kita katakan dulu ada perumnas. Dulu perumnas ini cukup bagus. Cuma masalahnya
sekarang perumnas masuk di bawah BUMN. Itu yg misi sosialnya berkurang lah – karena
dituntut profit di BUMN. Semestinya ada semcama perumnas lah, yang bisa
mengelola bank tanah ini.
LORI
Saat ini kita
ngga punya?
ALI
Ngga punya.
Konsep paling sederhana sebenarnya seperti ini, ini bukan konsep baru
sebenarnya. Dia punya aset tanah negara yang tadinya diduduki secara fisik –
dia punya waduk 2 dan segalanya itu kan tanah pemprov DKI – dikembalikan lagi
sebagaimana kepemilikannya adalah tanah pemprov DKI dan dia membangun rumah2
susun disana. Itu konsep bank tanah.
Meskipun sekarang
masih terbatas rusunawa ya untuk kaum pekerja informal, mesti sewa. Tapi dalam
perjalanannya pemprov DKI mesti jeli juga nih. Karena pada kenyataannya kaum
menengah tanggung ......yang bisa membeli Rp 200 jt , tapi apartemennya ngga
ada. Jadi ini dilema. Jadi pemprov DKI tidak hanya memberi untuk kaum informal.
Karena sebagian
besar, mungkin hampir kalau di Jakarta ini 60-70 persen itu karyawan, bukan
sektor informal. Itu yang karyawan kantor segala macam itu yang saya bilang
kaum menengah tanggung. Ini yang belum ada hunian. Ketika mereka masuk jakarta,
saat jakarta banjir, lumpuh kan semuanya. Yang kaum commuter2 semua kan lumpuh.
Ngga bisa masuk jakarta. Berapa trilyun tuh ruginya jakarta. Tapi kalau mereka
masuk kawasan jakarta, dekat dengan tempat kerjanya –rusunami atau rusunawa –
itu lebih efektif.
Dan satu lagi
kalau kita melihat superblok2 ini – saya agak mengkritik masalah superblok di
jakarta. Saat itu diijinkan membangun superblok, seharusnya pemprov DKI harus
siap menyiapkan beberapa persen untuk jadi rusunami yang sederhana lah. Selama
ini kita kan ngga ada. Superblok selama ini dibangun apartemen menengah atas.
Asumsinya kalau dibuat superblok seharusnya yang kerja dan belanja itu tinggal
disana. Tapi saat dibangun menengah ke atas semuanya, pekerja disini kan yang
seharusnya ‘dapat jatah’ untuk tinggal disitu kan tetap aja kaum commuter
bolak-balik
ini orang-orang kerja di Jakarta, tapi entah tinggal dimana... |
LORI 08:17
Sedangkan yang
disana mungkin juga Cuma...
ALI
Investasi
LORI
Iya
investasi...ngga ditinggali
ALI
swasta akan terus membangun apartemen...dengan harga yang terus melonjak |
Iya..kosong.
itu yang saya katakan harus ada terobosan juga. Ketika dibangun superblok itu
seharusnya ada pengembang yang pengesahan untuk membuat itu tadi unit2
apartemen untuk golongan menengah ke bawah. Rusun lah. Itu kan lebih efektif.
Kalau di kota2 besar, paradigma kotanya kan sudah beda. Itu yang di tengah kan
kaum pekerja semua. Kayak di Hongkong. Yang menengah ke atas malah tinggal di
pinggir kota. Kalau di Indonesia kan kebalik. Semua berlomba2 di tengah, kaum
menengah atas, mewah segala macam, tapi tidak diimbangi dengan ketersediaan
kaum menengah bawah. Menengah bawah dipaksa untuk jadi kaum coomuter – bolak
balik bekasi tangerang gitu kan. Eh salah, bekasi – jkt, bogor – jkt, tangerang
– jkt. Semuanya begitu. Itu yang menjadi masalah kota di jkt.
LORI 09:19
Bagaimana
rencana dari pemerintah untuk membuat tapera? Ini bisa jadi solusi?
ALI 09:26
Secara
hitung2an bagus. Itu tabungan rakyat yang dalam 10-20 tahun ked epan mungkin bisa gratis hitung2anna ya untuk
golongan menengah bawah. Saya tidak mempermasalhkan. Visinya bagus. Di negara
mana-mana, di singapore, mereka punya semacam, tabungan rakyat. Cuma saya hanya
menggarisbawahi hati2 dengan sistem pengawasannya. Karena ini akan bergulir dana
puluhan hingga ratusan trilyun. Ini harus ada sistem pengawasan yang bagus.
Jangan sampai ini dipolitisir dan dimanfaatkan pihak2 tertentu juga yang
nantinya nga tercapai juga tabungan rumah rayat kan.