Apakah kamu pernah bercita-cita menjadi wartawan? Oh...ya..?
Sungguh...?? Kenapa? Kamu anak jurusa Ilmu Komunikasi? Atau....karena penggemar
film “News Room”? ...Mmmmm....mungkin kamu kolektor komik “The Adventures of Tintin”?
Apa sebenarnya target yang pengen kamu raih dengan jadi
wartawan? ID card press yang memungkinkan untuk tembus sampai Istana Negara? Nongol
di televisi memberikan report dan ditonton sama sanak keluarga dan temen-temen?
Bisa eksis di twitter dengan bilang “ok...live terakhir buat rapat paripurna
DPR bulan ini...done” yg digandrungi puluhan comment?? Jalan-jalan ke banyak
tempat?? Memuaskan berbagai keingintahuan mengenai kasus dan pojok-pojok
dunia????
Aku menyayangkan mereka yang terobsesi menjadi wartawan, tanpa mengetahui sepenuhnya fungsi jurnalis itu sendiri....mengharapkan berbagai privilege yang menyertai profesi itu, tanpa mengerti tanggung jawab pemberitaan yang ia berikan bagi masyarakat. Sejumlah orang bahkan sangat bangga menyebut diri mereka cameraman, reporter, fotografer, produser, anchor....tapi saat ditanyai hal-hal umum atau kasus, kemampuan beropini maupun analisis tumpul... Alasannya, "Gue khan cuma ambil gambar...ya, semuanya tergantung reporter/ bos gue", atau..."Yahhh...aku ngga ngerti yang itu...ngga pernah ada di list pertanyaan yg dikasih, sih... Di naskah yg aku baca ngga pernah ada" .
Masih ada lagi (yang saking terobsesinya) ngaku-ngaku wartawan. Padahal mungkin penulis lepas...atau makelar kasus. Kami sering menyebutnya "wartawan bodrex"....suka muncul di acara-acara liputan yang berbau hajatan.
Aku menyayangkan mereka yang terobsesi menjadi wartawan, tanpa mengetahui sepenuhnya fungsi jurnalis itu sendiri....mengharapkan berbagai privilege yang menyertai profesi itu, tanpa mengerti tanggung jawab pemberitaan yang ia berikan bagi masyarakat. Sejumlah orang bahkan sangat bangga menyebut diri mereka cameraman, reporter, fotografer, produser, anchor....tapi saat ditanyai hal-hal umum atau kasus, kemampuan beropini maupun analisis tumpul... Alasannya, "Gue khan cuma ambil gambar...ya, semuanya tergantung reporter/ bos gue", atau..."Yahhh...aku ngga ngerti yang itu...ngga pernah ada di list pertanyaan yg dikasih, sih... Di naskah yg aku baca ngga pernah ada" .
Masih ada lagi (yang saking terobsesinya) ngaku-ngaku wartawan. Padahal mungkin penulis lepas...atau makelar kasus. Kami sering menyebutnya "wartawan bodrex"....suka muncul di acara-acara liputan yang berbau hajatan.
Banyak orang tidak menyadari bahwa menjadi wartawan pun ada
resikonya juga. Terlepas dari berbagai kemungkinan ditolak narasumber, jam
lembur yang memang ngga pernah ada bayaran, jam kerja yang terbolak-balik,
topik pembicaraan yang terkesan ‘tinggi’ klo ketemu sama temen-temen saat reuni,
masih ada banyak hal yang orang biasa ngga tau bisa jadi resiko profesi
ini....terutama wartawan konflik.
Beberapa teman sesama wartawan sepakat bahwa profesi kami
ini bagaikan ‘kutukan’ (serem yahhh... =p). Ada kalanya ingin dilepas, karena
merasa kesulitan dengan ritme dan tuntutannya, namun merasa sulit ditinggalkan
saat mengetahui betapa banyak potensi diri yang kami gali secara mandiri saat
menjadi wartawan dan dapat melakukannya secara bebas....kami memimpin diri kami
sendiri untuk memastikan apa yang mau kami bagikan pada massa.....dan
memprediksi dampaknya.
Sejumlah orang yang bisa move on, akan sangat bersyukur bisa
meninggalkan profesi ini... sejumlah yang lain justru menjadi semakin matang
dan sangat mencintainya....meskipun ‘membayar mahal’ untuk tetap bertahan
disana...dan akhirnya mengeluarkan berbagai berita dengan pengaruh yang mengguncang dunia.
Jadi, maukah kamu memastikan apakah kamu ingin menapaki dunia yang satu ini? :)
Jadi, maukah kamu memastikan apakah kamu ingin menapaki dunia yang satu ini? :)
Berikut ini ada wawancara saya dengan salah satu senior yang
sangat saya hormati, Andi Riccardi. Ia adalah satu dari mereka yang menunjukkan
bagaimana dedikasi mereka di profesi yang mereka geluti...
LORI:
Bang andi mulai jadi wartawan
dari kapan? Sudah berapa tahun?
ANDI:
Aku tuh jadi wartawan itu
kebetulan, ya. Karena aku ngga punya background jurnalistik sama sekali...waktu
itu aku Cuma bekerja selama 9 tahun di production house yang terbesar di
indonesia pada waktu itu. .
Tiba2 tahun 97 itu aku ditawarin
untuk join di AP television ini. .. Aku
berangkat dari seorang asisten kameraman pada tahun 97. Waktu itu AP television
ini baru berdiri, ya di Jakarta. Jadi aku praktis Cuma 2 orang: cameraman ku
Tim Diggle dan aku sebagai asistennya. Kemudian seiring dengan berjalannya
waktu aku ini tipe orang yang ngga pernah mau diam, dan aku adalah orang yang
senang belajar. ..
Jadi pada tahun 98 itu aku sudah
ditahbiskan sebagai cameraman
LORI:
Ciee...ditahbiskan
ANDI:
Itu kesempatan yang sangat
langka, ya. Kebetulan juga periode 98 itu waktu yang sangat krusial bagi
Indonesia. Tapi itu juga membawa berkah dan hikmah bagi aku juga. Karena dengan
kesibukan yang luar biasa berita yang ngga pernah berhenti setiap hari dan
gambar2 yang tersedia dasyat...yang aku sendiri sampai sekarang merasa heran
tapi juga sekaligus bangga...kenapa? karena tahun itu juga aku dapat awards
yaitu...tapi yang aku dapat itu untuk program news
LORI:
Waktu itu gambar apa yang menjadi
referensi bagi mereka untuk memberikan penilaian itu?
ANDI:
Mereka melihat karya2 freelancer2
di dunia ini. Jadi mereka submit...istilahnya kita ngga akan terpilih kalau
kita tidak submit gitu lho karya2 kita. Dan kebetulan karyaku itu diikutkan
oleh kantorku sendiri untuk ikut dalam blabla awards itu...yang mewakili adalah
gambar2 peristiwa 98 dan timor Timur
LORI:
.., tapi jadi cameraman atau
wartawan daerah konflik, kayak gitu khan... secara ngga langsung...mau ngga mau
ANDI:
mmm...ya. jadi begini..sebetulnya
di AP ini ngga ada predikat wartawan konflik, wartawan conference, atau wartawan
summit, atau apapun lah.
LORI:
Tapi ini jadi kesaksian bahwa
kebanyakan ini adalah daerah konflik semua
ANDI:
Iya memang. Tapi .. Di AP ini
sangat moderat. Kita diberikan assignment, tapi untuk assignment yang berbahaya
seperti konflik, kita punya hak untuk bilang tidak tanpa mempengaruhi
kredibilitas kita atau perform kita.
Jadi kalau umpamanya “ok guys.. saya butuh orang untuk berangkat ke Irak. Andi,
kamu mau ngga?”. Saya bisa bilang “tidak..”, dan itu tidak mempengaruhi
penilaian apa pun. Tapi saya selalu bilang, “iya, saya mau...”
LORI:
Kenapa?
ANDI:
Karena memang sebagai cameraman
anda butuh gambar yang bagus, yang menantang, yang challenges. Bandingkan
gambar peerangan dengan gambar yang harus kita syuting saat conference, ya
kan..gambarnya Cuma shake hands, Cuma press conference, Cuma..Saya orangnya
senang sesuatu yang bersifat tantangan. Jadi kalau saya merasa tertantang saya
akan fight apapun itu. Jadi saya melihat liputan di daerah konflik itu sebagai
tantangan.
LORI:
Saat liputan di daerah konflik
itu bang Andi sudah berkeluarga atau belum?
ANDI:
Sudah
LORI:
Waktu mulai pertama kali di
kejadian 98?
ANDI:
Iya
LORI:
Di saat akhirnya, waktu
98...akhirnya Irak, Afganistan, berbagai kejadian di Thailand...sempat ngga sih
keluarga bilang “Kenapa harus kamu sih? Dan kenapa kamu mau?”
ANDI:
Saya tau bahwa pada suatu saat
keluarga saya akan bilang tidak. Tapi sebelum sampai pada keluarga saya bilang
tidak saya selalu mencari cara supaya mereka itu bisa mengijinkan.
Awalnya saya sering berbohong.
Katakanlah saat itu saya mau ke Irak atau Afganistan. Saya akan bilang
mom..saya harus ke pakistan. Kenapa? Karena aku harus liputan pengungsi dari
afganistan. Mereka mengungsinya ke Pakistan. Jadi saya harus ke Pakistan.
Kenapa?Karena saya tau kalau saya bilang afganistan, the first word yang akan
saya dengar dari istri saya adalah “Jangan”. Oleh karena itu saya bilangnya
saya liputannya ke Pakistan, saya liputannya pengungsi. Saya ngga akan keluar
dari Pakistan. Nah istri akhirnya bilang fine, ngga pa2. Tapi di Pakistan, ya?
Iya. Untuk ke afganistan, kita memang harus ke pakistan. Dan kita memang harus
ngurus visa di Pakistan untuk bisa masuk ke afganistan. Jadi saya ngga
sepenuhnya bohong. Tapi paling tidak saya benar ke Pakistan.
Saya tidak selalu bercerita pada
istri saya apa yang saya lakukan, liputan apa yang saya buat, tapi paling tidak
saya agak bergeser agar keluarga ngga terlalu khawatir.
LORI:
Sempat ngga sih ada momen/
kejadian dimana akhirnya Bang Andi trauma?
ANDI:
Kalau sampai sekarang engga ya.
Saya belum mengalami trauma.
Justru saya punya teman 1.
Wartawan kawakan juga dan dia masih bekerja di salah satu stasiun televisi. Dia menjuluki saya kucing. Kenapa? Karena
dalam kepercayaan chinese, kucing itupunya nyawa 9. Jadi tugas dia, dia itu
ngitungin sudah berapa kali Andi itu sudah close call – yang hampir dijemput
maut lah. An, kamu sudah 5 kali. Aku sudah ngitungin. Silakan kamu jadi
wartawan. Tapi begitu kamu sudah 8 kali, kamu harus berhenti jadi wartawan.
Karena pada tahun ke-9 nya nyawa kucing habis.
Dari situ aja mungkin bisa
menjawab, kalau kita trauma...paling tidak, kejadian 1,2,3 itu bikin trauma,
harusnya kita tidak melakukannya lagi . tapi saya terus melakukan. Kenapa?
Karena sampai sekarang saya belum pernah mengalami traumatik dari kejadian di
lapangan. Bahkan sampai yang terakhir 2009 pun saya sebenarnya masih ingin
pergi untuk liputan konflik. Saya bilang sama boss saya tolong put me in the
list.
Waktu ada kejadian Tunisia,
kemudian bergeser ke Libya, ke Mesir. Tapi saya ngga pernah pergi lagi, bahkan
saya malah dikirimnya ke Tsunami Jepang.
LORI:
Hahaha... tapi itu kan tetap
peristiwa dunia, bang
ANDI:
Ya, itu tetap sesuatu yang luar
biasa. Karena saya juga ngga tau ya, kenapa. Teman saya yang waktu di
Afganistan itu – dia itu fotografer. Dia itu kakinya diamputasi tuh sebelah
kiri dia tuh masih tetap pecicilan lah di Mesir, tunisia, di Libya dengan
kakinya yang kaki palsu yang runner blade. Itu masih motret dimana2. Dan saya
ngiri. Kenapa saya ngga dikirim lagi? Ternyata ada cerita di balik itu semua
LORI:
Apa itu?
ANDI:
Jadi waktu aku kena ranjau di
afganistan itu. AP adalah kantor berita yang sangat perhatian sama karyawannya,
apalagi yang berhubungan dengan security...ataupun yang dealing dengan security
ataupun hal2 yang berbahaya untuk karyawannya. Jadi begitu aku kena ranjau di
Afganistan itu, Begitu aku dibawa ke field hospital AS di Kandahar, yang
pertama kutelpon adalah Asia head nya aku – desk nya. Cewek, orang Filiphina.
Aku bilang Hai Ceylin aku kena
ranjau, rusukku patah 4 biji kata dokter. Dan aku susah sekali buat bicara.
Sementara Emilio fotografer kakinya harus diamputasi. Udah aku ngga mau ngomong
apa2. Kalau kamu mau ngomong, nih sama dokternya. Aku kasih hp nya ke dokter. Terserah
deh mereka ngomong apa.
Rupanya syok bos ku pada waktu
itu. Setelah tau aku kena ranjau, akhirnya bos ku memberitahu istriku. Akhirnya
mereka berkomunikasi, setiap 5 menit, setiap 10 menit, 15 menit, 30
menit...mereka selalu berkomunikasi. Ok, andi sekarang di Kandahar. Ok, AP
sekarang hire pesawat medi-vac – pesawat yang khusus untuk medical evacuation.
Dia akan terbang dari Swiss besok. Ok pesawat itu akan landing jam sekian. Ok,
sekarang Andi masih dalam penanganan. Ok, sekarang Andi disuntik heroin. Jadi
step by step dia itu selalu inform.
Lama2 bos ku kan itu seorang
wanita dan seorang ibu, seorang istri. Cerita dengan istriku yang seorang ibu,
seorang wanita, seorang istri. Akhirnya mereka berteman
LORI:
ok
ANDI:
Setelah semuanya selesai aku
pulang ternyata ada request dari istriku ini terhadap seorang ibu yang lain itu
LORI:
Request terselubung..
ANDI:
Hey..kalau bisa, please donk,
jangan dikirim lagi Andi. Karena anaknya masih kecil. Akan lebih baik kalau dia
stay di kantor di Jakarta.
Aku berpikir apakah karena aku
ngga mampu lagi. Ternyata bukan itu alasannya.
LORI:
Bukan grounded.
ANDI:
Bukan grounded. Ternyata yang
meng-grounded adalah istri saya sendiri
LORI:
Tapi waktu kejadian itu, mungkin
bang Andi bisa ceritain...Apakah ada prosedur yang ngga abang penuhi sampai
bisa terjadi kejadian itu?
ANDI:
Oh, engga. Kantor kita ini sangat
strict. Jadi kalau kita ada miss prosedur, jagan harap kita bisa melakukan
peliputan. Jadi memang pada saat itu kalau aku bisa bilang kalau kita percaya
nasib, ya nasib. Kenapa?
Ok, jadi cerita panjangnya adalah bahwa aku
tiba2 diundang untuk embeded dengan US troops di Afganistan. Nah kenapa
diundang? Karena AS akan mulai mengoperasikan kendaraan tempur yang bernama
striker. Striker itu sebuah kendaraan seperti panser. Tapi luar biasa canggih,
yang terbaru. Jadi dia atasnya dan kiri-kanannya itu terbuat dari kevlar. Kevlar
itu adalah sebuah bahan yang diyakini mampu menahan gempuran bahkan dari RPG
atau pelontar granat sekalipun. Kita tertarik dan akhirnya setelah mencari
siapa dan akhirnya ditawarkan kepada banyak orang, saya yang bilang “iya”. Maka
berangkatlah saya. Kemudian saya di tempatkan di sebuah daerah yang bernama
spinboldak. Itu di perbatasan antara Pakistan dan Afganistan. Disitu adalah
tempat yang sangat2 panas. Karena disitu adalah kantong2nya Taliban.
Nah striker ini adalah sebuah
kendaraan tempur yang sebetulnya diproyeksikan untuk Irak. Tapi karena ada
keputusan dari Obama untuk menarik pasukan dari Irak, maka kendaraan yang sudah
jadi ini dialihkan ke Afganistan.
Nah aku ngga tau apakah ini sudah
ada dalam pemikiran AS atau belum. Karena di Irak itu musuhnya adalah
gerilyawan dengan peluncur roket, dengan senjata kaliber besar. Sementara di
Afganistan musuhnya adalah ranjau. Afganistan is the biggest landmain in the
world – ratusan bahkan jutaan ranjau itu tersebar rata di Afganistan. Jadi
kalau striker tadi itu ditempatkan untuk di Irak, make sense. Karena mereka
mendapat serangan, body ini ngga pa2. Tapi begitu di Afganistan, nginjak
ranjau, hacur. Karena bawahnya bukan kevlar. Bawahnya baja biasa. Dan itu yang
terjadi sama aku. Jadi waktu hari itu kita konvoy – ada 6 striker konvoy. Aku
ada di striker nomor 3, yang berisi komandan dan aku.
LORI:
Udah bagian yang paling aman
berarti ya?
ANDI:
Harusnya
LORI:
Harusnya
ANDI:
Karena tentara AS juga mau make
sure bahwa kita wartawan yang embeded dengan mereka mendpat perlindungan yang
cukup gitu ya. Kita konvoy dari satu daerah ke daerah lain untuk searching ada
taliban atau engga. Dalam beberap kasus kita dapat serangan hebat, sering
bertempur.
Tapi pada hari itu, landai2 aja.
Kita jalan aja ngga ada masalah apapun. Sampai tiba2 kurang lebih jam 12 lah.
Saya sambil terkantuk2 di dalam striker, karena fasilitasnya luar biasa. Di
dalam striker itu AC nya dingin sekali. Ada driver 1, gunners nya 2 berdiri di
samping kiri kanan, komandannya 1 di tengah ngeliatin monitor kecil 1 per 1,
aku, Emilio, dan 1 penerjemah duduk saling berhadapan gini. Itu compartement
nya kecil banget. Sehingga kita duduk beradu siku pun ngga bisa. Kita harus
duduk buka kaki kita. Jadi kakinya Emilio masuk di antara kakiku, kakiku masuk
di antara kaki Emilio.
Terkantuk2 gitu,
tiba2..”booommm”, itu naik ke atas. “bang...!”. striker itu – kendaraan tempur
itu – naik ke atas, kebanting lagi ke bawah. “Deng..!”. pintunya terbuka. Yang
tadinya gelap jadi terang benderang. Karena kan terus sinar udara luar masuk
kan. Dalam beberapa detik suara senyap, ngga ada apa2. Tiba2 aku dengar
suara,”OMG, i’m gonna die..”. aku pikir apa nih. Begitu aku mencoba
menggerakkan badan, aku pegang ada basah apa nih. Begitu aku liat...darah. aku
pegang, aku angkat...kaki. sebuah potongan kaki. Kaki...ihh...sepatunya masih
bagus, ya
LORI:
Hahahha...sempat banget, bang
ANDI:
Aku taruh kan kaki itu di
sebelahku. Aku mulai bergerak, karena aku mulai mencium bau bensin – bau solar
gitu, ya. Mulai bergerak, mau bergerak,
ternyata kakiku sakit banget. Jadi dek bawahnya itu pecah, jadi kaki kita semua
terperosok semua. Aku berusaha bergerak, tapi sakit banget, aku paksa. Terus
aku rolling, bergeser gitu. Aku jatuhkan diri, aku teriak kayak di film2
hollywood “Medic...!!!!”. begitu aku teriak “Medic..”, semua striker itu mulai
nembak ke segala arah,”dordordordor.....!!!!!!!!!” ditembak seluruh daerah.
Mereka memang harus seperti itu, to make sure bahwa kita ini ngga sedang
di-embuse – ngga sedang disergap.
Jadi begitu nembak dan ngga ada
tembakan balasan, baru tim medic nya keluar dia nyamperin aku terus aku bilang
jangan pedulikan aku masih ada yang lebih parah di bawah. Karena waktu aku liat
itu, kaki temanku itu sudah ada yang ngga berbentuk kaki – sudah berubah jadi
serpihan2 kecil itu. Terus aku juga tau ada yang kakinya amputated on the spot.
Terpaksa dibuka karena lontaran itu, mereka potong kaki gunner yang berdiri di
samping aku. Jadi kan gunnernya kan gini, belakangnya kan pintu, “Deng...”,
kakinya kepotong “Tes...”, kakinya jatuh ke tempat aku. Logikanya seperti itu.
Setelah kejadian itu ya kurang
lebih 5 menit kemudian itu heli 3 datang. Mereka masukin ke heli. Kita dibawa
ke field hospital. Itulah hebatnya orang luar, ya. Mereka terorganize dengan
baik. Jadi untuk urutan heli pun itu sudah diatur sejak awal pemberangkatan. Jadi
begitu turun, ok heli Number 2 touch down. Aku kan di nomor 2. Number 2 touch
down. Begitu heli no 2 touch down, berangkat yang..apa sih namanya
LORI:
Ya...yang buat
ANDI:
Kursi untuk bawa pasien itu, itu
berangkar nomor 2 yang jalan, da tau pasien yang dia bawa itu kenapa.
Jadi ternyata waktu dimasukin ke
heli itu sudah ada komunikasi ok heli nomor 1 itu luka parah. Kaki sebelah kiri
pake turniki, kaki sebelah kanan hancur. Dia harus diamputasi bla..bla...sudah
ada penjelasan. Jadi berankar nomor 1 datang, temanku Emilio masuk, dokter
sudah tau, dibawa ke ruang operasi, setengah jam selesai. Heli nomor 2, aku
masuk, langsung dibawa ke tempat lain, aku di-rontgen karena aku mengeluh sesak
napas. Jadi mereka sudah organize nya bagus banget. Jadi mereka tau apa yang
akan mereka hadapi, apa yang akan mereka lakukan, dan apa yang akan mereka
kerjakan itu sudah fix.
Nah, dari ceritaku tadi aku
berkesimpulan tidak ada prosedur yang aku salah. Semuanya berjalan apa adanya,
dengan natural. Jadi aku tidak menyalahi prosedur apa pun, perlengkapan kita
ok, fasilitas keamanan ok, GPS semua tersedia, Flar juga kita bawa. Semuanya
full...hanya mungkin nasib belum berpihak pada kita. Karena, bayangkan...dari
6...kan kita ngikutin jalan yang sama. Kenapa yang nomor 3 kena, kena yang no.1
dan 2 yang aman?? Mungkin jaraknya Cuma sejengkal dari blasting spot nya itu.
Mungkin dia beloknya terlalu ke kanan, kita kurang ke kanan, lalu nginjek. Itu
kan Cuma karena nasib. Iya donk, logikanya kalau kita urutan nomor 3, kalau
terjadinya sesuatu kalau kita jalannya konvoy – ngikutin – harusnya yang 1 kena
donk. Kita yang ke 3.
LORI:
Sempat ngga sih kepikir sama
abang waktu itu,”Ok, kayaknya hari ini aku mati...”?
ANDI:
Engga. Aku bukannya sombong, tapi
itu adalah kejadian ke 5 yang membuat aku hampir...
gini aku orang yang percaya
kepada feeling. Dan feeling ku ini so far aku percaya masih bagus. Biasanya
sebelum liputan aku selalu berkomunikasi – bukan dengan siapa2 – aku
berkomunikasi dengan hati kecilku. Hati yang paling kecil, yang paling kiri.
Karena biasanya kalau kita bicara dengan hati, dia ngga pernah bohong. Jadi
kuncinya 1, kalau aku ragu2, itu aku akan
mundur. Tapi kalau aku yakin, aku akan jalan.
Pada saat kejadian itu, aku diam
sejenak, aku lihat keadaan, aku mulai berpikir apa yang terjadi. Karena aku
mikir, begitu mulai “Deerr..!”, itu kan kita semua blank. Tiba2 dari keadaan
ngantuk, kita kena anjau, kita blank beberapa detik, tapi kita ngga tau apa
yang terjadi. Kita harus mulai cari tau kita ini kenapa. Pada saat aku dalam
keadaan diam dan mulai berpikir sedang apa, aku disini bilang “kamu selamat”,
gitu lho.
Ya udah, begitu aku yakin aku
selamat, dan aku liat kaki temanku hancur dan aku pegang potongan kaki segala
macam, disitulah aku justru merasa “i have to do something” gitu lho. Aku harus
melakukan sesuatu, paling tidak aku bisa nolong diriku sendiri dan orang lain.
Makanya aku paksakan diriku merangkak, aku rolling, aku jatuh, aku teriak
“mediccc...”. jadi yah pada saat itu aku ngga merasa, dan belum merasa itu buat
aku...
LORI:
Terus yang kejadian 1-4 nya apa,
bang?
ANDI:
Dulu aku di Timor Timur itu aku
pernah lolos dari tembakan. Aku dijadiin target. Aku punya kok pelurunya itu.
Tapi aku berhasil menghindar. Sampai suatu saat aku ngga bisa lagi menghindar
karena aku terpojok di suatu gardu listrik, dia nembak “tes...!”, aku reflek
nunduk. Pelurunya bersarang kurang lebih 1 jengkal dari kepalaku. Itu sekali.
Pelurunya ada tuh aku simpan untuk kenang2an di rumah.
Di ambon juga gitu. Di ambon
waktu itu di Ahuru pada waktu clash putih dan merah. Aku terjepit di antara
pertempuran 2 belah pihak. Ada saat yang dimana harusnya aku (yang tertembak)
tapi kena anak umur 15 tahun. Kena pelurunya disini, masuk dari depan,
kepalanya pecah di belakang. Sebelahnya aku. Karena pada saat kejadian itu, aku
kecapean dengan camera besar. Aku ngerokok kan. Ada anak kecil ini kan. Dia
bilang “he...Bapa, boleh beta pinjam korek sebentar?”. Aku kasi korek “De,
tolong jangan duduk disitu. Itu tempat terbuka. Kamu liat kan tembakan masuk
dari depan dan belakang kamu. Tolong lah berlindung”. Jawabnya
apa...”Ee...biasa, Bapa. Beta su biasa berperang”.”O, ya...ok, fine”. Cuma aku
tarik anak itu sedikit. Di saat aku kasi korek, aku tarik anak itu sedikit agak
merapat ke aku. Tiba2 “Tass...!”, suaranya kayak gitu. Aku sempat kaget kan.
Sempat goyang ke kanan. Tiba2 anak itu jatuh “blepp..”, persis di pahaku. Aku
liat kenapa nih. Disininya kecil, tapi belakangnya pecah. Ternyata tembakannya
masuk dari depan. Itu jaraknya cuma aku duduk sebelahan sama dia. Itu kalau
sedikit meleset... kalau yang terlatih, nembak kepala kena kepala. Yang ngga
terlatih kan nembak kaki kena kepala. Dia jatuh, aku periksa nadinya ngga ada
nyawanya, aku pegang lehernya dah ngga ada nyawanya. Ya udah ngga ada yang bisa
kulakukan. Aku panggil “Hey...tolong ada yang tertembak disini”, temannya
datang, aku syuting. Aku ngga bisa melakukan apa2, aku ngga bisa menolong dia
juga. Jadi ya aku syuting. Ada beberapa lah.
Di belakang punggungku, ya ngga
gede, kecil lah. Kecil banget, tapi paling engga itu bisa jadi kenang2an. Jadi waktu
di afganistan itu kan aku pakai jaket anti peluru. Jaket anti peluru itu dia
bisa menahan tembakan itu sampai 6 kali yang level 4, dengan catatan dia harus
jatuh pada sisi yang berbeda. Tembak 1,2,3,4,5,6...selama dia jatuh pada sisi
yang berbeda, dia akan fine, ngga ada masalah. Tapi kan senjata itu ada yang di
set manual – one pull trigger, 1 peluru keluar, ada yang semi otomatis – begitu
ditarik, 4 peluru keluar, ada yang full automatic, begitu ditarik semua magazin
habis. Nah pada saat itu dia set di semi otomatis. Tiba2 aku kena di belakang
“bang...bang...bang...bang..!” di 1 titik. Pecah. Tapi untung yang tadi, baru
nyawa ke berapa lah. Jadi pecahannya masuk ke badanku, tapi proyektilnya itu
ketahan dengan pecahan itu. Bayangin kalu itu tembus. Ada anumerta di
belakangnya
LORI:
Haahha...ok. bang, dari semua
pengalaman daerah konflik yang pernah abang liput, seperti itu, bisa ngga
diceritain. Kan ada momen dimana kita meliput sebagai jurnalis. Tapi kita kan
bukan badan yang terpisah. Kita ini manusia yang punya rasa, punya nurani
seperti orang2 pada umumnya. Mungkin bisa diceritakan dalam pengalaman abang,
itu waktu liputan dimana?
ANDI:
Ada sebuah pengalaman yang mungkin
saya tidak akan pernah lupa, ya. Karena pengalaman ini sangat membekas ya untuk
saya sendiri.
Itu waktu saya liputan di Timor
Timur. Itu mungkin waktu saya berjumpa dengan teman2 lama saya, ada si mas Gino
Hadi, ada mas Jaka dari ANTARA, mereka mungkin akan punya cerita untuk
mengenang Timor.
Tapi ada 1 cerita yang paling
menarik untuk saya adalah dan juga mengacak2 emosi saya lah pada waktu itu
malam. Saya lupa tanggalnya. Saya gampang sekali lupa dengan orang dan tanggal.
Itu tipical saya sekali. Anak2 itu sudah tau semuanya.
Jadi pagi setelah pengumuman
jajak pendapat bahwa Indonesia kalah, itu paginya saya sudah dapat bisikan
bahwa Timor Timur akan dibumihanguskan. Kemudian waktu itu saya bersama dengan
wartawan asing ada 9 orang. Bule2 itu, saya convince mereka untuk keluar dari
rumah saya. Karena bisikan itu jusru dari tangan pertama yang langsung sampai
ke saya. Jadi saya meyakinkan mereka untuk pindah ke hotel mahkota. Jadi mereka
pindah, saya jaga rumah.
Saya pada saat itu bersama barang
yang kalau dinilai mungkin barangnya semua itu 3 milyar kali ya – berupa
satelit, berupa semua peralatan dari London kita bawa. Kita ngontrak rumah itu
lumayan besar, ada gedung utama dan paviliun. Paviliun ini persis menghadap
pagar. Saya ambil posisi di paviliun supaya akses saya mudah tanpa mengganggu
teman2 saya yang di dalam.
Nah pada saat pagi kalah
pengumuman jajak pendapat, saya mendengar info bahwa Timor Timur akan
dibumihanguskan itu. Mulai dari sore itu, jam 5-6 sudah mulai gelap, tidak ada
1 pun listrik yang nyala selain dari hotel mahkota. Sudah mulai terdengar
tembakan, dentuman, suara dasyat, bang-bung-bang-bung, asap, warna merah di
langit, rumah sudah mulai dibakar.
Saya diam aja di dalam kamar. Apa
yang kan terjadi. Saya nga bisa melakukan apa2. Dengan kamera yang saya punya
juga saya ngga akan bisa melakukan apa2. Masa saya pasang lampu untuk bisa
mengambil gambar, itu kan sama juga konyol kan.
Saya diam, saya berpikir, tiba2
di depan rumah saya terdengar suara tembakan yang luar biasa. Daddadadadarr...bumbumbum...rumah
sebelah sudah mulai terbakar. Saya lihat ada apa itu kok sudah ada pasukan
dengan baju hitam2 gitu kan.
Saya ngga tau saya pikir kalau
saya bertahan saya konyol. Kenapa? Karena paviliun saya itu tembok segini, dari
sini ke atas itu kaca. Jadi kalau kaca saya ketembak, saya bisa selesai di atas
tempat tidur.
Saya diam. Saya ngga tau, saya
punya ide, saya telpon mama saya. Saya bilang ma aku terjebak di sebuah rumah,
kejadian ini, yang terjadi begini2. Gimana, ma, kalau pada akhirnya aku selesai
di timor Timur, ya aku minta doa mama aja.
Mamaku Cuma bilang, “An, apapun
yang kamu lakukan apapun yang akan terjadi selama kamu lakukan di jalan Tuhan,
mama akan dukung... Berdoa.”
Setelah itu doa sebentar. Setelah
itu aku melihat topi dengan sebuah lambang pasukan elit yang aku dapat dari
teman2 disana. Aku pake beserta baju yang sama dengan orang2 yang nembak2 dan
membakar di luar sana itu.
Aku pakai, buka pintu saya
tendang “hey...***** kalian kurang ajar”. Suaraku sudah kayak orang marah. Aku
juga ngga tau kok aku punya kemampuan melakukan itu dari mana. Jadi aku kayak
benar2 marah, emosinya ngga bisa ditahan, aku bentak2 mereka, aku tunjuk2
mereka sambil tolak pinggang. Dan tiba2 aku lihat reaksi mereka yang bengong
ngeliat aku. Padahal mereka dengan senjata yang m-16, dengan granat yang kalau
anda nonton film Rambo itu granat yang dikalungkan itu berjejer. Mereka bengong
liat aku dan hormat. Lalu mereka bilang,
“maaf komandan, kami tidak tau komandan
tinggal di tempat ini. Ok...ok...Komandan, kami keluar dari tempat ini”
“Kalian keluar dari tempat ini
semua, atau kalian besok mati!”
“Baik, Komandan...kami keluar...”
Aku juga ngga tau. Mereka
akhirnya pindah, keluar dari tempat itu. Aku masuk rumah, habis itu Aku duduk
sambil lemes. Kemudian aku berpikir kalau mereka angkat senjata dan kemudian
tidak terima saat aku tunjuk2 marah2, selesailah aku sudah dia tembak.
Aku bingung luar biasa...
kekuatan darimana yang bisa menggerakkan aku seperti itu. Akhirnya aku tertidur
dengan suara dentuman masih dimana2.
Tiba2 pagi2 aku bangun tidur, aku
buka pintu, aku liat 2 anjingku sudah ada tergeletak mati, kemudian ada kaca
jendela utama juga sudah pecah beberapa. Aku keluar rumah, tiba2...Aku punya
pembantu di Timor Timur kita panggilnya Tia yang artinya “bibi”. Tiba2 tia
datang menghampiri aku. Dia pegang tanganku dengan 2 tangannya,
”Bapa terimakasih, kalau tidak
ada Bapa, kami semua sudah mati”.
Aku bingung “kami”???
Aku bilang.
”Kami? Maksud Tia?”.
“Yahh...bapa ikut saya”, dia
pegang tanganku, dia tuntun aku ke belakang.
Jadi rumahku itu sebelahnya itu
khan ada gang ke dalam. Gang nya itu arah ke sebuah perkampungan pro
kemerdekaan.Ternyata orang2 yang tadi malam itu menyasar ke perumahan itu.
Mereka mau menghancurkan itu. Nah di belakang paviliunku itu ada lapangan
badminton dengan aku ingat ada 1 pohon jambu, dikelilingi oleh tembok batako.
Jadi begitu Tia narik aku ke
belakang, aku lihat di bawah pohon jambu itu ada kurang lebih 100 orang,
perempuan tua, perempuan, dan anak2. Tidak ada 1 pun laki2. Itu mereka
meringkuk kedinginan, tanpa selimut tanpa apa pun.
Jadi rupanya sejak kejadian tadi
malam tembak2an itu, orang2 itu membuat lubang di tembok batako yang ngga
begitu keras, ya. Mereka masuk, mereka sembunyi disitu. Dan tembok batakonya
ditutup pakai seng, Cuma disenderin gitu aja. Jadi satu malam dia ada disitu.
Bayangkan tadi malam apabila ngga ada kekuatan yang menggerakkan aku ke situ,
mereka semua sudah mati
Sama hal nya dengan waktu
rumahnya Manuel Carazkalau diserang TNI pada waktu peluncuran launchingnya
aitarak. Tidak ada satu pun yang bisa menghentikan itu. Dan puluhan orang mati
di rumah mantan gubernur. Itu bisa terjadi di rumahku.
Itulah keajaiban dan kekuatan
yang sampai sekarang aku masih bertanya2 Kok bisa ya aku melakukan seperti itu.
Kok punya ya aku keberanian seperti itu. Itu mungkin salah satu peristiwa yang
ngga mungkin bisa aku lupakan
LORI:
Kejadian macam itu sering ngga
sih terjadi? Kan abang juga pernah punya pengalaman di aceh. Pernah ngga hal2
semacam itu juga terjadi pada abang?
ANDI:
Aku sebetulnya, mungkin teman2
wartawan yang lama itu tau, aku tuh sebetulnya hatiku sudah jadi batu. Karena
aku tuh sudah hampir tidak punya perasaan lagi. Jadi misalnya aku kalau liat
pertikaian dan kerusuhan antara Madura dan dayak di Sambas, bagaimana mereka
dipotong kepalanya, aku punya gambar yang kalau kamu liat kamu akan sakit atau
ngga mau makan daging selamanya lagi tapi aku ngga mau nunjukin
Aku melihat kekerasan itu
terjadi, melihat pembunuhan itu terjadi, bagaimana rasa manusiawi di antara
orang2 itu sudah hilang. Itu aku sudah ngga perduli. Aku sudah ngga punya
perasaan sama sekali. Mereka dibunuh di depan aku, mereka disiksa, aku sudah
ngga punya perasaan sama sekali. Karena aku percaya apa...apa yang anda dapat
itu adalah akibat dari yang kita lakukan. Karena apa yang anda petik, itu yang
anda tabur. Jadi aku sudah ngga punya perasaan sama sekali.
Justru untuk hal2 yang menyentuh,
itu aku bisa menangis. Pada saat di Aceh, aku justru ngga tergerak sama sekali
pada saat liputan DOM. Dengan kekerasan di Aceh, aku ngga tergerak sama
sekali. Hampir dikatakan aku sudah tidak
punya rasa kasihan sama sekali terhadap mereka yang melakukan kekerasan itu. Justru
aku kan merasa sangat tersentuh pada saat aku meliput tsunami. Buat aku itu benar2
sebuah liputan yang menguras emosi bahkan aku ngga harus malu untuk mengakui
bahwa di tsunami lah aku liputan sambil nangis aku pernah lakukan
LORI:
Apa peristiwanya pada saat itu?
ANDI:
Pagi terjadi tsunami itu tanggal
26, ya?
LORI:
26 desember..
ANDI:
Ya, aku jam 3 sorenya sudah ada
di Medan. Dan aku ngga tau caranya ke Aceh. Karena yang pasti adalah airport
Aceh ditutup. Jadi aku harus cari jalan masuk apapun yang mungkin. Jadi aku
nyewa mobil – boleh dikatakan setengah membeli mobil – aku driving sendiri ke
Aceh. 13 jam.
Sampai akhirnya aku sudah
kecapean nyetir, aku berhenti di suatu tempat, ternyata tempat itu adalah
pertigaan sebelum masuk ke bandara. Pagi di saat aku bangun itu yang aku lihat
adalah ribuan jenazah. Orang yang meninggal di kiri kanan mobil itu banyak
sekali. Dan itu adalah gambar yang pertama. Dan langsung aku kirim karena aku
bawa peralatan satelit kurang lebih 200 kg. Aku kirim, sehingga membuka mata
dunia, ini lho yang terjadi. Sudah gitu aku coba terus cari berita.
Sampai aku tiba di depan sebuah
hotel yang bernama kuala tripa. Situasi sudah ngga terkendali di depan masjid
Baiturahman. Yang ada Cuma ada damage. Sama mayat yang sudah tergantung
dimana2lah. Dan satu saat aku melihat ada sesuatu yang menarik di depan hotel
kuala tripa itu. Ada sepasang ibu dan anak. Mungkin ibu sekitar umur 25 tahun
sedang mendekap anaknya yang berumur sekitar 3 tahun. Mereka sudah kaku menjadi
mayat. Sementara dekapan itu terlihat erat sekali, sementara ibu itu berusaha
mendekap dengan erat, padahal mereka sudah menjadi mayat – tertutupi dengan
lumpur. Hal2 itu justru yang bisa membuat aku nangis. Itu yang terjadi. Karena
kemudian aku berpikir tentang istri, tentang keluarga, tentang anak2...hal2
kayak gitu.
Jadi orang bilang aku itu mukanya
rambo, hatinya rinto
LORI:
Hahahha
ANDI:
Jadi kalau liat kekerasan itu aku
ngga tergerak. Tapi jangan tunjukin ke Andi hal2 yang menyentuh, karena itu
akan bikin dia nangis katanya.
LORI:
Sebenarnya itu yang buat aku penasaran,
bang. Karena dalam persepsiku kalau ada hal yang mengancam nyawa kita atau itu
terjadi, kita akan mengalami trauma. Kalau misalnya kita liat kayak pengalaman
seperti Elsa Siregar. Pernah ngga mikir “Aku lanjut ngga sih disini?”
ANDI:
Engga. Karena aku percaya pada
karma. Aku percaya kalau kita melakukan hal2 yang baik, maka kita juga akan
memanen hal2 yang baik. Kalau kita menanam hal2 yang buruk, jangan berharap
kita akan memanen hal2 yang baik. Aku tidak bilang bahwa mereka melakukan hal2
buruk...tidak. ini hanya sebuah keyakinan yang aku pegang. Bahwa semua akan ada
akhirnya. Manusia pada akhirnya akan mati, perjalanan pada akhinya akan
terhenti, semua yang ada di dunia ini pada akhirnya akan berakhir di suatu
titik.
Buat aku, berakhir di titik mana
pun, dengan cara apa pun itu tidak membuat aku menjadi berbeda. Kalau pada hari
kita harus mati, mau mati di atas tempat tidur, mau mati jatuh dari atas
pesawat, mau mati ditembak jusuh, atau mati dengan cara apapun, judulnya tetap
mati. Jadi buat aku kematian itu bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, tetapi
kematian itu adalah sesuatu yang harus dijalani.
Hanya saja kalau sudah mati ngga
ada rasanya, ngga ada bedanya. Jalan menuju kematian ini yang kadang2 bikin
orang takut. Nah bagaimana kita dealing dalam menghadapi kematian ini. Itu aja
sebenarnya. Jadi kalau orang bilang “Hah...dia meninggal karena liputan
disini”. Apakah itu berarti kalau akau liputan disana juga akan meninggal?
Semua manusia hidup sudah ada yang atur. Semua orang hidup sudah ada jalannya.
Buat aku biar jalan itu menjadi rahasia Tuhan.
Kita jalani aja hal2 yang baik
dengan suatu keyakinan, dengan suatu kepercayaan bahwa meskipun aku harus mati
hari ini, detik ini, disini, dengan cara seperti itu, aku akan terima. As
simple as that
LORI:
Bang andi mau jadi wartawan
sampai kapan?
ANDI:
Ok kadang2 wartawan itu ada saat
kita mengalami masa jenuh. Aku juga beberapa kali mengalami masa jenuh. Tapi
kalau ditanya sampai kapan mau menjadi wartawan? Saya akan jawab,
“sampai ngga mampu lagi menjadi wartawan”.
Karena untuk menjadi wartawan
yang baik dan benar ngga Cuma sekedar kita syuting atau membuat story, tapi ada
tanggung jawab moral. Jadi selama masih mampu, masih bisa, masih ada
kesempatan, saya akan coba untuk mengabdi sebagai wartawan