Aku berusaha berjalan di lorong yang sempit itu.
“Maaf ya, Mbak..rumahnya lagi berantakan”, kata si
bapak pemilik rumah
“Ngga pa-pa, Pak”, kataku sambil sedikit tersenyum
Pada kenyataannya, aku yakin rumah itu memang sangat
berantakan dan ngga bisa diperbaiki – dalam artian dibereskan. Gimana engga,
bahkan di lantai tempat aku berjalan terhampar barang-barang bekas yang seakan sayang
untuk dibuang. Boneka rusak, kursi bekas, tumpukan kertas, dan entah apa lagi.
Entah tata ruang apa yang dianut oleh pemilik rumah ini, sampai-sampai dari
pintu masuk pun wujudnya sudah berupa lorong-lorong.
Rumah itu agak gelap. Aku menunduk sedikit untuk
melihat, tiba-tiba gigiku membentur sesuatu....tangkai sendok, yang teronggok
di atas piring bekas dipakai makan. Dalam hati aku bertanya sudah berapa lama
piring bekas pakai itu diletakkan disana
Inilah liputanku yang selanjutnya: Kepadatan Penduduk.
Terinspirasi dari Bonus Demografi yang dialami Indonesia per 2010, aku ingin
melihat seperti apa sebenarnya hidup di lingkungan dengan jumlah penduduk yang
sudah tidak ideal. Dan lokasi yang paling tepat untuk mengamatinya adalah:
Kecamatan Tambora. Kecamatan ini dinobatkan sebagai wilayah terpadat se-Asia
Tenggara. Rumahnya berdempetan nyaris tanpa sela. Jalan di gang-gang sempit
yang lebarnya hanya berkisar 1 meter. Bahkan untuk pertama kalinya, bisa
melihat selokan yang lebarnya ngga sampe sejengkal tangan, alias
15cm...ck...ck...ck...
Rumah yang
kudatangi ternyata ditinggali oleh empat keluarga yang masih berhubungan satu
darah. Alhasil rumah kecil itu pun dibagi menjadi beberapa bilik, meskipun
akhirya menghasilkan gang-gang sempit dalam rumah beserta dengan perabotan using
yang campur aduk. Dan rumah ini hanyalah satu gambaran dari sekian banyak rumah
di kecamatan Tambora.
Aku terheran-heran,
bagaimana mungkin masih ada orang yang mau tinggal di lingkungan seperti itu.
Tapi keberadaan mereka yang bahkan telah tinggal di sana puluhan tahun adalah
bukti. Bahkan kontrakan yang kunilai tidak layak pun nyaris ngga pernah sepi
peminat. Rata-rata para pengontrak adalah buruh konveksi, satpam, dan supir. Hidup
keras Jakarta membawa mereka tinggal disana. Satu bilik atau ruang yang
lebarnya sekitar 2,5 x 2,5 m2 pun dihuni oleh 3-4 orang, demi penghematan. Tidur
pun akhirnya berhimpitan satu sama lain.
Ngga jarang
dari mereka yang tidur dengan suatu sistem. Jika 2 orang pergi kerja di siang
hari, maka 2 lainnya akan tidur di ruangan. Saat malam tiba, maka tidur pun
bergantian. Hal tersebut tidak hanya lumrah bagi para bujangan, tapi juga bagi
pengontrak berkeluarga. Jangan heran jika tengah malam masih bisa melihat
bocah-bocah berkeliaran di gang-gang, atau bahkan tidur di depan siskamling. Itu
pertanda bilik sedang dipakai orang tuanya untuk istirahat sehabis kerja
seharian.
Setiap kali
pulang sehabis liputan di tempat itu, aku masih selalu termangu dan berpikir keras. Adakah rasa
kekeluargaan yang membuat mereka sulit meninggalkan kecamatan Tambora. Seiap
kali menyusuri gang demi gang, sapaan terhadap ketua RT, RW, atau Lurah selalu
terucap dari mulut para warga. Suasana kedaerahan yang sangat sulit ditemukan
di tengah kota Jakarta yang individualis.
Adakah
kecamatan Tambora yang menjadi lokasi pengancam keselamatan jiwa – karena seringnya
menjadi langganan kebakaran – justru menyediakan perasaan dihargai sebagai
manusia, meskipun lokasi tempat tinggal mereka sendiri tidak cukup manusiawi??
No comments:
Post a Comment