Monday, February 3, 2014

360: HARGA KEPUTUSAN POLITIK



Patung Kristus Raja di Dili
Selama beberapa kali mengunjungi daerah perbatasan Indonesia, mungkin perbatasan Indonesia- Timor Leste adalah yang terbaik. Ini kali pertama berkunjung ke Atambua, NTT. Ngga duga lho, ada jalanan mulus yang menghubungkan ibukota Kupang hingga ke daerah perbatasan di Mato Ain (meskipun jalanannya kecil, yang jelas jalanannya sudah berselimutkan aspal dengan baik)

Perjalanan menuju Atambua lumayan....302 km!! ( atau sekitar 7 jam – kami melewati Soe – Kefamenanu, hingga akhirnya tiba di Atambua). Dan selama itu juga, mata ini dimanjakan oleh pemandangan khas daerah indonesia timur – rerumputan kering yang ditinggali oleh sejumlah hewan ternak.

rumput NTT yang menguning karena teriknya matahari daerah Timur
Cuaca sangat panas. Pada siang hari, seakan warna yang ada hanya kuning dan coklat. Matahari terasa terik sekali, sampai-sampai dedaunan cenderung berwana coklat kering. Hampir tidak ada rumput menghijau. (mungkin akan cukup terganggu, kalau perjalanannya ngga pakai mobil yang ber-AC, ya...).

Membosankan?? Justru sebaliknya...mata ini sangat termanjakan dengan pemandangan di sepanjang perjalanan Kupang menuju Atambua. Apalagi kalau liat sunset...! benar-benar kereeenn.... (kayaknya tangan sampai cape’ karena harus ambil beauty-shot berkali-kali). Hal yang menghibur adalah setiap kali melihat sapi atau babi menyebrang dengan seenaknya di jalan raya:D...(mereka sama sekali ngga takut dengan kendaraan). Mungkin karena masyarakat disini memberikan mereka hak istimewa dibandingkan masyarakat perkotaan. Dan hal yang sangat aku hargai adalah ketika pada malam hari dapat melihat bintang-bintang memenuhi langit....!! Rasanya sudah lama sekali tidak menyaksikan maha karya Tuhan yang satu ini......Thank God for this moment...^^

ternak bisa lewat jalanan, melengos seenaknya
Siapa yang akan menyangka, 14 tahun lalu, rute yang sama menyisakan luka bagi sebagian orang?? Saat itu mereka harus mengungsi, sebagai konsekuensi memilih menjadi warga negara Indonesia. Hasil jajak pendapat di Timor Timur memutuskan bahwa wilayah yang sempat bergabung dengan Indonesia di tahun 1975 tersebut akhirnya memilih untuk merdeka – di bawah bendera negara baru bernama Timor Leste. Mereka yang tidak rela untuk menyandang status warga negara baru, maka harus merelakan harta bendanya dan mengungsi ke wilayah Indonesia. Tidak hanya merelakan harta benda, tapi juga keluarga yang berbeda pendapat saat memilih mau jadi warga negara apa.

Joau menunjukkan saya jalan pintas menyebrang ke Timor Leste secara ilegal
Sayangnya, di saat yang bersamaan, aku hanya menyaksikan keputusan melepaskan Timor Timur dari televisi. Apa yang kurasakan saat itu sangat aneh -- antara tidak mengerti (maklum..masih 14 tahun), namun juga ada rasa kecewa karena terpecahnya 'tubuh' Indonesia. Bisa jadi itu adalah efek penanaman ideologi pancasila yang kuterima sejak kecil melalui TVRI dan pelajaran PPKn (masih ingat mata pelajaran itu?? Ok...lupakan...)

Kembali ke Timor Timur. Ternyata 14 tahun -- sejak peristiwa 1999 -- cukup untuk membuat seseorang memulai hidup yang baru. Meskipun masalah tempat tinggal pengungsi yang seharusnya dijamin pemerintah tidak kunjung selesai, ada banyak hal baru yang dimulai. 

tokoh agama memegang peranan penting di NTT dan Timor Leste
Keluarga besar yang terpisah, akhirnya memilih untuk tetap saling mengunjungi, meskipun harus melintasi pos lintas batas setiap hari/ minggu. Jika tidak punya paspor, mereka memilih melewati jalan tikus (seorang warga menunjukkan padaku beberapa jalan tikus menuju desa di Timor Leste). Selain itu, beberapa orang bahkan menikah lagi dan membangun rumah tangga yang baru. Yang kehilangan pekerjaan (bekas milisi, bekas tentara, pekerja di Timor Timur) memilih untuk membuka ladang, beternak, atau menjadi nelayan. 

Kita ngga bisa mengatakan mereka telah hidup sejahtera, sih. Aku nyaris ngga menjumpai puskesmas. Hanya ada beberapa sekolah (mungkin hanya 1 SMA). Selain itu, sulit sekali mencari fasilitas air bersih. Rumah-rumah cenderung menyediakan puluhan jirigen untuk membawa air dari tempat yang cukup jauh. 
bocah perbatasan NTT

Tapi yang aku rasakan adalah ketulusan masyarakatnya. Tim liputan kami disambut dengan ramah. Memang dalam banyak hal, itu juga berkat fixer kami yang kenal baik dengan daerah itu dan mampu berkomunikasi dengan bahasa Timor maupun Tetun. Kami merasa tidak dicurigai. 

Mereka bersedia untuk berbagi cerita, bahkan menyediakan waktu untuk menghidangkan makanan bagi kami, seakan-akan kami keluarga yang datang dari jauh. Padahal cerita yang kami minta untuk dibagikan menyangkut isu-isu yang sensitif – tidak ada yang menyangkal bahwa kisah Timor Timur memiliki kenangan tersendiri – mereka membagikannya seakan itu hanyalah kisah biasa. Mungkin juga karena sejak lama mereka telah hidup dengan situasi tersebut, dan menerimanya sebagai bagian yang mewarnai jalan hidup mereka. Tidak ada satu pun terlontar hujatan terhadap pemerintah, tuntutan atas nasib mereka saat ini, ataupun menanyakan perhatian masyarakat Indonesia lainnya yang nampak ‘anteng’ di pulau Jawa.
melihat foto-foto mereka

Hidup terus berjalan, bahkan di Atambua... apa yang mereka lihat setiap hari adalah bagaimana mencapai masa depan – dengan atau tanpa bantuan pemerintah pusat. Mereka ngga ambil pusing kalau di Jakarta orang-orang ribut karena harga BBM naik, pejabat tertangkap korupsi, atau bahkan ibukota kebanjiran. Apa yang mempengaruhi hidup mereka sehari-hari adalah gereja, TNI penjaga perbatasan, dan transaksi dengan Timor Leste...
hidup saling mengasihi di perbatasan NTT

ehhh....ada tambahan...

Satu cerita menarik yang kudengar saat itu... Sekitar tahun 2011, presiden SBY bersikukuh mengunjungi Atambua via jalur darat. Padahal jalur darat Atambua di beberapa bagian rusak cukup parah. Belum lagi rencana SBY di last minutes ingin agar perjalanan 1 hari itu menjadi 2 hari (alias ada tempat peristirahatannya). Yang terjadi adalah semua pejabat pemda bergotong royong untuk menutupi segala kekurangan disana-sini, bagaikan kain  bolong yang ditambal di berbagai bagian. Bahkan rumah peristirahatan SBY entah bagaimana diusahakan hingga sampai dipasang AC segala. Intinya, kerja keras para pejabat pemda berhasil...

Budaya menyenangkan atasan memang melekat pada orang Indonesia...di daerah manapun. Bahkan hal yang awalnya ngga ada dan ngga bisa diberikan bagi warganya, bisa tiba-tiba ada atau di-ada-ada-kan. Kunjungan SBY 2 hari, jalanan bisa mulus. Padahal belasan tahun sebelumnya, kondisi jalanan tak terurus. Ahh....andaikan sedemikian cinta pusat pada daerahnya, mungkin tidak akan mudah setiap warga untuk berteriak "tolong lepaskan....kami ingin merdeka!" 


bersama Xanana Gusmao







360: MY SAGOO

 Desa itu ngga terlalu luas – dan sebenernya aku ngga tau berapa m2 luas desa ini. Desa Sungai Tohor adalah satu dari 10 desa yang ada di kec. Tebing Tinggi Timur, Kab. Meranti, Riau. Desa ini Cuma dihuni oleh 300 KK!! (ada yang tertarik untuk bergabung??).  Jadi ngga heran kalau setiap rumah tangga masih bisa tinggal berjauhan dengan tetangganya dan memiliki pekarangan yang sangat luas.

Berkeliling desa ini di pagi hari menyenangkan sekali. Pemandangan yang mendominasi di kanan-kiri jalan yang sempit hanyalah pohon kelapa dan pohon pinang, dengan rumah kayu penduduk sesekali berdiri di sela-selanya. Aku bisa menghirup udara segar dan merasakan terpaan angin utara yang lembut. (tapi jangan tanya kalau sudah siang, ya….mataharinya terik banget!!). Apa yang membuat aku tertarik datang ke desa ini adalah….sagu. 

Mungkin sebagian orang Indonesia hanya tau sagu adalah makanan khas di daerah Indonesia timur, dan  banyak orang Indonesia ngga tertarik dengan sagu….yang menurutku adalah suatu kesalahan besar…!

Aku mencicipi salah satu hasil olahan dari sagu…. mie sagu. Ada yang bentuknya tipis seperti bihun, dan ada yang lebih lebar seperti mie telor. Dan setelah mencicipinya dalam berbagai versi, komentarku bulat: enak sekali! Rasanya pas, kenyal…dan cocok untuk bakso, digoreng dengan kecap, dicampur dengan spaghetti, sup ikan….pokoknya TOP banget….

Mungkin sebagian orang bakal nanya,”So…what, klo sagu bisa jadi mie??”. Ughh...Ok…
sphagetti

Sekarang aku balik nanya, tau ngga apa yang ngga pernah absen dalam dapur rumah tangga orang Indonesia – terutama mahasiswa??? Mie instan, bung! Dan dalam berbagai versi – u can mention it …indomie, sarimie, supermie, mie sedap, apapun itu…. Dan selama ini kita bergantung pada gandum sebagai bahan baku untuk membuat mie (dan gandumnya impor…..). Ngga heran kalau tahun 2005 lalu masih bisa dapat indomie sebungkus Rp 900, maka sekarang harganya sudah Rp 1,700. Jadi, sudah tau ke arah mana pembicaraan kita ini??

Kenapa kita harus bergantung sama produk impor, kalau bahan bakunya bisa kita produksi massal, untuk dapat harga yang lebih murah dan rasa yang lebih enak?

Kita punya sagu di Papua…sayangnya masih dibiarkan tumbuh seadanya – belum dikelola untuk industry. Sedangkan disini, pengelolaan sagu di Sungai Tohor telah berlangsung puluhan tahun, dan dijalankan secara tradisional dengan sangat baik. Selama ini permintaan sagu cukup tinggi dari daerah Cirebon dan Malaysia. Sayangnya, kalau melihat lahan desanya, pastinya jumlah sagu yang ditanam ngga bisa semassive di Papua. Lagipula di desa ini belum ada pabrik pengelola sagu menjadi tepung. Paling banter yang cuma dikelola warga menjadi sagu basah, lalu dijual.

Dengan cara kelola yang terbatas gitu aja, warga sudah bisa hidup mapan, bahkan naik haji dari hasil menanam sagu. Kebayang ngga, seberapa banyak orang yang bisa sejahtera dan seberapa banyak tenaga kerja kita bisa diserap, jika daerah ini bisa memproduksi sagu hingga menjadi makanan jadi??? – kayak mie, cookies, papeda instan, keripik….

hasil olahan sagu....hmmm.....
Pada kenyataannya hal itu memang ngga semudah membalikkan telapak tangan.Saat kepentingan perusahaan masuk ke daerah ini, berkali-kali usaha sagu dan hidup penduduk di Sungai Tohor terancam (sebenarnya bukan cuma penduduk desa ini sih...penduduk satu pulau malahan...). Perusahaan masuk untuk mencari kayu hutan dan menghidupkan pabrik kertas. Perusahaan lain berusaha membangun industri sagu yang lebih modern. Sayangnya, perusahaan ini membangun kanal-kanal lebar yang merusak lahan hutan. Kok bisa gitu? Karena di pulau ini jenis tanahnya adalah tanah gambut...

ok, pasti muncul pertanyaan selanjutnya ,"Ada apa emang dengan tanah gambut?". Hufff...kita jelaskan pelan-pelan. Tanah gambut itu bisa dibilang kayak sponge buat cuci piring -- daya serap airnya tinggi, tetapi kemampuan melepaskan airnya juga besar. jenis ini lebih mudah melepaskan air secara horisontal, ketimbang vertikal (sampe sini masih ngerti ngga..). Atau lebih mudah melepaskan air ke samping, ketimbang ke atas (karena penguapan dll).

Nah..apa yang terjadi kalau dibuat kanal-kanal yang lebar? Akan ada semacam kali/ sungai buatan. Saat kanal ini dibuat di lahan gambut, otomatis air tanah yang seharusnya tersimpan lebih mudah terlepas dan mengalir ke dalam kanal. Akibatnya tanahnya jadi kering. Kalau tanah kering, lalu bagaimana nasib tanamannya? Tebak sendiri....

 Lantas, apa alasan perusahaan membuat kanal? Untuk mempermudah transportasi gulungan pohon sagu (tual) ke arah pabrik. Kok ngga lewat jalur darat? Karena dinilai lebih MAHAL. (di pulau ini belum ada jalan yang diaspal).

Apa akibatnya kalau lahan gambut rusak? Pertama, permukaan tanah yang menurun (berhubung air tanahnya pada keluar, maka tanahnya akan lebih 'kempes'). Buat pulau besar, mungkin pengaruhnya hanya 'sekedar' air pasang yang lebih tinggi di daerah pantai. Tapi untuk pulau kecil, itu sama dengan vonis tenggelamnya seluruh sejarah kehidupan di pulau itu

Kedua, kebakaran hutan. Lahan gambut yang rusak sangat mudah panas....suhunya katanya sih bisa mencapai 70 derajad celcius di musim kemarau. Terbayang ngga kalau pas dilalui oleh angin yang ekstrim? Itu sebabnya kebakaran hutan sangat mudah terjadi di daerah Sumatra.

Bagi saya, mensupport usaha sagu di pulau ini sama dengan menyokong penduduk dan anak cucu mereka untuk bertahan hidup. Berikut ini adalah salah satu tokoh masyarakat desa yang saya ajak ngobrol....Berhubung pakai bahasa daerah, harap maklum lah, ya...ngga EYD...terjemahin sesuai tuntutnan hati nurani=p
apakah kita mau hutan sumatra seperti ini ? (ilustrasi)



00:01 lori
Wa bisa diceritain awalnya ini bagaimana sampai ada industry sagu di daerah meranti ini terutama di desa sungai tohor. ?

00:19 wa min
Setahu saya, sagu dari awalnya memang dari sini juga ada sagu tapi belum begitu banyak. Karena kita mengenai susahnya hidup, karna masyarakat kami sini susahnya hidup jadi terpikirlah dari kami melihat dari dekat yang desa dekat selat panjang tu ndak banyak perkembangan ini, perkembangan sagu ini. Membuat ……. sagu ….. ini. Saya pikir kami kembangkan karena daerah kami ini ada pohon sagu ya, kami coba mohon dengan pemerintah tahun 1995 itu dapatlah bantuan kami bantuan banpres namanya bantuan mesin ya. tapi alhamdulilah semenjak dari tahun 94, 95 itu sampai sekarang masyarakat kami bisa. Bisa 1, 2, 3 sampai 12 daerah kami sudah 12 macam sagu sekarang.

01:11 lori
12 kilang sagu. Nah sebelumnya wak memang apa tyang terjadi di sini kalau sampai akhirnya dari pihak desa kepikiran lebih baik kita mulai membudidayakan sagu di tempat ini?

01:23 wa min
Betul, tahun sebelum tahun 1980 masyarakat kami ini karena mengisikan perut istilah orangn sini katakan berladang di daerah pulau penyalai sana jauh.

01:36 lori
Dimana itu wa?

01:37 wa min
Pulau penyalai kabupaten Kampar begitu, kabupaten Kampar dari sini ke penyalai kalau pakai pong pong itu 3 jam 4 jam baru sampai. Ini kalau setiap tahunnya begini caranya ini desa tinggal, memang tidak terjamin lagi.

wawancara bersama wa nanmel
01:57 lori
Gak ada warganya.

01:58 wa min
Warganya tak ada, anak – anak sekolah morat marit jadinya. Ini memang waktu itu cangat sulit sekali singgahnya di kampung sumgai tohor 7, 8 orang ini tinggalin. Iyo sembayang jemaatpun susah nyari katip, nyari imam ya, pergi semua.

02:13 lori
Saking sedikitnya orang?

02:14 wa min
Iyo tinggal lagi kepala desa, p3n, ada beberapa orang warga yang tua – tau yang tinggal lagi, yang lain berangkat semua ke penyalai. Jadi sudah beberapa tahun datanglah ppl dari riau itu pak jamaludin namanya tahun 1976 dia datang. Saya juga ikut lading ke sana. penyalai itu susahnya hidup begitu. Jadi dipanggil oleh pak jamal, saya suruh pulang untuk memimpin masyarakat sini berladang di daerah kami sini. Ya saya cobalah turun ke ladang, saya bawa warga semuanya ikut cara persawahanlah, tapi daerah tanah hujan di situ. Pertumbuhan subur, hasil tidak memuaskan. Jadi tak seimbang biaya yang keluar dengan pendapatan. 3 tahun saya coba jadi masyarakatnya. 03:11 terpikirlah oleh kami selaku saya sekdes kepala desa dan masyarakat lain saya bawa masyarakat kami mengolah tanahnya yang ada masing – masing, sehingga waktu ituterbuka sekitar 150 hektar sekali drup di bangun itu.

03:30 lori
Sagu?
warga memanen pohon sagu

03:31 wak min
Iya. Kebun sagu. Tapi tak dapat banyak, lebih kurang  1,5 hektarlah seorang dibagi. Dibagi – bagi 1,5 hektar 1 orang. Alhandulilah tahu 80an itu kami coba bawa. Tahun 90 alhamdulilah berhasil. Dan kami berhenti dari padi, jadi beralih ke sagu.

03:54 lori
Dan kemudian sejak kapan wak akhirnya sagunya bukan hanya dikirimkan atau didistribusikan ke jawa atau ke daerah Sumatra yang lain tapi juga di eksport sampai ke Malaysia?

04:07 wa min
Jadi setahu saya waktu itu di orang cina – cina yang toko – toko inikan mencari informasi. Biasanya kami bawa sagu, mentahan sagu basah ini bawa ke selat panjang juga, dioperkan ke selat panjang untuk bikin mie sagu, di tempat air sana. jadi bagi toko – toko ini dah ada minat datanglah 2,3,4 toko yang datang kemari sagu kami tu diambil bawa ke Malaysia, itu asal. Jadi bagi kami juga jual di selat panjang murah, jadi lebih tinggi, lebih mudah, timbangnya di bansal langsung diantar kepala sungai isike, ke motor, ke kapal besar kapal yang bawa isi sekitar 200 ton lah muatannya itu. Jadi dari itulah, jadi kami mulailah bergerak 1 kilang, 2 kilang, sampai sekarang berkembang 12 kilang.

05:07 lori
Sejak ada 12 kilang di sini, bagaimana efeknya bagi masyarakat sekitar?

05:12 wa min
Alhamdulilah dengan adanya kilang ini, masyarakat dulunya pergi ke Malaysia ada yang kerja kayu, kerja kayu bakau, tapi dengan ada kegiatan ini, ini sangat membantu sekali masyarakat. Seenggaknya beliau sekarang ini kami untuk mencariken upah orang untuk menebaskan kebun payah sekali, payah sekali. Kalau dulu sebelum basal kilang sagu ini dibuat, itu kalau kita suruh orang untuk menebaskan sagu 2,3,4 datang ke kita. Sekarang ini kita mencari orangpun payah. Karena masing – masing sudah ada kerja. Makannya menanam sagu, membersihkan kebun sagu sendiri, menebang batang sagu yang sudah bisa dipanen, nah ini belum lagi yang buruh di perusahaan.

06:04 lori
Jadi warga cenderung tidak keluar tetep tinggal di sini?

06:07 wa min
Ya tetep tinggal di sini. Masyarakat sini kami alhamdulilah kami tak ada, tak ada lagi, adapun kalau ada sebagian kecil aja yang pergi ke luar daerah, semuanya bekerja.

06:18 lori
Seberapa signivikan hasil dari sagu ini bisa mensejahterakan masyarakat? Apa untuk sampai bisa mensejahterakan anak, untuk nikahin, atau segala macem semua dari penghasilan?

06:27 wa min
Alhamdulilah bisa. Dari sagu ini semua kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat itu bisa aja. Kadang 1 hektarlah. 1 hektar ittu kalau batang sagu itu kalau apa, itu bisa mencapaikan 100 batang sekali panen tapi jarak waktunya 2 tahun. Sekali panen 2 tahun. 100 batang harga 300rb sudah berapa duitnya, 60 juta.

06:57 lori
Lumayan ya buat disimpen.

06:59 wa min
60jt kalau di simpan ke bank juga bisa. Jadi di situlah orang ini masyarakat kami sudah mulai berfikir kalau ini untungnya kerja terus selagi ada tanah yang kosong abis tanam. Kalau ibu pergi jalan ke tempat kami sagu semua. Tapi sayang ada juga yang bersih ada yang tidak.

07:22 lori
Dan kemudian wa, itukan sejauh ini kita adanya kilang untuk mengubah dari bentuk batang itu untuk menjadi sagu basah. Ada gak kepikiran warga untuk membuat industry kecil untuk mengubahnya jadi sagu kering sehingga maksutnya kalau di jual bisa dengan hahrga yang lebih mahal, menguntungkan warga?

07:42 wa min
Bisa, sebetulnya kami ada pikir itu, dulu juga ada pemerintah mau member bantuan untuk bikini kilang sagu tepung. Jadi dengan bapak – bapak yang datang juga dah, sudah mau betul tapi saya beri masukan kalau bapak bantu kami, kami siap menerima. Tapi bapak coba pikirkan lagi sebelum ini terlanjur, kalau membikin sagu tepung ini setahu saya itu modal kita harus 3x lipat baru bisa. Kala itu gak bisa, yang pertama kalau kami siap, kami siap menjualkan sagu kepada kilang sagu tepung ini bisa. Kami antar 1 bulan 2x itu, kalau kami …. 2x sebulan setiap ada basar. Antar pertma itu sekitar dalam 300 ton. 200/ 300 ton lah kami antar kali 2000 aja sekarang, sekarang ini sagu basahnya 2000. Itu sudah 600jt. 08:48 jadi beberapa hari datang lagi, sedang sagu yang pertama masih kita jemur, kita apa kirim ke Cirebon uangnya belun juga datang, datang lagi, kami jual lagikepada kilangan tu, jadi modalnya harus berlipat ganda. Kalau tidak gitu tidak bisa.

09:04 lori
Berarti sejauh ini belum ada kalau harus swadaya belum ada masyarakat yang bisa menyediakan modal sedemikian besar?

09:11 wa min
Belum. Jadi seenggaknya bapak tadi saring – saring o betul juga. Jangan nanti pak, mesin yang bapak bantu nanti jadi mesin tua kan gitu yang tidak bermanfaat. Jadi pemerintah bantu tidak ada hasil kami juga tidak apa. Makannya jadi kalau dulu kita ……… kalau begitu ini berarti mau 2,3 instansi yang terkait berurusan dengan ini, sampailah sekarang tak ade leagi cerita tak ade, habis. Memang keuntungannya memang betul kami tau kalau dijadikan sagu tepung tu keuntunganya lebih besar lagi daripada apa ini. Tapi pertama bahan bakunya kami tidak cukup. Jadi sekali kerja seterusnya tidakan percuma juga. Jadi peralatannya nanti akan rusak.

10:00 lori
Ok. kan di, di daerah ini bukan hanya terutama di pulau ini ya pak ya, itukan bukan hanya ada sagu, tapi juga ada kelapa, karet, seperti itu nah ini mana pak yang dominan kalau kita lihat dari pulau tebing tinggi ya?

10:17 wa min
Kalau pulau tebing tinggi setahu saya yang dominan rubia. Nah itu tadi sesuai dengan kondisi tanah. Juga di sini yang berkembang sekarang ini rumbia dengan karet itu yang berkembang ketiga kelapa. Kalau di daerah kami ini di bawahnya tanam sagu, di atasnya karet. Karena tidak cocok dengan ditanam rumbia. Makannya kami ini mengharap juga dengan pemerintah hutan daerah kami inikan, dulukan akan diambil oleh pt lum, apa namanya itu.

10:56 lori
Perusahaan

10:57 wa min
Ya, ini kami pertahankan betul jak kol, jak kol, jangan kalau hutan kami  di Derek itub diambil oleh pt lum sagu – sagu kami ini habislah.

11:07 lori
Kenapa pak bisa begitu?

11:09 wa min
Tanam sagu memerlukan air. Menganyut sampai panen kita mengeluarkan tual sagu di tebang – tebang nek di parit kan memerlukan air, air pasang tak sampai selama inikan air hutan yang turun. Menghanyutkan tual ke kilang itu. Yang tinggal kami mengolah kilang itu memerlukan air. Kalau air hutan tu tak ada air mana hendak diambil. Air pasang tak mungkin, gak bisa. Hutan ini sebagai pelindung kami. Sebagai pelindung kebun – kebun kami yang di bawah. Makannya kami pernah bukan kami mau hutan untuk kami, tidak, supaya hutan itu lebih lestari begitu. Kalau kami nebangpun sekali kekbutuhan kami masyarakat 1 batang 2 batang. Nak tebang bikin papan, bikin rumah itu aja. Tapi kalau kilang itu pt itu masuk habis semuanya. Ini kalau bagi saya, prinsip saya, pendapat saya. Gara – gara hutan di lancang ini habis angin di sini cukup kuat. Karena angun dari utara tu tak ada lagi apa. Kalau dulu tak seperti ini.
akibat lain dari rusaknya lahan gambut....tanah turun hingga akar pohon menyembul di permukaan

12:18 lori
Gak ada lagi penahannya?

12:19 wa min
Ya penahannya sampai langsung. Sekarang kuat betul, berbeda betul jauh berbeda.

12:24 lori
Itu kalau musim apa pak terasa?

12:25 wa min
Muson ini, muson utara inilah. Kalau musim utara terasa betul panasnya kuat, anginnya kuat, dulunya tak ada seperti ini sekarang jadi begini, aduh, saya pun memang  … semenjak dari dulu .... saya benci betul ini. Saya suko benci. .... dia mencari orang tokoh – tokoh masyarakat yang besar member pengaruh kepada masyarakat. Saya datang orang tu saya larilah saya tak mau ketemu sama dia. 13:05 Dia itu kalau kita lemah berapa maunya kita dia kasih apa aja kemauan kita. Tapi semanjak kami kaya menjadi kepala desa 30 tahun itu kami sudah berprinsip dengan kapala desa sejengkal tanahpun kami tidak akan beri kepada orang lain. Itu prinsip kami. Kami mengingat anak cucu yang akan – akan desa ini bagaimana hidupnya, itu yang kami pikirkan bukan untuk kami. Tapi setelah kami berhenti, ada lain cerita.





360: DI BATAS MERAH PUTIH (4th DAY)




aku ngga cukup perkasa untuk melakukan seperti yang dilakukan wanita dayak ini



Kamu harus cukup sigap jika berbagi kamar mandi dengan 30 orang. Jadi saat terbangun di pagi hari dan melihat antrian untuk menggunakan 3 kamar mandi di pos TNI, aku memilih untuk menunggu dengan sabar sambil mereview perjalanan kemarin di otakku.
mungkin gengsi adalah salah satu yang mempertahankan aku ngga pingsan saat mendaki Xoxo

Perjalanan menuju pos TNI kemarin memakan waktu 2 jam untuk mendaki. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan sekitar 30 menit menuju bukit perbatasan Indonesia – Malaysia (sulit kupercaya…siapa orang Inggris dan Belanda yang sempat ke bukit ini dulu untuk membagi wilayah..?!) 

warga berjalan kaki ke pasar Lacau
Lupakan soal patok-patok perbatasannya....ada yang lebih menarik perhatianku. Di salah satu bagian bukit, ada jalan setapak berbentuk pertigaan. Katanya kalau disusuri, bakal sampai ke pasar Lacau. Itu adalah pasar Malaysia yang sering dikunjungi warga desa sungai kelik (dan warga-warga desa lainnya di perbatasan Kec. Ketungau Hulu). Mereka beli makanan-minuman, pakaian, dll disitu. Hasil panen warga juga rata-rata dijual disana. Agak jauh dari pasar Lacau, ada rumah sakit….ada rumah sakit!! Bukan puskesmas atau balai kesehatan.  Dan lagi-lagi, warga pastinya lebih suka bawa anaknya berobat kesana ketimbang menempuh perjalanan 10 jam ke kab. Sintang.

lucu ya...kalau di kampung ada petunjuk jalan seperti ini:)
Jika mau lihat pemandangan ekstrim, maka semuanya menjadi jelas dari atas bukit. Keliatan banget negara bagian perbatasan Malaysia itu rapih. Ada jalanan, tiang listrik, tower sinyal, kebun kelapa sawit yang rapi. Bahkan di hp kita sinyal yang muncul adalah sinyal maxis. Warga disini juga  udah biasa punya 2 mata uang: ringgit dan malaysia. Waktu pulang, kami mampir di warung. Ibunya masak pakai gas dengan merk malaysia. Anaknya nonton siaran TV3. Di rumah lain, ada keluarga yang mengaku sebagian anaknya kerja di Malaysia, dan salah satu anaknya yang cacat pun diobati di Malaysia. Tepatnya mereka lebih mirip warga Malaysia daripada Indonesia…makes me wondering what has been given by this country to its’ citizens?

even gula....! asalnya dari Malaysia
Perjalanan kami akhirnya berakhir…saatnya pulang. Dan apa yang kuhadapi di perjalanan pulang lebih parah daripada saat datang. Setelah menuruni bukit dan menyeberangi sungai, hujan datang. Mobil-mobil kami pun sliding ngga karu-karuan. Entah ada berapa ratus jembatan kayu rusak yang kami lewati -- mungkin hanya ada 2-3 jembatan besi.  Aku beberapa kali tertidur dan terbangun lagi. Dalam hati aku berdoa semoga segera sampai di hotel dan mandi air panas, tapi perjalanan seakan tidak berakhir. 

Dini hari, aku merasakan mobil kami berhenti. Ku buka mataku….hotel. Yeayyy…akhirnya tiba di Sintang!! Dengan semangat kuturunkan koperku, dan tanpa basa-basi segera masuk kamar, lalu mandi.

Lega rasanya saat badan terasa bersih dari debu dan siap untuk tidur. Namun sebelum mata benar-benar terpejam, sempat terpikir olehku,”Adakah para caleg menyempatkan diri berkampanye dan memahami apa yang mereka butuhkan?”. Aku meragukannya….