Dan perjalanan pun kami lanjutkan...
Kami
meninggalkan penginapan kami yang letaknya hampir merapat ke hutan itu.
Cuaca pagi ini cerah. Nampaknya ini jadi awal yang baik untuk memulai
hari...... Nampaknya, lho....
|
tim siap buat berangkat.......pose dulu :) |
Ternyata
mobil land cruiser tak lagi mengantarkan kami ke tujuan. Sebagai
gantinya, yang akan mengiringi perjalanan kami diganti dengan 2 mobil
yang lebih bapuk. Mobil ini nampak coreng moreng dimana-mana. Kalau kamu
mengingat baju berwarna yang kena tumpahan bycline.....seperti itulah
kira-kira warnanya. (Ok...ngga masalah, selagi masih bisa mengantar ke
tempat tujuan)
Aku,
Rere, Mas Syahrul dan Mas Agung mulai ambil posisi duduk paling nyaman
di mobil. Berharap untuk bisa mengambil sejumlah gambar pemandangan di
sepanjang jalan.
Mobil
pun melaju....(serasa naik odong-odong). Perlu diketahui, meskipun
tampilannya kayak odong-odong, tapi kemampuannya boleh juga. Kami
melewati banyak sekali kebun sawit. Bukan hanya banyak......tapi
buaaanyyyaaakkkk...... Aku bahkan ngga menduga betapa luasnya kini kebun
sawit di Kalimantan Timur.
Seingatku,
dulu, kami sekeluarga suka menyempatkan ke luar kota, via jalur darat.
Setiap kali menuju kota Samarinda, Samboja, atau Bontang, maka yang ada
di kanan kiri jalan hanyalah tebing dan jurang dengan hutan yang lebat
di bawahnya. Namun kini, semuanya berubah -- digantikan dengan ratusan
ribu hektar pohon sawit.
Konon,
orangutan masih cukup sering ditemukan di ladang-ladang sawit.
Kemungkinan besar, orangutan ini tersasar. Atau mungkin ia mengingat
bahwa lokasi itu (dulu) adalah 'rumah'nya, tanpa menyadari bahwa masa
itu telah lewat.
Lalu apa
yang dilakukan para pekerja kebun, yang bertemu dengan orangutan? Cerita
yang paling sering kudengar, adalah mereka menyiksa orangutan tersebut
Aku
sendiri, ngga mengerti logika apa yang digunakan para pekerja ini,
sehingga menyiksa orangutan. Kalau ada orang yang membela diri, dengan
mengatakan takut orangutan merusak kebun sawit, itu hanya omong
kosong..... Sebagai manusia, seharusnya mereka cukup cerdas untuk
menangkap orangutan tanpa harus menyiksanya. Sebab mereka ngga
berhadapan dengan harimau atau ular piton sepanjang 3 meter. Itu adalah
ORANGUTAN......
***************
Beberapa
kali aku tidur dan terbangun.... Dan untuk kesekian kalinya, aku
melihat kanan dan kiri. Pemandangannya masih kebun sawit (huffff.....)
Mungkin membutuhkan waktu sekitar 3 jam lebih, sampai mobil kami
berhasil melalui perkebunan kelapa sawit yang nampak tanpa ujung.
Ternyata
antusiasme ku kalah dibandingkan Mas Agung, Syahrul, dan Rere. Mereka
sibuk bercerita banyak hal, mulai dari kerjaan sampai dunia gosip. Aku
rasa ini hiburan yang paling praktis, ketimbang mengharapkan sinyal
operator yang terus-menerus byar-pet di sepanjang jalan.
Pinggang
sudah lumayan pegal. Namun cobaan ini ternyata belum usai. Kami masih
butuh waktu, untuk menuju tempat yang disebut Pelangsiran (entah apa
makna nama tempat ini....)
Kali
ini, mobil kami harus naik turun jalan tanah yang licin. Jadi begini,
hutan di kalimantan adalah jenis hutan hujan tropis. Alias....suka kena
hujan sewaktu-waktu. Bisa jadi pagi nampak cerap, namun jelang sore
hujan turun. Begitupula sebaliknya. Itu sebabnya, kondisi tanahnya cukup
lembap. Nyamuk dan pacetnya juga banyak....(ehh...menyimpang). Jadi,
dengan kondisi jalanan becek dan licin itu, inipun menjadi off road
perdana kami. Menyusuri jalan menurun, mobil meluncur bagai terpeleset.
Namun saat jalanan menanjak, mobilnya naik terlompat-lompat kayak
banteng ngamuk. (Dalam hati cuma bisa berdoa, semoga mobil ngga mogok
tengah jalan)
"Aduh....aduhhh...."....."aaaaaaa........."....."woooooo........"......
Mungkin hanya suara-suara semacam itu yang mewarnai sepanjang mobil
kami sliding di tanjakan-turunan licin.
Saatnya
mobil kembali mendaki. Kali ini jalanan dengan kemiringan hampir 45
derajad, roeeeeeemmm......dan as mobil pun.... patah. (Doenk...)
Untung
sopirnya handal. Dia minta waktu untuk memperbaiki mobil, dibantu oleh
sopir mobil yang satu lagi. Jadilah kami , seluruh penumpang, keluar
mobil.....dan terduduk di gundukan tanah, sambil mendengarkan bunyi
jangkrik yang bersahut-sahutan.
Aneh...aku
ngga merasa takut dan khawatir sama sekali. Selagi sopir kami saling
bekerjasama memperbaiki as mobil dan roda yang terjebak di patahan tanah
liat, kami sibuk bercanda.
Aku menghirup udara sedalam-dalamnya. Huffff......Udara di hutan memang jauh berbeda dengan udara Jakarta yang empet banget.
Seekor
kupu-kupu terbang dekatku. Lalu mendarat di tanah. Jaraknya hanya
berjarak beberapa meter dariku. Entah keisengan apa yang menghinggapi
Mas Syahrul. Ia mengambil sebuah batu kecil, dan melemparnya ke arah
kupu-kupu tersebut...........meleset.
Aku
melotot. Mas Syahrul terkekeh-kekeh. Si kupu-kupu tidak bergidik dari
tempatnya. Aneh banget... Apa hewan ini ngga sadar bahwa batu kecil itu
dapat membunuhnya??? Apakah di hutan yang liar, hewan tidak menganggap
manusia sebagai ancaman? Apakah mereka mengenal manusia?
Aku
teringat film-film petualangan yang sering kutonton. Biasanya film itu
menceritakan bagaimana hewan-hewan sangat takut dan menjauhi manusia.
Terkadang mereka (hewan-hewan itu) menjadi chaos saat manusia datang.
Tapi yang kulihat di hutan ini, justru berkebalikan. Apa binatang ini
cuma menganggap kami bagaikan spesies hutan lainnya, ya? Malah kalo
ketemu sama kupu-kupu atau kumbang di kota, hewannya suka terbang
ngider-ngider ngga jelas kemana-mana. Mau dipegang, lari....
Mas
Agung asyik mengambil sejumlah gambar dokumentasi. Kayaknya dia ngga
peduli jika kami harus terpaksa menginap di tengah hutan. Nyalinya
kelewat besar.
As mobil
sudah diperbaiki, saat matahari mulai turun.....ternyata sudah sore.
Kami pun melanjutkan perjalanan lokasi yang namanya: gunung sabun. (Apa
kamu merasa terlalu banyak nama tempat yg aneh dalam perjalanan
ini....:/...). Hanya berselang tak sampai satu jam, kami pun tiba di
tempat peristirahatan gunung sabun.
Di
tempat peristirahatan itu, ada sejumlah pekerja yang kebanyakan adalah
transmigran dari jawa. (Ketahuan saat tegur sapa dengan logat jawa yang
kental). Aku ngga tau persis yang mereka kerjakan. Sebagian nampak
membangun rumah kayu. Entahlah.... Bersama kami pun ada
sejumlah pencari gaharu dan sarang burung walet yang juga sedang
beristirahat. Nampaknya mereka baru keluar dari hutan. Kami pun hanya
memberi salam dengan seulas senyum.
***********
Aku sibuk menurunkan barang bawaanku. Segera kusandang ranselku. Sedangkan tas yang besar, dibawa oleh potter.
O,
ya...kami punya potter-potter yang hebat disini. Per orang mampu
mengangkat beban hingga 100 kg sambil menuruni dan mendaki gunung
sabun!!! Tas-tas kami semua diikat di beberapa papan, yang akan dipikul
oleh para potter, layaknya ransel.
Ok....kini
aku mengerti bagaimana sepatu karet kam yang murahan itu, dapat
berfungsi dengan baik di jalan turunan dan tanjakan, yang kami sebut
"gunung sabun" itu. Jalannya sangat licin!! (Selicin sabun...)
Aku
nyaris terpeleset, jika tidak berjalan dengan sangat berhati-hati. Rere
di belakangku. Sedangkan mas Agung dan Syahrul, menyusul duluan di
depan. Entah berapa jauh kami turun di tebing yang curam tersebut.
"sudah dekat....", seseorang di depan sana berteriak. Aku semakin
bersemangat berjalan turun. Dan sampailah kami di.....sungai.
Ehhh...dasar....aku
baru tau klo ternyata ada sungai yang harus diseberangi. Ternyata
inilah yang dikenal dengan nama Sungai Telen. Dan kali ini, aku harus
menyeberang dengan sling.
Sling
itu apa ya? Mm....semacam kayak kamu mau main flying fox...tapi ini
dengan naik di atas kotak kayu berukuran 75x75 (mungkin). Bisa bayangkan
berayun menyeberang, dengan deruan suara sungai yang deras di
bawahmu???..... Yang jelas, bikin deg...degan...
|
meluncur dengan sling.... |
Mas
Agung sudah menungguku di seberang sungai, dengan kamera di tangannya.
"3....2....1....yoww..". Dia memberi kode agar sling ku diluncurkan.
Huaaaaa......mungkin hanya berselang 10
detik...............................Sampai. Kotak kayu itu mendarat di
atas batu. Fiuhhhh....ternyata ngga seseram dugaanku.
*************
Aku
ngos....ngosan.....napasku tersengal. Mataku berkunang-kunang. Akhirnya
aku memilih membaringkan badan di tanah. Aku ngga peduli bajuku akan
kotor seperti apa. Setelah menaiki sling, ternyata mendaki tanjakan
gunung sabun sangat menyiksa. Licin dan.....dan....melelahkan.
Aku
lihat teman-temanku yang lain. Mas syahrul dan Rere bagai mandi
keringat. Sedangkan mas Agung....wajahnya pucat pasi. (God.....beberapa
hari lagi aku bakal pulang dengan rute ini??!!!!!)
Matahari
mulai meredup.....pertanda senja akan seger tiba. Dan
ternyata...perjalanan kami menuju camp 103 masih jauh.....sekitar 4 jam
perjalanan. Padahal sekarang sudah
jam 4.30 sore.
Jadi
ini mau pakai kendaraan apa lagi, pikirku. Ternyata...mobil
lagi....yang ngga kalah bututnya. Wujudnya bagaikan mobil jeep off road
yang sudah mengalami kanibalisasi. (Sayang banget aku ngga punya
gambarnya). Supir kami kali ini (sudah berganti orang) dengan ramah
mempersilakan aku dan Rere untuk duduk di kursi depan, bersamanya.
Sedangkan cowok-cowok, berdiri di bak bagian belakang...
Sebelum mobil meluncur, si supir berpesan, "hati-hati.....banyak pacet..."
*****************************
|
ini bukan foto perjalanan gw sihhh...tapi kurang lebih inilah desain 'mobil super yang ngebawa gw and tim ke camp |
Kami
menerobos hutan dengan melewati jalan sempit. Kanan kiri hanyalah
kegelapan dan sekelebat daun-daun liar di hutan yang lembap. Gerimis pun
mulai turun. Semoga pria-pria yang berdiri di bak belakang diberi
ketabahan. Mereka pastinya senang bisa sedikit beraksi seperti
penjelajah hutan, sambil berselubungkan jas plastik.
Ternyata
kisah banyaknya pacet bukanlah isapan jempol.
"Aduhh...pak...pak....tolong, pak..!", berkali-kali aku dan rere sampai
bergantian teriak histeris. Bermula dari rasa gatal atau geli di
beberapa titik badan. Seperti telapak kaki, tangan, atau mungkin bagian
wajah. Kami pun mengarahkan cahaya senter ke sumber rasa gatal, agar
bisa melihat dengan jelas. Dan ternyata, ada hewan kecil yang mengeliat
bagai cacing, sibuk menghisap darah.....hieeekkk....menjijikan.
Si
pacet bisa masuk dengan mudah, melalui sela-sela mobil yang sudah ngga
rapat. Lagipula, kaca sisi pintu mobil, ngga bisa ditutup rapat,
lantaran mobil tidak dirancang dengan AC. Akhirnya entah berapa puluh
pacet dari dedaunan, yang nyamber masuk ke mobil.
Dengan
sigap, si supir segera mencabut pacet itu dari tubuh kami. Meskipun hal
itu akhirnya menyebabkan dia harus nge-rem mobil berkali-kali.
Pacet attack yang melelahkan itu, membuat aku bertanya puluhan kali "apakah kita segera sampai?" (Somebody plz help meeee.....)
Perjalanan akhirnya terus berlanjut, di tengah gerimis....dan bunyi teriakanku serta Rere
saat menemukan pacet.....
SUMBER FOTO: google.com (dan foto pribadi)