Monday, July 23, 2012

Everest: hari 31

Perpisahan, dimana pun dan kapan pun, selalu terasa berat. Meskipun sebenarnya tidak berharap tinggal lebih lama di Khatmandu, tetap saja berpisah dengan teman- teman Nepal kami terasa menyedihkan. Sepanjang perjalanan kami di Himalaya, mereka selalu menolong dengan tulus. Yahh....mungkin kita bisa mengatakan itu adalah tugas mereka....karena mereka adalah guide, sherpa, porter yang dibayar untuk mengerjakan tugas mereka..... Tapi tetap saja, keramahan dan pelayanan mereka melampaui apa yang kami harapkan.
kota Khatmandu yang padat dengan bangunan-bangunan pendek

Tidak hanya sepanjang perjalanan di Himalaya, namun juga selama di Khatmandu. Beberapa kali Kitab dan Purna membantu mengurus barang-barang kami yang datang terlambat dari Lukla atau sekedar menemani kami berjalan-jalan, meskipun mereka ngga dibayar untuk itu. Mereka tidak memungut biaya untuk itu. Yang ada hanya seperti jalan-jalan bersama teman saja.

Hari ini kami ke bandara ditemani Purna. Ia sendirian, karena  Kitab sedang mendaki gunung Anapurna bersama klien pendaki Inggrisnya. Purna sudah menjemput kami di  penginapan sejak jam 8, meskipun pesawat baru akan terbang jam setengah 2 siang; dan kami baru meninggalkan penginapan jam setengah 11 siang.

Sesampai di bandara, Purna mengucapkan selamat jalan kepada kami sembari mengalungkan kain putih, pertanda mendoakan keselamatan penerbangan kami. Tentu saja kami surprise sekali.....untuk yang kesekian kalinya, dia bukan hanya memposisikan sebagai guide kami. Ia sudah menjadi teman kami. Bagaimana pun juga, aku secara pribadi merasa akan selalu mengingat Kitab, Purna, Tes, Lal, dan Dawa....dan teman-teman lainnya.

Dan saat pesawat akan membawa kami terbang meninggalkan Khatmandu, hujan baru saja berhenti. Aku menyempatkan diri menengok ke kaca jendela....menyampaikan selamat berpisah pada gedung-gedung Khatmandu yang berwarna- warni...yang terlihat semakin mengecil di bawah sana.....

sumber: google









Everest: hari 30


Dipendra, sang putra Mahkotta
Hari ini aku puas-puasin mataku untuk memandangi Khatmandu dan jalan-jalannya. Soalnya minggu depan, jangankan menceritakan petualangan selama disini keteman-teman, aku pastinya sudah kembali berkutat dengan liputan dan kemacetan Jakarta yang ngga ada habisnya. Lucu rasanya, tapi setelah dipikir-pikir, aku seaka baru menemukan betapa uniknya Nepal ini….

Nepal, negara yang tanpa laut, karena terkurung daratan di Asia Selatan -- ada China di utara serta India di barat, timur, dan selatan. Penduduknya nampak berjuang menghidupi dirinya sendiri, seakan pemerintah ngga sanggup melindungi mereka. Apakah kisah mereka bisa disamakan dengan kebanyakan negara-negara Afrika yang masuk golongan collapse states?? Entahlah…dari segi pemerintahan mungkin saja, tapi nyatanya penduduknya masih dapat hidup layaknya masyarakat dunia ketiga pada umumnya. Kota tidak dikuasai oleh mafia, tidak ada kisah penyergapan di truk-truk makanan di perbatasan, tidak ada anak di bawah umur yng dipaksa jadi tentara bayaran. Nepal menjadi salah satu negara yang maju dalam bidang pariwisata. Bayangkan, kami para turis tetap menikmati suasana wisata di Nepal meskipun sesungguhnya iklim politik negra ini sangat tidak sehat.

pemakaman keluarga Raja
Awalnya, Nepal berstatus protektorat setelah dikalahkan Inggris pada perang di tahun 1815. Kemerdekaan Nepal diakui Inggris pada tahun 1923 (lebih lama dari Indonesia, donk…). Namun tahun 1990, Nepal menjadi negara monarki konstitusional. Tetapi euphoria demokrasi yang terjdi di awal 90an telah melanda seluruh dunia, tidak terkecuali masyarakat Nepal. Dan karena tidak bisa membendung semangat demokrasi, raja akhirnya setuju membentuk parlemen multi partai. Tahun 1996 muncul gerakan maois (dari partai komunis Nepal) yang menawarkan menggantikan sistem parlementer kerajaan dengan republik sosialis rakyat, namun dengan cara kekerasan. Munculah perang saudara pemberontakan bersenjata yang menyebabkan korban 12000 orang.

masyarakat yg berduka saat keluarga Raja dibunuh
Peristiwa tragis sekaligus sangat menentukan terjadi pada 1 juni 2001. Terjadi pembantaian keluarga kerajaan. Raja Birendra, Ratu Aiswarya, putra mahkota Dipendra dan 7 anggota kerajaan lain dibunuh. Hingga hari ini, pelaku pembantaian masih menjadi misteri. Cerita yang beredar menyatakan pembantaian dilakukan oleh putra mahkota Dipendra yang marah besar dan menggila, karena calon istrinya tidak disetujui oleh Ratu Aiswarya, dan setealh menembak keluarganya Dipendra pun bunuh diri. Namun banyak pula masyarakat Nepal yang mergukan kisah ini, karena mengenal sosok Dipendra sebagai orang yang bersahaja dan calon pemimpin mereka di masa mendatang. Setelah pembantaian, Gyanendra ( saudara Birendra yang lolos dari pembantaian karena sedang ada di luar negeri) mewarisi tahta.

Royal Palace di malam hari
Gerakan demokrasi terus bergulir. Pada 2006, gerakan demokrasi ngga terbendung memaksa raja untuk melepaskan kekuasaan berdaulat kepada rakyat. Dibentuklah semacam DPR yang akhirnya sepakat membatasi kekuasaaan raja, menjadikan Nepal sebagai negara sekuler dan bukan lagi kerajaan Hindu. Saat itu, berakhir sudah kisah Nepal sebagai satu-satunya kerajaan Hindu di dunia. Pada 28 mei 2008, diputuskan untuk membentuk pemerintahan baru, Nepal menjadi republic federal yang sekuler. Yang paling tragis sebagai keputusan kisah ini adalah raja diberi waktu 3 hari untuk mengosongkan narayanhiti royal palace, yang menjadi tempat tinggal keluarga raja selama ini di Khatmandu!!!! Bo…raja diusir dari rumahnya sendiri, bo…!! Sekarang istana raja itu  jadi museum yang terbuka untuk umum, menyedihkan sekali….



keluarga Raja Nepal kini tinggal kenangan..


Aku menghirup udara dalam-dalam sambil menatap langit senja yang mulai datang. Kulihat kesibukan pedagang masih terlihat di ruko-ruko Thamel. Adakah kenangan tentang nsib keluarga raja hinggap di benak mereka? Apakah mereka menganggapnya sebagai pengalamn traumatis, ataukah mereka adalah salah satu pendukung gerakan maoisyang memang menginginkan bubarnya keluarga raja? Entahlah….mungkin bahkan mereka ngga peduli dengan apa yang terjadi….karena mereka sibuk berjuang untuk mereka sendiri….karena mereka hidup di suatu negara dengan pemerintah yang tak berdaya…



sumber foto: google

Everest: hari 29


Nampaknya hari ini menjadi hari perburuan oleh-oleh. Dari pagi sampai malam kami hanya memutari pertokoan di Thamel. Sebenarnya aku sama sekali ngga keberatan melakukannya. Tapi godaan untuk berbelanja disana terlalu tinggi -- bahkan di saat kau berjanji tidak akan mengeluarkan se peser pun uang lagi, kau akan tetap mengeluarkannya. Aku pun harus menyiasatinya dengan meninggalkan sejumlah uang di hotel, dan hanya membawa sedikit di dompet...
Ngomong-ngomong tentang berburu oleh-oleh, aku sebenarnya agak bingung dengan selera teman-teman seperjalananku yang semuanya adalah laki-laki ini. Mereka sangat suka membeli kukri sebagai oleh-oleh. Meskipun aku akhirnya juga ikut-ikutan membelinya, aku ngga mengerti kenapa setiap dari mereka bisa membeli lebih dari 3 kukri, hingga membeli kukri ukuran jumbo yang dapat kau sandingkan dengan pedang Tessaiga-nya Inuyasha.

Menjelaskan kukri itu seperti apa, ya…??? Kukri, kadang dieja kukuri atau khukri, adalah senjata yang dimiliki oleh warga laki-laki Nepal. Dalam masyarakat tradisional, laki-laki membawa kukri selalu bersamanya -- entah untuk berladang, menyabit tanaman liar di hutan, atau bahkan melindungi diri dari penjahat atau binatang. Kan dulunya orang Nepal banyaknya berladang….Tapi, entah bagaimana cerita detailnya, kukri juga dibawa oleh resimen gurkha (tentara bayaran yang dibentuk oleh Inggris di darah himalaya) sebagai salah satu senjata andalan. Semasa zaman kolonial sewaktu terjadi Perang di Nepal, Inggris membentuk pasukan Gurkha bekerja untuk East India Company di India dan British Army. Istilahnya jadi tentara bayaran gitu deh… Mereka digaji layaknya tentara Inggris. unit sendiri dengan nama Brigade of Gurkha. Gurkha terkenal dengan kemampuan berperangnya yang alamiah, agresif di medan pertempuran, tidak takut mati, loyalitas yang tinggi, tahan dalam berbagai medan, fisik yang kuat dan pekerja keras. Sehingga Gurkha begitu disegani oleh kawan, ditakuti oleh lawan.(latar belakang kisah ini pun ada sejarahnya lagi….panjang bangettt….). Nahhh salah satu kisah bagaimana para Gurkha sangat memfungsikan kukri adalah Sewaktu PD II di front pertempuran Tunisia (Afrika Utara). Saat itu, pasukan Gurkha yang sudah kehabisan amunisi justru membuang senapan-senapan, berlarian naik ke atas tank-tank Jerman di tengah-tengah hujan peluru dan menggorok tentara Jerman dengan senjata tradisional mereka, khukri.

Menurut mitos, jika gurkha menghunus sebuah kukri, maka kukri tersebut harus minum darah (membunuh sesuatu) sebelum disarungkan....Bahkan kisah lainnya menceritakan tentang gurkha yang membantai tentara Jepang pada PD II dengan kukri ato membantai Taliban di Afganistan....agak menyeramkan, ya... Tetapi mungkin itulah sebabnya para gurkha sangat bangga dengan kukri mereka.

Bagaimana bentuk kukri? Gagangnya dibuat dari kayu tebal dan berat. Ada juga yang pake gading. Pisaunya dibuat dari baja karbon dengan kerapatan tinggi. Jadi kemungkinan untuk patah teramat sangat kecil. Tapi kalo nebas....beghhh... (ngga bisa dideskripsikan..)

Mungkin semua penuturan di atas yang ngebuat cowo-cowo ngefans berat sama kukri. Tapi pertimbanganku adalah...pertama, kukri itu berat. Jadi ada kemungkinan kami bisa over baggage karena kukri (mengingat bawaan peralatan gunung kami aj udah banyak banget…). Kedua, harganya termasuk mahal untuk oleh-oleh. Seandainya ngotot mau beli, pastinya Cuma buat orang-orang tertentu doank….ngga bias beli buat temen-temen….bisa tekor. Ketiga, kemungkinan bakal ngga lolos di pemeriksaan bandara. Tau sendiri, kan…kebijakan di tiap banadra tuh beda-beda. Meskipun dah tau itu oleh-oleh khas negaranya sendiri mungkin, tetep aja nanti bisa mendasarkan pada rule ini-itu…

Tapi sayang juga, ya…dah jauh-jauh ke Nepal…masa’ g punya kukri barang satu. Ya udah, deh…akhirnya jadi beli 2yang sebenarnya cukup buat motong daging di dapur…

sumber foto: google



Everest: hari 28

Mungkin aku adalah satu dari sekian banyak orang yang masih tidak mengerti dengan hobi mendaki gunung…dan mereka yang menggemarinya. Bahkan setlah mencobanya melalui liputan di Himalaya ini, aku masih tidak menemukan passion nya. Orang sepertiku akan bertanya-tanya, dimanakah letak kenikmatan pergi ke tempat berbahaya dan menguras tenaga?? Tempat dimana suhu, iklim, dan linkungannya bukanlah tempat yang dapat diterima oleh tubuh kebanyakan manusia?!!?? Dan tentunya, para pecinta olahraga mendaki akan memiliki 1001 jawaban atas pertanyaan tersebut…

Gunung-gunung es, seperti Everest, tentunya menjadi dambaan bagi seluruh pendaki di dunia. Dan terbukti ratusan orang dengan bangga mempublikasik

Chiring bersama tim yang berhasil ia bawa ke Everest
an keberhasilan mereka mencapai summit Everest...bahkan menjadi kebanggaan jika mereka bisa mendaki sebagai solo climber.   Publikasi akan mengundang decak kagum dari berbagai kalangan, termasuk sponsor -- dan mereka memang layak untuk mendapatkannya. Tetapi nampaknya banyak oang yang lupa bahwa sehebat apa pun para pendaki macam ini, mereka tidak akan sanggup untuk melakukannya tanpa bantuan para porter yang mendampingi mereka. Para porter menempuh jalan yang sama dengan yang para pendaki tempuh -- bahkan berangkat lebih awal, untuk menyediakan tenda dan tabung-tabung oksigen -- dan mengangkat barang-barang si pendaki. Di saat para porter membawa beban tersebut di tengah salju, si pendaki berjalan 'hanya' dengan beban tongkat dan tabung oksigen yang mereka pakai. Terkadang para porter pun harus mengorbankan tabung oksigen mereka untuk para pendaki yang kepayahan atau kekurangan oksigen di tengah jalan. Jadi sebenarnya siapa yang lebih hebat??? Para pendaki melakukannya untuk nama, tetapi para porter melakukannya untuk memenuhi kebutuhan dapur keluarga mereka saja.

Kenyataan inilah akhirnya yang menginspirasi salah seorang guide kami, Chiring. Ia lahir dari sebuah keluarga miskin di Rowaling, sebuah desa di ketinggian lebih dari 4000 m dpl.  Saat ia kecil, orang tuanya meninggal. Jadi kau bisa bayankan betapa susahnya hidupnya. Paman Chiring memperkenalkan dunia pendakian padanya. Akhirnya Chiring pun termotivasi untuk menjadi seorang pendaki, porter, dan akhirnya menjadi guide.bagi pendaki gunung.

Jika dilihat dari penampilannya, kau tidak akan percaya pria gemuk bertampang polos dan lucu tersebut adalah seorang pendaki. Badannya pun tingginya hany sekitar 165 cm. Tapi Chiring bahkan menantang bahwa ia masih sanggup mengangkat 6-8 tabung oksigen di ketinggian di atas 5000 m dpl....dia benar-benar anak gunung...!
Oh, ya…kembali ke inspirasi Chiring. Dengan bantuan seorang temannya yang adalah jurnalis Inggris (eh…Inggris atau Amerika, ya…???), Chiring membantu menulis buku berjudul “Burried in the Sky”. Cerita besar dari buku ini adalah tentang pendakian gunung K2 (perbatasan China dan India) pada tahun 2008 yang banyak menelan korban jiwa. K2, menurut cerita, memng adalah gunung yang menyeramkan. Kemungkinan kegagalan pendaki yang berujung kematian adalah 1 berbanding 5 dengan yang berhasil. Chiring ikut ambil bagian dalam ekspedisi itu. Ia bahkan berhasil naik kesana tanpa bantuan tabung oksigen!!!
kiri-kanan: Chiring, aku, Hiro
Namun buku itu juga menceritakan perjuangan para porter (Sherpa) dan para pendaki yang menjadi korban dari ganasnya tantangan alam di K2. Jadi, lebih dari sekdar menunjukkan betapa hebatnya manusia yang berhasil menaklukkan K2, ada kisah pengorbanan, luka, dan testimony dari keluarga korban yang ditinggalkan. Tujuan Chiring, melalui buku tersebut, orang-orang tidak hanya melihat gunung sebagai bentang alam yang indah ataupun pendaki yang hebat. Tetapi orang lebih sadar akibat fatal dan resiko yang bias mengintai kapan saja dalam pendakian…yang terkadang bukanlah karena kelalaian manusia. Selain itu, Chiring ingin mengangkat nama para Sherpa/ porter, agar mereka tidak dipndang sebelah mata. Mereka memang dibayar untuk melakukan tugasnya. Tetapi mereka juga manusia, yang memiliki keluarga yang menantikan mereka di rumah…
Mendengar cerita Chiring, hatiku benar-benar terenyuh. Ingin rasanya langsung membeli bukunya. Tapi saat launching perdananya akan di Eropa. Mungkin baru tahun depan masuk Indonesia…huff….















Everest: hari 27

hiruk-pikuk Thamel
Sekembalinya tim dari Himalaya, Everest masih menjadi topic pembicaraan setiap waktu. Dimana pun kami singgah untuk duduk, makan, atau sekedar ngopi, kisah-kisah perjalanan kami di Himalaya, kesulitan tim selama di Everest, dan kecelakaan yang dialami oleh teman satu regu maupun tim lain masih menjadi hot topic. Kami pun cukup sering bertemu dengan guide dari tim utara, Chiring, dan guide dari tim selatan, Hiro, untuk berterimasih atas bantuan mereka selama ekspedisi tim kami. Terleas dari ada tim yang berhsil dan ada yang gagal, mereka berdua telah menjadi lebih dari guide…. Mereka bahkan sudah berperan seperti teman, saudara, bahkan orang tua sendiri. Mereka menjadi pembimbing untuk melakukan aklimatisasi, care saat kondisi fisik anggota timnya menurun, mengatur jadwal dan mempersiapkan snitasi yang baik di camp, menjadi teman curhat dan ngobrol hal-hal ngga penting sepanjang malam….pokoknya semuanya lahhh…
Nampaknya sekarang  kami hanya sibuk menghitung hari untuk kembali ke tanah air. Dan terus terang saja, bagiku secara pribadi, sudah ngga sabar untuk mencicipi makanan-makanan Indonesia lagi :).. Sayangnya tiket terdekat untuk kembali ke Indonesia yang bisa kami peroleh adalah tanggal 31 Mei. Jadi, beberapa hari belakangan area perjalanan kami akan mengarah selalu ke 1 tempat: Thamel
pernak-pernik di sepanjang jalan Thamel

Hiruk pikuk Thamel mungkin bisa disamakan  dengan daerah Legian, Bali. Setiap kali berputar-putar dan menelusuri lorong-lorongnya, tidak pernah menemukannya dalam keadaan sepi, kecuali jelang pukul 10 malam. Meskipun begitu, Thamel sebenarnya tidak pernah 'mati', karena diskotik-diskotik kelas ecek-ecek yang nyempil di antara ruko-ruko tetap 'hidup' hingga dini hari. pernah suatu kali Thamel nampak lengang adalah karena situasi politik memanas di Khatmandu. Terjadi demo besar-besaran karena perseteruan partai dan masalah pembuatan konstitusi yang tidak kunjung usai. Saat itu, toko-toko di Thamel benar-benar memilih untuk tutup ketimbang tokonya dijadikan sasaran amukan massa. Bukan hanya menyebabkan roda bisnis di kawasan Thamel ngga jalan, bahkan nilai tukar mata uang mereka (rupee) pun melemah.

Tapi di luar kejadian luar biasa seperti unjuk rasa dkk tersebut, Thamel benar-benar kawasan yang bersahabat dengan turis. Banyak toko-toko yang menjual cendramata khas Nepal dan kaos-kaos unik dengan harga terjangkau. Di Thamel juga banyak cafe dan resto. Sebagian besar menjual masakan khas western dan Jepang. Semua makanan cenderung disediakan dalam porsi besar (jika dibandingkan dengan makanan di resto-resto Indonesia). Nampaknya wisatawan asia yang paling banyak berkunjung ke Nepal adalah Jepang. Kami sendiri kalau jalan-jalan di Thamel selalu dikira orang Malaysia. Dan saat kami menjelaskan bahwa kami orang Indonesia, biasanya para penjual di Thamel memberikan respon wajah bingung atau tidak tahu. Nampaknya Indonesia memang tidak terkenal di tempat ini. Hanya sebagian dari mereka bahkan yang mengenal Pulau Bali. Padahal kalau kita bertemu turis asing, rasanya hamper ngga pernah menemukan yang ngga tau tentang Bali (tapi emang sich…Indonesianya ngga terkenal. Klo kenal, biasanya itu petugas imigrasi asing…dan mereka langsung ingat 1 kata “teroris”.). Warga Nepal di Thamel pun mengenal ciri khas tampang melayu sebagai milik orang Malaysia, bukan karena banyak wisatawan Malaysia yang berkunjung, tetapi karena sebagian warga mereka biasanya pernah mengadu nasib sebagai TKN (tenaga kerja Nepal) di Malaysia -- entah untuk beberapa bulan atau beberapa tahun.

Para penjual cinderamata di Thamel sangat ramah. Membuat kami nyaman untuk bertransaksi dengan mereka. Kami memborong banyak sekali kukri (pisau khas Nepal), pasmina bulu yak, postcard, gantungan kunci, pajangan meja, kaos, gelang, dan batu-batu perhiasan. Rasanya berbelanja seperti kalap, karena harga barang-barangnya terhitung sangat murah. Bayangkan…kami yang hitungan turis aja masih bias merasa itu murah….Aku rasa orang Nepal asli masih bias mendapat setengah hingga 2/3 dari harga itu…Tetapi setelah dikalkulasi secara keseluruhan, tetep aja rasanya dompet sudah kebobolan :'(…










 

Everest: hari 26



Anton dan rombongan tiba hari ini di Khatmandu.... Syukur deh akhirnya kami dan rombongan bisa berkumpul, meskipun karena cuaca buruk mereka terpaksa menghanguskan tiket pesawat mereka dan memilih membayar ekstra untuk menyewa helikoper. Tibanya seluruh tim di Khatmandu menandakan berakhirnya misi 7 summits kali ini, dan semua merasa lega...meskipun aku dan Anton masih memiliki beberapa berita dan paket untuk diselesaikan:p

Kedatangan tim 7 summits di Khatmandu bertepatan dengan acara makan malam yang digelar oleh kedubes Indonesia di Nepal, khusus untuk merayakan keberhasilan tim 7 summits mencapai Everest. Jadi, malam harinya kami langsung menuju hotel shangri-La yang letaknya agak di pinggir kota Khatmandu.

Baru dalam pertemuan malam ini lah aku bertemu dengan warga Indonesia lainnya yang tinggal di Khatmandu. Memang sihhh…tidak banyak warga negara Indonesia disini. Mungkin jumlahnya hanya berkisar ratusan saka. Rata-rata mereka adalah keluarga dari pegawai kedutaan yang dinas di Nepal, TKI, atau pun para tenaga NGO. Ada juga WNI yang menikah dengan warga negara asing yang berdomisili di Nepal, bahkan ada pula WNP (warga negara Nepal) berdarah Indonesia yang tinggal turun temurun di negara ini. Senang rasanya bisa merasakan suasana layaknya di negeri sendiri, dimana kami bisa berdialog dengan bahasa Indonesia. Sayangnya, meskipun ini acara yang diharapkan sangat bernuansa Indonesia, masakan yang dihidangkan tetap masakan khas Nepal... padahal, pasti bakal lebih mantap klo bisa makan sate, rending, ayam gulai padang, atau lele (_ _)

Aku cukup salut dengan warga Indonesia yang tinggal di Nepal. Tentu saja, setiap orang yang memilih untuk tinggal jauh dari tanah airnya adalah karena alas an mencari penghidupan yang lebih baik. Namun tentunya beban social yang mereka hadapi berbeda dengan WNI yang mengadu nasib di Negara-negara yang lebih makmur dan  teratur, seperti di Eropa dan Amerika. Selain mereka roaming bahasa Nepal, kota-kota di Nepal dengan segala permasalahannya bukanlah daerah yang sedap di pandang mata (kecuali pegunungan Himalayanya…). Dan dilihat dari pekerjaannya, tentunya TKI di Nepal bukanlah jenis TKI yang menjadi pembantu rumah tangga, seperti di Malaysia atau Negara-negara arab. Mereka adalah TKI untuk jenis pekerjaan terdidik hingga professional. Jadi, aku pun cukup takjub dengan mereka WNI yang merasa nyaman dan bisa tinggal hingga beberapa generasi di negara ini…

Di awal acara, kata-kata sambutan diberikan oleh Duta besar Indonesia untuk Bangladesh dan Nepal, Zet Mirzal Zainuddin. Sebenarnya Pak Mirzal berkantor di Bangladesh. Tetapi begitu mengetahui kami menyelesaikan misi di Nepal, beliau bela-belain untuk terbang dari Bangladesh dan mengundang kami makan malam. Dalam sambutannya, Pak Mirzal berharap Indonesia juga akan semakin dikenal dengan prestasi-prestasi pendakian gunungnya...soalnya selama ini khan Indonesia lebih dikenal dengan bulu tangkisnya (itu pun beberapa tahun belakangan sudah mulai digeser prestasinya oleh China). Dan entah mengapa, olahraga sepakbola dikenal sampe ke pelosok Indonesia (padahal prestasi kita di cabang ini, sejak jaman Indonesia awal merdeka pun, tidak lah menggembirakan (- . -) )

So far, acara malam ini menyenangkan. Dan setelah selesai acara, kami masih lanjut dengan hang out ke tempat bernama Jazz Up Stair. Bentuknya seperti ruko dengan fisik yang tidak meyakinkan, tetapi di ruang lantai atas ternyata ada semacam mini concert  yang digelar......dan tentunya selalu aliran jazz. Mini concert rutin dilakukan hari Rabu dan Sabtu (if i'm not mistaken, ya...). Di luar itu, tempat ini hanyalah bar biasa....suasananya agak remang-remang gimanaaa.....gitu. Tapi buat yang suka jazz, mereka bakal enjoy banget disana sampe sekitar jam 2 pagi… Sayangnya…aku bukan salah satu dari mereka yang bisa happy melek sampe jam 2 pagi. Dengan berat hati, aku menikmati show jazz nya sambil terkantuk-kantuk…