bagi saya, orangutan memang sudah seharusnya berada di rumahnya......hutan |
Suatu hari di bulan Mei 2012......
Pesawat mendarat mulus di bandar udara sepinggan, Balikpapan.....kota kelahiranku. Masih sekitar jam 9 pagi.
Aku menatap setiap tiang dan pondasi bandara itu -- nyaris tidak ada
yang berubah dengan arsitekturnya selama belasan tahun. Ukiran khas
dayak yang mengelilingi tiang kayu coklat berdiameter lebar, dengan
palang-palang atap yang bermotif serupa.
Jauh-jauh
ke balikpapan, tugasku selalu sama.....liputan. Liputan kali ini agak
berbeda dari yang pernah kulakukan. Kali ini, kami mengangkat cerita
aksi lepas liar orangutan. Jadi, seperti yang kamu duga, lepas liar
spesies endemik ini ngga mungkin di tengah kota, kayak Balikpapan. Kami
akan pergi lebih jauhhhhhhhhhh......masuk hutan.
Perjalanan
akan dicicil selama 3 hari. Dan khusus hari ini, kami menargetkan
perjalanan 18 jam menuju penginapan kami (yang entah dimana
persisnya...)
Tim
yang membawa kami adalah Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF).
Dan ini dia rombongan wartawan yang ikut..... Perkenalkan.....
Lori Singer (reporter Metro TV)
Agung Maulana (cameraperson Metro TV)
Syahrul Karim (jurnalis Media Indonesia)
Regina Safri (fotografer Antara)
(Jujur.....kami baru mengenal satu sama lain dalam liputan ini...:)...)
Lokasi
lepas liar orangutan ini, sebenernya aku ngga bisa paparkan persis.
Mereka menyembut tempat itu bernama "Gunung Belah". Lokasinya berkisar
di kecamatan muara wahau, kalimantan timur -- tempat suku dayak wehea
telen bermukim.
Sebagai
penduduk (atau kamu bisa menyebutnya "mantan penduduk") yang melewatkan
masa kecil di Kalimantan, aku belajar sedikit mengenai suku dayak. Di
Kalimantan Timur, suku ini banyak menggunakan burung enggang -- salah
satu hewan endemik selain orangutan -- sebagai lambangnya. Sebaliknya,
penggunaan simbol-simbol orangutan nyaris ngga terekspos dalam pahatan
kayu, maupun tenunan manik khas kesenian dayak.
Tapi,
jangan salah.. Ternyata orangutan memiliki makna penting bagi suku
dayak -- yaitu sebagai sahabat. Orangutan berfungsi untuk pemberi kabar
bila musuh mendekat. Caranya? Melalui suara mereka.. (Penduduk asli
tentunya bisa membedakan suara orangutan, ya....seperti di film Tarzan).
Itu sebabnya, bagi orang dayak, menjaga kelestarian orangutan sama
dengan menjaga hidup sahabat mereka sendiri.
Terancamnya
orangutan emang ngga terlepas dari rusaknya hutan tempat mereka
tinggal. Musa Ba Helaq, sekretaris adat Dayak Diak Lay, menceritakannya
pada Mas Syahrul -- rekan kami dari Media Indonesia.
(Perlu
diketahui, Diak Lay adalah nama salah satu desa tempat tinggal suku
dayak wehea telen. Desa lainnya yang menjadi tempat tinggal mereka,
adalah desa Bea Nehas dan desa Beq)
Menurut
Musa, masyarakat dayak wehea telen tinggal di kawasan gunung Pea Pung
dan Gunung Gua Leseg, yang dikelilingi oleh Sungai Telen. Selama puluhan
tahun (atau mungkin ratusan tahun) mereka tinggal berdampingan dengan
hutan, sesuai dengan ajaran nenek moyang mereka. Bagi mereka, yang
namanya memberdayakan hasil hutan, itu hanya boleh seperlunya saja.
Kalau
ada yang melanggar, ada hukumannya lho. Mereka ngga akan diijinkan
untuk masuk hutan selama periode waktu tertentu. Selain itu, mereka juga
kena hukuman tebusan, dengan memotong babi seberat 100 kg, satu potong
ayam, satu butir telur, dan puasa selama 3 bulan. (Aku sendiri ngga
memahami makna dari setiap lambang hewan dan benda tebusan ini....:/...)
Yahh...secara
hukumannya cukup berat. Jadilah aturan tersebut ditaati selama ini.
Tapi semuanya mulai berubah, sejak awal tahun 2000 lalu. Menurut Musa,
perubahan nampak saat perusahaan kelapa sawit mulai masuk hutan. Dampak
yang paling dirasakan di hutan hujan tropis yang cenderung sejuk
sepanjang tahun itu, adalah saat musim kemarau cuaca cenderung terlalu
panas. Sebaliknya, saat musim hujan, mereka bisa mengalami banjir.
Efek
negatif lain dari kehadiran perusahaan sawit, adalah hasil buangan
pabrik, yang kemungkinan dialirkan ke sungai. Menurut Musa, seringkali
air sungai terlihat lebih keruh, berwarna lebih kecoklatan dan agak
berminyak. Padahal buat suku pedalaman, sungai adalah nadi kehidupan,
selain hutan. Mereka minum, mandi, mencuci, masak.....semuanya
menggunakan air sungai.
Kesimpulannya
adalah, terancamnya nasib orangutan saat ini, sama dengan terancamnya
nasib suku pedalaman -- mereka yang sama-sama menganggap hutan sebagai
rumah dan sumber kehidupan.
Aku
sendiri ngga mengerti, seberapa kuat kemampuan suku pedalaman untuk
bernegosiasi dengan pemerintah daerah setempat, untuk mempertahankan
nasib mereka. Yang jelas, mereka bisa memilih untuk abai. Toh generasi
muda dayak bisa saja memilih untuk ngga melanjutkan tinggal di hutan.
Bisa jadi mereka memilih pergi ke kota, bekerja menjadi buruh atau
pegawai. Lambat laun, desa akan menjadi sepi, dan hanya meninggalkan
generasi tua yang tetap ingin mempertahankan hidup mereka disana.
Tapi
kalau orangutan, mereka mau pindah kemana? Mereka ngga bisa membela
diri mereka sendiri, atau tiba-tiba ganti profesi jadi buruh juga,
kan....
(Mmmm....ceritanya
to be continued, ya.... perjalanan kami akan segera dimulai. 2 monil
land cruiser sudah siap menjeut kami...:D.... Wish me luck...!)
SUMBER FOTO: google.com
Semoga cerita ini menjadi kenangan terindah pada masanya dan reperensi untuk anak muda Adat Wehea pada umumnya untuk menjaga kelestarian lingkungan karena sumber air adalah sumber kehidupan semua orang.salam dari saya MUSA BA HELAQ DIAQ LAY.WAHAU
ReplyDelete