Wednesday, August 26, 2015

KEHJE SEWEN: hari 7

ini dia CEOnya BOSF Indonesia, Jamartin Sihite
Salah satu orang BOSF, Jamartin, perlahan mulai membuka penutup kandang 3 orangutan itu. Lesan, Casey, dan Mail, tak serta merta menyambutnya. Mereka nampak ragu sejenak..... namun terus berayun dengan pelan, mendekati pintu kandang. Entah itu Lesan, atau Casey, atau Mail.....yang terlebih dahulu keluar....aku tak tahu -- karena harus mengamati mereka dari jauh.

Dia mulai merangkak menyusuri teralis-teralis besi bagian luar.....naik semakin tinggi.....dan...yapp....beralih ke dahan pepohonan. Lalu dua lainnya, menyusul keluar kandang.

ngga sembarang orang bisa punya nurani buat ngerawat orangutan
Para traineer BOSF hanya berdiri mengamati, nyaris tak bersuara. Sesekali mereka menggunakan teropong, untuk mengamati pergerakan Lesan, Casey, dan Mail yang mulai menjajaki rumah baru mereka. Meraba dahan-dahan, meremas dedaunan, dan menemukan buah untuk dicicipi dan akhirnya hanya dilempar ke tanah.

Seulas senyum tersungging di wajah para traineer. Nampaknya kerja keras mereka membuahkan hasil. Setelah menanti selama 10 tahun, akhirnya mereka bisa melepas liar orangutan tahun ini. 

mengembalikan orangutan ke hutan sama dengan menyelamatkan hutan
Setelah kegiatan rescue, pencarian lokasi rehabilitasi, pencarian lokasi lepas liar, negosiasi dengan pemerintah.....rangkaian upaya panjang itu membawa mereka mengantar pada orangutan. Meskipun mungkin ini belum berakhir......

Yang jelas, aku tidak memiliki kontak bathin dengan ketiga mamalia itu, seperti yang dimiliki oleh para traineer BOSF yang merawat mereka. Tetapi melihat mereka berayun di dahan sembari menjauh, rasanya tidak bisa menahan untuk tersenyum dan membathin,
"Selamat berjuang, ya.....Mail, Casey, Lesan...."

baby orangutan yang masih dalam perawatan di tempat rehabilitasi
Akhirnya, mail, lesan, dan casey kembali ke habitat asli mereka. namun lepas-liar puluhan orangutan setiap tahunnya, tidak akan berarti banyak........jika setiap tahun pula, ratusan orangutan harus mencari tempat rehabilitasi, karena keserakahan tangan manusia.......

P.S:
untuk melihat videonya, anda dapat mengklik link youtube milik BOSF berikut:
https://www.youtube.com/watch?v=ymsvTFgfLlc

when u see their eyes, u'll know that they're just like us -- the creation of God
 SUMBER FOTO: google.com


personal message:
big thanks to all of photographers who took those wonderful pictures.... I'm sure orangutans have caught your heart and made u realize that their survival is our responsibility...... :)



KEHJE SEWEN: hari 6

just wanna share u some 'cute' pict of orangutans in this column
Jeng....jeng....jeng.......hari ini kami akan tidur di dalam hutan. Suatu keharusan yang sebenarnya ingin kuhindari. Terbayang di kepalaku gigitan nyamuk, agas, dan ancaman pacet yang bakal bikin sulit tidur. 

Aku, Rere, mas Syahrul, dan Mas Agung....tidak ada yang lolos dari gigitan pacet. Setidaknya, setiap kami masing-masing telah punya 1 bekas gigitan. Dan bekas itu menghitam.....sangat menyebalkan...! Bagaimana kalau pacet dari dedaunan jatuh ke wajahku, merayap masuk ke telingaku, lalu.....arghhhhh......

Tapi pastinya, ngga ada cukup alasan untuk ngga masuk hutan. Apalagi kalau kembali ke tujuan awal: meliput lepas liar orangutan.

jadilah kami malam ini membawa cukup perbekalan ke hutan. Untuk kesekian kalinya, menjejaki tanah becek dan lembap....serta menyeberangi beberapa aliran sungai kecil. Di sepanjang jalan yang kami lewati, ada patahan ranting dimana-mana. Yakkkk....sebelum kami masuk hutan, tim BOSF di camp 103 telah swipping dan membuka jalan ke hutan terlebih dahulu. Cukup melegakan....setidaknya tindakan mereka memastikan kami ngga bakal tersesat dan tau arah pulang ke camp.

ini sebenernya apa, ya? orangutan kayak murid diseterap sama gurunya... XD
Tapi...ngga akan bisa mengatasi rasa was-was ku terhadap pacet attack... Arghhhh.... Setiap kali melangkahkan kaki melewati jejalan rumput dan tanah berlumpur, aku memastikan di sepatu karet bola ku tidak ditempeli pacet. Setiap melewati sungai, aku berusaha merendam sepatuku lebih lama, berharap hewan kecil penghisap darah itu akan lepas dari sepatuku karena terbawa aliran sungai.

Aku melihat Rere juga melakukan hal yang sama. Kami berdua memang wanita rempong yang berlagak masuk hutan (padahal ngga mau ketemu pacet...apalagi lintah). Sepanjang perjalanan masuk hutan, entah berapa kali kami tertawa dan menjerit bersama karena pacet-pacet menyebalkan itu.

Lumayan berkeringat untuk masuk hutan sekitar 2 kilometer. Disana beberapa traineer BOSF telah membuat semacam tenda dari ranting-ranting kayu, yang diikat satu sama lain. Bentuknya menyerupai rumah. Tenda ini kami sebut flying camp. Di dalamnya hanya ada jajaran potongan batang kayu, yang disisipi sebuah karung goni di setiap 2 batangnya. Walhasil, bentuknya jadi mirip tandu pramuka. Itulah tempat kami tidur malam ini. Aku, Rere, Mas Syahrul, dan Mas Agung tidur berjejer -- saling bersebelahan.


anak-anak orangutan lagi pada ngumpul....lucu bangettt...

Aku taruh ranselku untuk jadi bantal tempat berbaring malam ini. Head-lamp, ok. Sarung, ok. Kaos kaki kering, ok. Jaket, ok. Lotion anti nyamuk, ok. Hmmm....nampaknya aku bisa melewati malam ini. Tidak perlu mengharapkan untuk mandi sore (lagian cuma mencium bau keringat sendiri ini, hehehehhe.....)

Berhubung di hutan, aku memang ngga akan membayangkan makan malam yang wah... Cukup makanan instan....jadilah nasi dengan mie instan. Hari ini Mas Syahrul cukup baik. ia mengantarkan makanan untukku, Rere, dan Mas Agung, tanpa kami harus turun dari ranjang karung goni kami. Jadilah makan di atas ranjang.....woww....11-19 dengan nikmatnya makan di ranjang hotel...

Jangan makan banyak-banyak, aku mengingatkan diriku sendiri. Bisa berabe nih kalau tiba-tiba perut mules dan ingin buang air di tengah hutan yang belum kukenali.

********************

Tidak jauh dari tempat kami berada, adalah Lesan, Casey, dan Mail yang sudah dipindahkan ke kandang yang lebih besar. Kandang ini berupa teralis besar, seperti di kebun binatang, yang memungkinkan ketiga mahluk itu untuk bergerak leluasa dan melihat rumah baru mereka.....tempat dimana seharusnya mereka berada......hutan. 
niceee.......pict..!

casey dan Mail nampak lebih mudah beradaptasi. Mereka cenderung leluasa berayun dari teralis satu ke teralis lainnya. Sesekali, mereka nampak bercengkrama. Entah apa yang mereka bicarakan. Sedangkan Lesan, nampak masih menyendiri. Aneh memang.....tetapi melihat mereka, memang serasa melihat manusia itu sendiri. Setiap pergerakan mereka, seakan kita mengetahui makna dan tujuannya. Entah karena mereka cukup lama dididik manusia, entah karena memang kita dan mereka tak jauh berbeda, sebagai sesama mamalia.

*******************
Hari beranjak gelap. Aku melirik ke tenda lainnya. Sejumlah traineer dari BOSF nampak sibuk, mempersiapkan lepas liar ketiga mahluk itu. Nantinya, orangutan tidak serta-merta dilepaskan dari pengawasan, saat dilepasliarkan. Tim teknisi dan para traineer setidaknya akan turut tinggal di hutan, dan memantau perkembangan mereka yang baru dilepas, selama 3 bulan -- K.O atau survive. Apakah orangutan tersebut menunjukkan tanda-tanda stress dengan lingkungan baru, atau sebaliknya, sudah dapat mandiri -- dengan menemukan buah untuk dimakan, dan mengumpulkan daun untuk dibuat menjadi sarang yang nyaman sebagai tempat tinggal.

Besok akan menjadi hari yang bersejarah untuk Lesan, Casey, dan Mail....entah mereka menyadarinya atau tidak. Apakah mereka akan mencatatnya dalam memori mereka...atau diary mereka, layaknya yang kita -- manusia -- lakukan.....aku ngga tau. tapi yang jelas, ini saatnya aku mematikan head-lamp ku. Selamat tidur....


SUMBER FOTO: google.com

KEHJE SEWEN: hari 5

kedatangan Lesan, Casey, dan Mail


Hari ini camp 103 akan kedatangan tamu. Merekalah tujuan kami datang kesini: orangutan. Ohhh....ya, aku belum memberitahumu bahwa orangutan yang akan dilepasliarkan ada 3 ekor. Masing-masing punya nama, lho....  mereka adalah Lesan, Casey, dan Mail. Mail adalah orangutan jantan, sedangkan Lesan dan Casey, betina. 

kenalkan...ini Casey si betina besar
Perlu diketahui, ada kriteria bagi orangutan yang diijinkan untuk lepas liar. Bayangkan aja, mereka bisa jadi lahir di pusat rehabilitasi BOSF. Minum susu dan makan dari tangan manusia -- terbiasa diperlakukan layaknya bayi manusia. Mungkin mereka diperlakukan seperti itu 5 hingga 8 tahun. Jadi, langsung melepas liar mereka tanpa memberikan trik survive hidup di hutan, sama saja dengan membunuh orangutan.

Selain harus bebas penyakit, orangutan yang siap dikembalikan ke habitatnya harus bisa mandiri membuat sarang, mencari makan, dan mengenali musuh. Mereka juga (mau ngga mau) tidak boleh mengenal manusia sebagai teman. Jika tidak, mereka akan sulit mendifinisikan manusia itu sebagai ancaman atau tidak. Jadi orangutan yang akan dilepasliar akan dididik agar tidak mau mendekati manusia.

Lesan keliatan kesenangan nangkring di pohon
Gerimis turun di hutan Kehje Sewen, saat helikopter yang membawa Lesan, Casey, dan Mail, mendarat siang ini.....hanya sekitar 100 meter dari camp. Kedatangan mereka disambut dengan tari tembang-bata yang dibawakan oleh gadis-gadis suku dayak wehea telen, dalam alunan petikan musik yang dimainkan Musa Ba Helaq. inilah cara mereka menyambut tamu baru, dan sahabat mereka, si orangutan.

Kami menyaksikan mereka datang bersama dengan tim BOSF yang lainnya, sambil bernaung di bawah atap seng serambi camp kami. Hujan yang mengguyur pun semakin deras.

Rupanya Lesan, Casey, dan Mail dibawa dalam kandang berbentuk kotak berwarna perak yang diberikan lubang udara. Kotak tersebut diberikan penyangga kayu di dua sisi, sehingga dapat digotong seperti tandu oleh para traineer BOSF. Sebelum diangkut dengan heli, mereka bertiga (Lesan, Casey, Mail) dibius terlebih dahulu. Namun nampaknya efek dari bius akan segera habis. 

Mail nemuin tempat paling uenaakkk...buat nyantai
Beberapa kali terdengar Lesan menggedor kandangnya -- nampak tak sabar untuk keluar. Beberapa kali pula para traineer mencoba menenangkannya. Seperti dengan memberi makanan ataupun membiusnya kembali.

Seharusnya, Lesan, Casy, dan Mail dibawa ke hutan sore ini. namun hujan terlalu deras. Mereka terpaksa menginap semalam di camp 103. Semoga saja mereka betah. Entah mereka sadar atau tidak hal apa yang akan mereka jelang besok.....

P.S:
untuk melihat videonya, anda dapat mengklik link youtube milik BOSF berikut:
https://www.youtube.com/watch?v=vyepBwvFB9E

SUMBER FOTO: google.coma

Tuesday, August 25, 2015

KEHJE SEWEN: hari 4

kalau pas ngga kerja, emang enaknya mejeng di sungai ^^
Aku tersadar.....ternyata sudah pagi. Saat bangun, yang kurasakan hanyalah pegal yang menggerogoti seluruh badan. Ohhh...yeahh...Terimakasih untuk petualangan kebun sawit, gunung sabun, pelangsiran, dan off road 4 jam yang memberikan sumbangsih dalam pegal pagi ini... Rere masih tidur di sebelahku. Kayaknya dia merasakan derita yang sama, setelah pacet attack semalam.

Kucari mas Syahrul dan mas Agung, partnerku. Ternyata mereka sudah pergi mandi ke sungai, yang tepat berlokasi di belakang camp kami saat ini -- Camp 103. Astaga...mereka benar-benar.....padahal menurutku pagi ini masih terlalu dingin untuk mandi.

Aku menengok ke luar camp...Mannn......aku sekarang benar-benar di hutan!!! Pemandangannya luar biasa. Pohon-pohon tinggi menjulang di hadapanku. Ini dia...yang seperti pohon yang dulu sering kulihat saat kecil....ternyata masih ada...

Rasanya bersyukur banget bisa melihat pemandangan hutan seindah ini. Seandainya bisa melihatnya setiap hari..... Tapi kalau mengingat rute perjalanan kemarin, kayaknya aku menyerah, deh. Menurut pihak BOSF, mereka sengaja membiarkan lokasi camp 103 sulit dijangkau manusia umum. Semakin minim kontak dengan manusia, semakin baik, begitu kata mereka. 

Hutan yang menjadi sumber kehidupan bagi entah berapa banyak hewan dan juga manusia. Di hutan yang sama, para pencari gaharu dan sarang burung walet mencari nafkah.

Yappp....sedikit mengulik tentang gaya hidup suku dayak di pedalaman. Selain berburu dan berladang, suku pedalaman juga mengambil hasil hutan, seperti gaharu dan sarang walet. Penjualan kedua jenis hasil hutan ini cukup menggiurkan. Tapi resikonya juga besar. Para pencari gaharu dan sarang walet harus masuk hutan berbulan-bulan. Rentangnya bisa antara 1-3 bulan. Dan bahaya apapun bisa terjadi disana -- mulai dari serangan binatang liar, dinginnya malam yang menusuk, hingga kelaparan (jika tidak cukup pengetahuan tentang tanaman yang boleh/ tidak dimakan di hutan)

Sarang walet biasanya digunakan dalam bahan makanan dan obat. Harganya sangat menjanjikan bagi orang-orang suku pedalaman -- sekitar Rp 5 juta per kilogram. Sedangkan gaharu, sebenarnya aku kurang tau dijual dengan harga berapa. namun perlu diketahui, gaharu termasuk dalam bahan aromatik termahal di dunia. Selain untuk parfum, gaharu digunakan di kosmetik dan obat-obatan. Saking mahalnya, bobot penjualannya ngga pakai ons atau kilogram, tetapi gram. Dari informasi yang aku dapat, harganya bisa US$ 5-15 per gram 

Seperti yang pernah kuceritakan sebelumnya, suku adat pedalaman menerapkan ajaran nenek moyang untuk mengambil hasil hutan. Para pencari sarang walet dan gaharu ini pun demikian. Katanya, ada semacam upacara atau doa tertentu yang dinaikkan, sebelum mereka masuk hutan. Intinya adalah semacam memohon doa restu untuk mencari nafkah. Apabila mereka masuk hutan dengan niatan baik, mereka akan mendapat tuntunan untuk memperoleh yang mereka cari, dan kembali dengan selamat. Namun jika tidak, bisa jadi mereka akan hilang di dalam hutan.....

Eheheehehe....agak seram, ya, ceritanya. Entah mau percaya atau tidak....aku sendiri belum membuktikannya. Aku memilih untuk terus menatap pohon-pohon yang menjulang di depanku, dan menikmati beberapa serangga yang bermain-main di sekitarku. Seandainya semua mahluk hidup dapat terus hidup berdampingan seperti ini........

KEHJE SEWEN: hari 3

Dan perjalanan pun kami lanjutkan...

Kami meninggalkan penginapan kami yang letaknya hampir merapat ke hutan itu. Cuaca pagi ini cerah. Nampaknya ini jadi awal yang baik untuk memulai hari...... Nampaknya, lho....

tim siap buat berangkat.......pose dulu :)
Ternyata mobil land cruiser tak lagi mengantarkan kami ke tujuan. Sebagai gantinya, yang akan mengiringi perjalanan kami diganti dengan 2 mobil yang lebih bapuk. Mobil ini nampak coreng moreng dimana-mana. Kalau kamu mengingat baju berwarna yang kena tumpahan bycline.....seperti itulah kira-kira warnanya. (Ok...ngga masalah, selagi masih bisa mengantar ke tempat tujuan)

Aku, Rere, Mas Syahrul dan Mas Agung mulai ambil posisi duduk paling nyaman di mobil. Berharap untuk bisa mengambil sejumlah gambar pemandangan di sepanjang jalan.

Mobil pun melaju....(serasa naik odong-odong). Perlu diketahui, meskipun tampilannya kayak odong-odong, tapi kemampuannya boleh juga. Kami melewati banyak sekali kebun sawit. Bukan hanya banyak......tapi buaaanyyyaaakkkk...... Aku bahkan ngga menduga betapa luasnya kini kebun sawit di Kalimantan Timur. 

Seingatku, dulu, kami sekeluarga suka menyempatkan ke luar kota, via jalur darat. Setiap kali menuju kota Samarinda, Samboja, atau Bontang, maka yang ada di kanan kiri jalan hanyalah tebing dan jurang dengan hutan yang lebat di bawahnya. Namun kini,  semuanya berubah -- digantikan dengan ratusan ribu hektar pohon sawit. 

Konon, orangutan masih cukup sering ditemukan di ladang-ladang sawit. Kemungkinan besar, orangutan ini tersasar. Atau mungkin ia mengingat bahwa lokasi itu (dulu) adalah 'rumah'nya, tanpa menyadari bahwa masa itu telah lewat. 

Lalu apa yang dilakukan para pekerja kebun, yang bertemu dengan orangutan? Cerita yang paling sering kudengar, adalah mereka menyiksa orangutan tersebut 

Aku sendiri, ngga mengerti logika apa yang digunakan para pekerja ini, sehingga menyiksa orangutan. Kalau ada orang yang membela diri, dengan mengatakan takut orangutan merusak kebun sawit, itu hanya omong kosong..... Sebagai manusia, seharusnya mereka cukup cerdas untuk menangkap orangutan tanpa harus menyiksanya. Sebab mereka ngga berhadapan dengan harimau atau ular piton sepanjang 3 meter. Itu adalah ORANGUTAN......

***************
Beberapa kali aku tidur dan terbangun.... Dan untuk kesekian kalinya, aku melihat kanan dan kiri. Pemandangannya masih kebun sawit (huffff.....)  Mungkin membutuhkan waktu sekitar 3 jam lebih, sampai mobil kami berhasil melalui perkebunan kelapa sawit yang nampak tanpa ujung.

Ternyata antusiasme ku kalah dibandingkan Mas Agung, Syahrul, dan Rere. Mereka sibuk bercerita banyak hal, mulai dari kerjaan sampai dunia gosip. Aku rasa ini hiburan yang paling praktis, ketimbang mengharapkan sinyal operator yang terus-menerus byar-pet di sepanjang jalan.

Pinggang sudah lumayan pegal. Namun cobaan ini ternyata belum usai. Kami masih butuh waktu, untuk menuju tempat yang disebut Pelangsiran (entah apa makna nama tempat ini....)

Kali ini, mobil kami harus naik turun jalan tanah yang licin. Jadi begini, hutan di kalimantan adalah jenis hutan hujan tropis. Alias....suka kena hujan sewaktu-waktu. Bisa jadi pagi nampak cerap, namun jelang sore hujan turun. Begitupula sebaliknya. Itu sebabnya, kondisi tanahnya cukup lembap. Nyamuk dan pacetnya juga banyak....(ehh...menyimpang). Jadi, dengan kondisi jalanan becek dan licin itu, inipun menjadi off road perdana kami. Menyusuri jalan menurun, mobil meluncur bagai terpeleset. Namun saat jalanan menanjak, mobilnya naik terlompat-lompat kayak banteng ngamuk. (Dalam hati cuma bisa berdoa, semoga mobil ngga mogok tengah jalan)

"Aduh....aduhhh...."....."aaaaaaa........."....."woooooo........"...... Mungkin hanya suara-suara semacam itu yang mewarnai sepanjang mobil kami sliding di tanjakan-turunan licin.

Saatnya mobil kembali mendaki. Kali ini jalanan dengan kemiringan hampir 45 derajad, roeeeeeemmm......dan as mobil pun.... patah. (Doenk...)

Untung sopirnya handal. Dia minta waktu untuk memperbaiki mobil, dibantu oleh sopir mobil yang satu lagi. Jadilah kami , seluruh penumpang, keluar mobil.....dan terduduk di gundukan tanah, sambil mendengarkan bunyi jangkrik yang bersahut-sahutan.

Aneh...aku ngga merasa takut dan khawatir sama sekali. Selagi sopir kami saling bekerjasama memperbaiki as mobil dan roda yang terjebak di patahan tanah liat, kami sibuk bercanda. 

Aku menghirup udara sedalam-dalamnya. Huffff......Udara di hutan memang jauh berbeda dengan udara Jakarta yang empet banget.

Seekor kupu-kupu terbang dekatku. Lalu mendarat di tanah. Jaraknya hanya berjarak beberapa meter dariku. Entah keisengan apa yang menghinggapi Mas Syahrul. Ia mengambil sebuah batu kecil, dan melemparnya ke arah kupu-kupu tersebut...........meleset. 

Aku melotot. Mas Syahrul terkekeh-kekeh. Si kupu-kupu tidak bergidik dari tempatnya. Aneh banget... Apa hewan ini ngga  sadar bahwa batu kecil itu dapat membunuhnya??? Apakah di hutan yang liar, hewan tidak menganggap manusia sebagai ancaman? Apakah mereka mengenal manusia?

Aku teringat film-film petualangan yang sering kutonton. Biasanya film itu  menceritakan bagaimana hewan-hewan sangat takut dan menjauhi manusia. Terkadang mereka (hewan-hewan itu) menjadi chaos saat manusia datang. Tapi yang kulihat di hutan ini, justru berkebalikan. Apa binatang ini cuma menganggap kami bagaikan spesies hutan lainnya, ya? Malah kalo ketemu sama kupu-kupu atau kumbang di kota, hewannya suka terbang ngider-ngider ngga jelas kemana-mana. Mau dipegang, lari.... 

Mas Agung asyik mengambil sejumlah gambar dokumentasi. Kayaknya dia ngga peduli jika kami harus terpaksa menginap di tengah hutan. Nyalinya kelewat besar. 

As mobil sudah diperbaiki, saat matahari mulai turun.....ternyata sudah sore. Kami pun melanjutkan perjalanan lokasi yang namanya: gunung sabun. (Apa kamu merasa terlalu banyak nama tempat yg aneh dalam perjalanan ini....:/...). Hanya berselang tak sampai satu jam, kami pun tiba di tempat peristirahatan gunung sabun. 

Di tempat peristirahatan itu, ada sejumlah pekerja yang kebanyakan adalah transmigran dari jawa. (Ketahuan saat tegur sapa dengan logat jawa yang kental). Aku ngga tau persis yang mereka kerjakan. Sebagian nampak membangun rumah kayu. Entahlah.... Bersama kami pun ada sejumlah pencari gaharu dan sarang burung walet yang juga sedang beristirahat. Nampaknya mereka baru keluar dari hutan. Kami pun hanya memberi salam dengan seulas senyum.

***********
Aku sibuk menurunkan barang bawaanku. Segera kusandang ranselku. Sedangkan tas yang besar, dibawa oleh potter.  

O, ya...kami punya potter-potter yang hebat disini. Per orang mampu mengangkat beban hingga 100 kg sambil menuruni dan mendaki gunung sabun!!! Tas-tas kami semua diikat di beberapa papan, yang akan dipikul oleh para potter, layaknya ransel. 

Ok....kini aku mengerti bagaimana sepatu karet kam yang murahan itu, dapat berfungsi dengan baik di jalan turunan dan tanjakan, yang kami sebut "gunung sabun" itu. Jalannya sangat licin!! (Selicin sabun...)

Aku nyaris terpeleset, jika tidak berjalan dengan sangat berhati-hati. Rere di belakangku. Sedangkan mas Agung dan Syahrul, menyusul duluan di depan. Entah berapa jauh kami turun di tebing yang curam tersebut. "sudah dekat....", seseorang di depan sana berteriak. Aku semakin bersemangat berjalan turun. Dan sampailah kami di.....sungai.

Ehhh...dasar....aku baru tau klo ternyata ada sungai yang harus diseberangi. Ternyata inilah yang dikenal dengan nama Sungai Telen. Dan kali ini, aku harus menyeberang dengan sling. 

Sling itu apa ya? Mm....semacam kayak kamu mau main flying fox...tapi ini dengan naik di atas kotak kayu berukuran 75x75 (mungkin). Bisa bayangkan berayun menyeberang, dengan deruan suara sungai yang deras di bawahmu???..... Yang jelas, bikin deg...degan...

meluncur dengan sling....
Mas Agung sudah menungguku di seberang sungai, dengan kamera di tangannya. "3....2....1....yoww..". Dia memberi kode agar sling ku diluncurkan. Huaaaaa......mungkin hanya berselang 10 detik...............................Sampai. Kotak kayu itu mendarat di atas batu. Fiuhhhh....ternyata ngga seseram dugaanku.

*************

Aku ngos....ngosan.....napasku tersengal. Mataku berkunang-kunang. Akhirnya aku memilih membaringkan badan di tanah. Aku ngga peduli bajuku akan kotor seperti apa. Setelah menaiki sling, ternyata mendaki tanjakan gunung sabun sangat menyiksa. Licin dan.....dan....melelahkan. 
Aku lihat teman-temanku yang lain. Mas syahrul dan Rere bagai mandi keringat. Sedangkan mas Agung....wajahnya pucat pasi. (God.....beberapa hari lagi aku bakal pulang dengan rute ini??!!!!!)

Matahari mulai meredup.....pertanda senja akan seger tiba. Dan ternyata...perjalanan kami menuju camp 103 masih jauh.....sekitar 4 jam perjalanan. Padahal sekarang sudah jam 4.30 sore.

Jadi ini mau pakai kendaraan apa lagi, pikirku. Ternyata...mobil lagi....yang ngga kalah bututnya. Wujudnya bagaikan mobil jeep off road yang sudah mengalami kanibalisasi. (Sayang banget aku ngga punya gambarnya). Supir kami kali ini (sudah berganti orang) dengan ramah mempersilakan aku dan Rere untuk duduk di kursi depan, bersamanya. Sedangkan cowok-cowok, berdiri di bak bagian belakang...

Sebelum mobil meluncur, si supir berpesan, "hati-hati.....banyak pacet..."

*****************************

ini bukan foto perjalanan gw sihhh...tapi kurang lebih inilah desain 'mobil super yang ngebawa gw and tim ke camp

Kami menerobos hutan dengan melewati jalan sempit. Kanan kiri hanyalah kegelapan dan sekelebat daun-daun liar di hutan yang lembap. Gerimis pun mulai turun. Semoga pria-pria yang berdiri di bak belakang diberi ketabahan. Mereka pastinya senang bisa sedikit beraksi seperti penjelajah hutan, sambil berselubungkan jas plastik.

Ternyata kisah banyaknya pacet bukanlah isapan jempol. "Aduhh...pak...pak....tolong, pak..!", berkali-kali aku dan rere sampai bergantian teriak histeris. Bermula dari rasa gatal atau geli di beberapa titik badan. Seperti telapak kaki, tangan, atau mungkin bagian wajah. Kami pun mengarahkan cahaya senter ke sumber rasa gatal, agar bisa melihat dengan jelas. Dan ternyata, ada hewan kecil yang mengeliat bagai cacing, sibuk menghisap darah.....hieeekkk....menjijikan. 

Si pacet bisa masuk dengan mudah, melalui sela-sela mobil yang sudah ngga rapat. Lagipula, kaca sisi pintu mobil, ngga bisa ditutup rapat, lantaran mobil tidak dirancang dengan AC. Akhirnya entah berapa puluh pacet dari dedaunan, yang nyamber masuk ke mobil.
Dengan sigap, si supir segera mencabut pacet itu dari tubuh kami. Meskipun hal itu akhirnya menyebabkan dia harus nge-rem mobil berkali-kali.
Pacet attack yang melelahkan itu, membuat aku bertanya puluhan kali "apakah kita segera sampai?" (Somebody plz help meeee.....)

Perjalanan akhirnya terus berlanjut, di tengah gerimis....dan bunyi teriakanku serta Rere
saat menemukan pacet.....

SUMBER FOTO: google.com (dan foto pribadi)

KEHJE SEWEN: hari 2


gambar ini seperti teriak,"Woiiiyy....kamu yg disanaa.....!" XD
Kehje sewen, itulah nama yang diberikan untuk hutan tempat lepas liar orangutan di Kalimantan Timur. Diambil dari bahasa dayak, yang artinya sendiri adalah "orangutan"

Menentukan habitat bagi orangutan, ternyata ngga bisa sembarangan. Apalagi dengan porsi hutan hujan tropis yang semakin minim, dengan adanya areal tambang dan meluasnya kebun sawit. Paling engga, hutan habitat orangutan itu harus jauh dari pemukiman penduduk. Ketinggiannya pun tertentu -- sekitar 700 mdpl (meter di atas permukaan laut). Soalnya, tanaman-tanaman yang tumbuh di ketinggian itulah, yang jadi makanan orangutan.

Itu sebabnya, BOSF (Borneo Orangutan Survival Foundation) membutuhkan waktu paling engga 3 tahun, untuk menemukan lokasi yang cocok bagi orangutan. Luasnya sekitar 86.000 hektar -- yaa....di Gunung Belah itu. Disinilah, sekitar 200an ekor orangutan yang diasuh tim BOSF akan menggantungkan masa depannya.

Sayangnya, ada fakta yang menyayat hati. Upaya BOSF untuk melestarikan orangutan itu ngga gratis. Bisa dibilang, nyaris ngga bisa dilihat niat baik pemerintah di dalamnya. (Itu menurutku....kamu boleh ngga setuju). 

Bagaimana mungkin, hewan langka seperti orangutan, yang seharusnya dilindungi pemerintah, justru harus dilindungi oleh NGO....dan NGO itu harus membayar sebesar US$1,4 juta untuk hak pakai lahan hutan!! Itu setara dengan Rp 14 miliar (dalam kurs US$ 1 = Rp 10.000). Itu pun dihitung sebagai lisensi pengelolaan hutan saja (HPH) yang hanya berlaku selama 60 tahun. Setelah itu? Apapun bisa terjadi..... Termasuk mungkin menyerahkannya ke pihak swasta, yang ingin mengelolanya bagi keperluan industri. 

coba liat mereka...imut gini (^o^)....
Fakta ini, terus terang aja, membuat kepalaku serasa mendidih. Bagaimana mungkin, pemerintah seakan-akan bertindak sebagai majikan yang menyuruh baby-sitternya  (BOSF) untuk membayar upeti ke majikan (pemerintah), dan bukannya menggaji baby-sitter yang telah mengasuh anak-anaknya (orangutan). Itu pun, menurut salah seorang di BOSF, sebenarnya ngga cukup. Kalau menurut hitungan mereka, sebenarnya butuh tambahan 30.000 hektar lagi untuk dijadikan lahan hutan restorasi. Tapi, mau pakai duit dari mana? Duit US$1.4 juta yang sebelumnya aja dari donatur di Eropa dan Australia. Fiuhhh.....Mungkin inilah efek jika Menteri Kehutanannya bukan orang yang memang punya kepedulian pada hutan dan lingkungan !!

Tugas BOSF sebagai NGO yang concern sama orangutan ngga berhenti disitu. Soalnya, ngga semua orangutan yang mereka rawat layak untuk dilepasliarkan. Ada sejumlah orangutan yang telah tertular penyakit manusia, seperti TBC dan hepatitis. Jika sudah begitu, mereka bagai dapat vonis 'penjara' seumur hidup -- ngga akan kembali ke hutan. BOSF pun harus merawat mereka seumur hidup.

Setidaknya, dengan adanya Kehje Sewen, sejumlah orangutan bisa merasakan rumah mereka yang sesungguhnya. Pepohonan yang rindang. Dahan kayu yang elastis. Siluet cahaya matahari di balik dedaunan. Dan tanah hutan yang agak basah. Mereka ngga akan disakiti atau dilempari batu oleh sekelompok manusia di kebun sawit, yang menganggap mereka sebagai hama.

Setidaknya itulah yang kupelajari hari ini, di hari istirahatku, setelah melewati perjalanan darat 20 jam. Rombongan kami baru tiba di penginapan pukul 05.00 subuh tadi. Siang tadi, kami menyempatkan diri untuk membeli kaos kaki tambahan, jas hujan, dan sepatu karet yang wujudnya kayak sepatu bola murahan. Entah untuk apa sebenarnya sepatu bola karet ini. Ngga sabar rasanya untuk perjalanan besok pagi. Hoaaammm.......


SUMBER FOTO: google.com

KEHJE SEWEN: hari 1

bagi saya, orangutan memang sudah seharusnya berada di rumahnya......hutan


Suatu hari di bulan Mei 2012......

Pesawat mendarat mulus di bandar udara sepinggan, Balikpapan.....kota kelahiranku. Masih sekitar jam 9 pagi. Aku menatap setiap tiang dan pondasi bandara itu -- nyaris tidak ada yang berubah dengan arsitekturnya selama belasan tahun. Ukiran khas dayak yang mengelilingi tiang kayu coklat berdiameter lebar, dengan palang-palang atap yang bermotif serupa.

Jauh-jauh ke balikpapan, tugasku selalu sama.....liputan. Liputan kali ini agak berbeda dari yang pernah kulakukan. Kali ini, kami mengangkat cerita aksi lepas liar orangutan. Jadi, seperti yang kamu duga, lepas liar spesies endemik ini ngga mungkin di tengah kota, kayak Balikpapan. Kami akan pergi lebih jauhhhhhhhhhh......masuk hutan. 

Perjalanan akan dicicil selama 3 hari. Dan khusus hari ini, kami menargetkan perjalanan 18 jam menuju penginapan kami (yang entah dimana persisnya...)

Tim yang membawa kami adalah Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF). Dan ini dia rombongan wartawan yang ikut..... Perkenalkan.....
Lori Singer (reporter Metro TV)
Agung Maulana (cameraperson Metro TV)
Syahrul Karim (jurnalis Media Indonesia)
Regina Safri (fotografer Antara)

(Jujur.....kami baru mengenal satu sama lain dalam liputan ini...:)...)

Lokasi lepas liar orangutan ini,  sebenernya aku ngga bisa paparkan persis. Mereka menyembut tempat itu bernama "Gunung Belah". Lokasinya berkisar di kecamatan muara wahau, kalimantan timur -- tempat suku dayak wehea telen bermukim. 

Sebagai penduduk (atau kamu bisa menyebutnya "mantan penduduk") yang melewatkan masa kecil di Kalimantan, aku belajar sedikit mengenai suku dayak. Di Kalimantan Timur, suku ini banyak menggunakan burung enggang -- salah satu hewan endemik selain orangutan -- sebagai lambangnya. Sebaliknya, penggunaan simbol-simbol orangutan nyaris ngga terekspos dalam pahatan kayu, maupun tenunan manik khas kesenian dayak.

Tapi, jangan salah.. Ternyata orangutan memiliki makna penting bagi suku dayak -- yaitu sebagai sahabat. Orangutan berfungsi untuk pemberi kabar bila musuh mendekat. Caranya? Melalui suara mereka.. (Penduduk asli tentunya bisa membedakan suara orangutan, ya....seperti di film Tarzan). Itu sebabnya, bagi orang dayak, menjaga kelestarian orangutan sama dengan menjaga hidup sahabat mereka sendiri.

Terancamnya orangutan emang ngga terlepas dari rusaknya hutan tempat mereka tinggal. Musa Ba Helaq, sekretaris adat Dayak Diak Lay, menceritakannya pada Mas Syahrul -- rekan kami dari Media Indonesia. 
(Perlu diketahui, Diak Lay adalah nama salah satu desa tempat tinggal suku dayak wehea telen. Desa lainnya yang menjadi tempat tinggal mereka, adalah desa Bea Nehas dan desa Beq)

Menurut Musa, masyarakat dayak wehea telen tinggal di kawasan gunung Pea Pung dan Gunung Gua Leseg, yang dikelilingi oleh Sungai Telen. Selama puluhan tahun (atau mungkin ratusan tahun) mereka tinggal berdampingan dengan hutan, sesuai dengan ajaran nenek moyang mereka. Bagi mereka, yang namanya memberdayakan hasil hutan, itu hanya boleh seperlunya saja. 

Kalau ada yang melanggar, ada hukumannya lho. Mereka ngga akan diijinkan untuk masuk hutan selama periode waktu tertentu. Selain itu, mereka juga kena hukuman tebusan, dengan memotong babi seberat 100 kg, satu potong ayam, satu butir telur, dan puasa selama 3 bulan. (Aku sendiri ngga memahami makna dari setiap lambang hewan dan benda tebusan ini....:/...)

Yahh...secara hukumannya cukup berat. Jadilah aturan tersebut ditaati selama ini. Tapi semuanya mulai berubah, sejak awal tahun 2000 lalu. Menurut Musa, perubahan nampak saat perusahaan kelapa sawit mulai masuk hutan. Dampak yang paling dirasakan di hutan hujan tropis yang cenderung sejuk sepanjang tahun itu, adalah saat musim kemarau cuaca cenderung terlalu panas. Sebaliknya, saat musim hujan, mereka bisa mengalami banjir. 

Efek negatif lain dari kehadiran perusahaan sawit, adalah hasil buangan pabrik, yang kemungkinan dialirkan ke sungai. Menurut Musa, seringkali air sungai terlihat lebih keruh, berwarna lebih kecoklatan dan agak berminyak. Padahal buat suku pedalaman, sungai adalah nadi kehidupan, selain hutan. Mereka minum, mandi, mencuci, masak.....semuanya menggunakan air sungai.

Kesimpulannya adalah, terancamnya nasib orangutan saat ini, sama dengan terancamnya nasib suku pedalaman -- mereka yang sama-sama menganggap hutan sebagai rumah dan sumber kehidupan. 

Aku sendiri ngga mengerti, seberapa kuat kemampuan suku pedalaman untuk bernegosiasi dengan pemerintah daerah setempat, untuk mempertahankan nasib mereka. Yang jelas, mereka bisa memilih untuk abai. Toh generasi muda dayak bisa saja memilih untuk ngga melanjutkan tinggal di hutan. Bisa jadi mereka memilih pergi ke kota, bekerja menjadi buruh atau pegawai. Lambat laun, desa akan menjadi sepi, dan hanya meninggalkan generasi tua yang tetap ingin mempertahankan hidup mereka disana.

Tapi kalau orangutan, mereka mau pindah kemana? Mereka ngga bisa membela diri mereka sendiri, atau tiba-tiba ganti profesi jadi buruh juga, kan....

(Mmmm....ceritanya to be continued, ya.... perjalanan kami akan segera dimulai. 2 monil land cruiser sudah siap menjeut kami...:D.... Wish me luck...!)



SUMBER FOTO: google.com