suasana dalam kereta ekonomi saat ini....memang lebih enak sih..sejak pake AC |
"Tas siapa ini?", ujarnya. Rupanya ruang bagasi atas untuk menaruh barang bawaan sudah terisi penuh, termasuk bagian ruang bagasi yang menjadi 'jatah' si ibu. Penumpang se gerbong hanya diam saja, seakan tak mengidahkan.
"ya mana tau tas siapa. Ya taruh aja sih tas nya disitu. Untuk sama-sama juga", gumam penumpang di samping ku. Nampaknya dia agak kesal dengan si ibu.
Si ibu yang tak mendapat respon pun segera berusaha menurunkan kardus yang 'mengambil' ruang bagasi ibu tersebut. Penumpang se gerbong pun kaget. Beberapa mulai risih dan berbisik.
Seorang pria pun berdiri..
"Itu punya saya", ujar pria itu yang akhirnya mengaku
"Naaf ya, pak.. Ini harus diturunkan. Soalnya barang saya ngga ada tempat. Nanti saya ngga bisa duduk", kata ibu itu
"Lho...barang saya kan di atas. Anda ya duduk aja", sahut bapak itu berkilah
"Bukan gitu, pak.. Ini bagian atas dan kolong sudah penuh (barang-barang penumpang". Kalau barang saya ngga dapat tempat (dan harus ditaruh di kursi), saya mau duduk dimana?", tanya ibu itu.....
Aku, sama seperti penumpang lain, hanya terdiam. Namun penumpang yang duduk bersamaku mulai berkomentar,
"Ya taruh aja di kolong. Ini kan punya sama-sama. Ya sudah, lah..."
Dalam hati aku tertawa kecil dan ingin menyahut,
"ya...iya, bu....Ibu ngomong gitu. Kan ibu barang bawaannya juga banyak banget....sampe-sampe make jatah ruang bagasi saya juga".
ini belum semua bagasi lho...masih ada yang di kolong kursi dan di ruang kaki |
Dalam beberapa waktu terakhir, saya berkesempatan beberapa kali naik kereta ekonomi. Dan masalah yang selalu saya temui kurang lebih sama: penumpang yang over bagasi. Adalah pemandangan yang lazim untuk melihat sekeluarga yang naik kereta, dengan beban bagasi 2-3 kardus/ tas per orang. Jadi jangan heran kalau melihat sepasang suami istri bawa 5 kardus plus 2 tas tangan. Atau keluarga 3-4 orang yang bawa bagasi 8-10 kardus.
Bagasinya akan ditaruh di tempat bagasi atas atau di bawah kolong. Sayangnya, kereta ngga sama seperti pesawat, yang punya penyimpanan bagasi di lambung pesawat buat yang bawa over-bagasi. Ujung-ujungnya, penumpang kereta bakal 'makan' ruang bagasi penumpang lain yang barang bawaannya lebih sedikit. Sayangnya (lagi), barang bawaan orang indonesia itu memang buanyaakk banget, entah apa aja isinya. Bahkan ngga jarang klo kardus-kardus yang dibawa isinya adalah 'hanya' snack atau lauk pauk khas daerah yang memang mau dibawa ke tempat tujuan. Makanya, mengambil jatah bagasi orang lain pun tidak dianggap sebagai sesuatu yang berarti selagi tidak ada yang protes
Kadang saya cuma mengelus dada dengan 'tradisi' ambil jatah orang ini. Harus saya akui, sebagai warga biasa, agak lumrah rasanya mengijinkan hal itu terjadi kalau keretanya sepi. Lha...ini kan kereta ekonomi sekarang selalu rame -- seiring dengan meningkatnya pelayanan di KA ekonomi yang kini bersih, non-pedagang, non-rokok, non-binatang, plus ber-AC. yang bikin saya geli, kadang alasan untuk membenarkan tindakan ini sangat lah kekanak-kanakan.
"Lha...orang punya sama-sama juga...."
"salah sendiri naik belakangan. ya sudah ditempatin sama yg naik duluan..."
"ya sudah...mbok ya ngalah"
"kalau mau enak, ya jangan naik kelas ekonomi..."
Duileeeeee.....pantes kita sulit maju.
Menurut saya, ini bukan masalah enak ato ngga enak, ngalah atau ngotot, ikhlas atau engga. Ini masalah prosedur, hak, dan kewajiban. Kalau kita ini naik kereta gratis, bolehlah....atau kalau kita lagi dalam situasi darurat dan mengungsi, bolehlah..... Tapi kondisi yang sedang kita bicarakan kan dalam situasi normal, dimana setiap penumpang membayar tiket, dan mendapatkan hak sesuai dengan yang dia bayar.
Menurut saya, bagasi yang jumlahnya jauh lebih banyak dari jatah penumpangnya sebenarnya bisa ditangani dengan beberapa solusi. Misalnya, mengirimkan barang bagasi ke alamat yang dituju dengan paket pos. bisa dikirimkan di hari yang sama dengan keberangkatan, atau beberapa hari sebelum keberangkatan.
(trus siapa yg mau terima itu barang klo orangnya ngga ada? malah bikin repot tau..)
logikanya, orang ngga bakal bawa barang sebanyak itu klo bukan ke rumah relasi dekat atau keluarga. Yahh...kalau dia mau repot-repot bawain sebanyak itu buat keluarganya, ya masa sih keluarganya ngga mau ngambilin buat dia. Orang yang cuma liburan ke tempat yang ngga dikenal, perjalanan bisnis, atau short trip, rata-rata ngga bakal bawa sebanyak itu.
Atau....
Belilah tiket lebih. Misalnya trip itu untuk suami istri, namun bawa 5-6 bagasi. Tidak ada salahnya untuk membeli karcis 3-4 lembar. Dengan demikian, otomatis mereka juga 'membeli jatah bagasi' yang lebih banyak. Selain itu, ruang istirahat di kereta pun akan lebih lapang dan nyaman. Toh tiket ekonomi ini, harga berkisar Rp 75,000-Rp 240,000 per lembar...
(Enteng lu ngomong, Ri. Buat lu, mungkin tiket segitu murah. Buat orang lain kan itu mahal...)
Bung, ini bukan masalah kasihan-kasihanan. Coba kalo ortu kita sendiri yang ada di posisi yang dirugikan, mereka mau taruh barang, tapi bagasinya dipakai orang lain, apa yang akan kita lakukan? Jangan cuma melihat di sisi orang yang bawa barang banyak donk....lihat juga kebutuhan orang yang hak nya justru diambil.
Bukankah itu juga yang dilakukan oleh pihak KAI? Mereka memperbaiki banyak fasilitas, terutama di kereta ekonomi, yang menyebabkan jumlah penumpangnya naik tajam tahun demi tahun. Coba klo pihak KAI bilang
"Saya ngga mau nambahin fasilitas di ekonomi. Mahal tau kasi fasilitas kayak gitu. Mana tiket kalian harganya murah banget...", kalian pada bete ngga? Dan selanjutnya, ayam dkk ikut masuk kembali di kereta ekonomi. Ngga mau, khan.....
tuuhhh....bawaan per orang lumayan juga, khan...ampe dibopong |
Atau...
Bawalah barang secukupnya. Sudah normal tuh...1 orang bawa paling engga 2 tas: 1 bagasi besar, dan 1 tas yang dibawa sendiri untuk diisi dompet, hp, buku, snack dll. Lagipula, barang bawaan yang seadanya bakal membantu kita fokus saat berkemas dan membawa barang turun dari kereta. Di sisi lain, kita juga belajar untuk menghormati kebutuhan orang lain sesuai dengan kadarnya. ngapain juga kita susah-susah belajar agama dan PPKn, klo hal kayak gini aja masih belum lulus...