Monday, December 3, 2012

Bonus Page...^^









semuanya ini adalah makanan yang aku suka selama perjalanan liputan kali ini...^^... sayangnya ngga bisa dideskripsikan, karena sampe lupa tepatnya dibeli di rumah makan mana...(_ _)

Saturday, December 1, 2012

Yordania: Pelajaran dari Petra



"Haji memashite...", seorang gadis kecil gipsy menyapaku dalam bahasa Jepang. Hehehehe…memangnya mukaku mirip orang Jepang??!!! Sambil menahan geli, aku akhirnya hanya tersenyum sembari menjawab,
"I'm not japanese...I'm indonesian"
seakan tidak menggubris jawabanku, dia lalu berkata,
"Do you like this stone? Take it, ma'am...I give it to you..", sembari memberikanku sebuah batu berwarna. Ngga berhenti disitu, si gadis melanjutkan,
How about jewelry, maám? I give you only 1JD..”
tawar-menawar sewa keledai dengan bocah gipsy
Dyuhhh….sudah kuduga akan berujung kesana…(‘_’!)

Hari ini aku, Yudi, dan Timmy mengunjungi Petra -- salah satu kota tua peninggalan suku Nabatean yang adalah penyembah berhala. Namun terlihat memang ada jejak kejayaan kerajaan Romawi disana saat menaklukkan wilayah ini di era 106M – terlihat dari beberapa arsitektur sisa bangunan yang berdiri, seperti coliseum dan kuil pemujaan. Disebut Petra, karena kota ini dibangun di lembah Yordania berbatu cadas dengan ketinggian mencapai 40an meter yang merupakan peninggalan jaman purba, mungkin jaman dinasourus (dalam persepsiku
J) saat Petra dulu masih berupa lautan. Begitu menakjubkannya Petra, hingga akhirnya sejak 7 Juli 2007 lalu Petra terpilih sebagai bagian “7 Keajaiban Dunia” yang baru.

Turis biasanya mengambil paket 3-5 hari perjalanan untuk mengelilingi Petra dan melihat situs-situs di dalamnya, karena seperti kukatakan tadi, Petra merupakan kota -- sehingga ada kawasan luas perumahan, kuil dan gereja, hingga makam-makam bangsawan. Tapi karena memperkirakan bahwa besok kami akan kembali ke Dubai -- dan mengingat jaraknya Petra 2,5 jam dari Amman -- maka kami cukup gila untuk menyanggupi mengelilingi kota tua itu selama 6 jam!

Kami berjalan di tengah belahan gunung batu yang sangat besar. Nyaris tidak ada rumput-rumput yang menyelimuti gunung raksasa tersebut – jika ada pun, hanya sembulan pohon kecil dengan ranting-ranting yang rentan patah. Dan setiap ada ranting atau semak belukar yang kami temukan, Timmy menebaknya sebagai semak belukar yang terbakar saat Musa menerima titah Tuhan untuk membawa Israel keluar dari wilayah Mesir…LOL!

Ada banyak sekali lubang-lubang di batu. Itulah rumah-rumah tempat orang Petra tinggal berabad-abad lalu. Ya, mereka tinggal di gua-gua yang mereka lubangi sendiri untuk dijadikan hunian. Pastinya dulu lubang-lubang itu berbentuk simetris, tapi kita sudah tidak beraturan karena pengendapan bebatuan dan sedimentasi dari pasir-pasir yang memenuhi celah-celah kosong tersebut setelah tidak ditinggali selama ratusan tahun. Menurut cerita, Petra sempat disebut sebagai kota hilang, karena keberadaannya tersembunyi dari para peneliti Barat hingga barulah pada tahun 1812, petualang Swiss, Johann Burckhardt, berhasil memasuki kota itu dengan menyamar sebagai seorang muslim.

berpose di pilar-pilar sisa peninggalan kerajaan Romawi
Di Petra, ada banyak makam bangsawan yang bahkan ukurannya lebih besar daripada rumah masyarakat umum – kemungkinan karena sekaligus digunakan sebagai tempat penyimpanan harta. Beberapa bangunan merupakan perpaduan antara budaya Mesir, Nabatean (yang merupakan warga setempat), dan Roma (yang menjadi penjajah di era itu). Di depan setiap situs selalu ada orang-orang gypsi – dewasa maupun anak-anak – yang menjajakan postcard, perhiasan, bahkan menyewakan kuda dan keledai mereka untuk ditunggangi mengelilingi situs-situs disana. Tentunya itu semua tidak gratis -- bahkan disewakan dengan harga yang cukup tinggi. Itu sebabnya gadis kecil gipsy yang menyapaku harus dapat ditolak secara halus sebelum dia menghabiskan dinar yang kubawa hanya untuk perhiasan dan transportasi :3



kami mengunjungi banyak sekali bangunan-bangunan peninggalan...ada yang nampak utuh, ada yang sudah hancur sebagian. Kami singgah di Al Khazneh ("The Treasury")  yang menjadi bangunan pertama yang ditemukan setelah melewati dinding batu yang super tinggi, bekas gereja dengan lantai berhiaskan mozaik ala Byzantine, Theatre, dan entah bangunan apa lagi.. Entah karena baru kali ini melihat peradaban kuno dunia lain, aku sangat kagum dengan kegigihan para pemahat di bukit batu ini....membuat bertanya-tanya bagaimana cara mereka melakukannya...seperti membuat lingkaran tiang yang halus misalnya??!!
kami mencapai monastery:)

Salah satu tempat yang sulit dicapai – tetapi wajib kunjung selama di Petra -- adalah monastery/ biara (
El Deir ). Letaknya di gunung batu di daerah yg disebut Ad-Deir. Di puncak itu terdapat suatu bangunan megah yang diperkirakan sebagai gereja pada jaman Byzantine. Untuk mencapainya, kau harus menaiki ratusan anak tangga. Jika kau mendengar bahwa mencapai monastery perlu menaiki 100 anak tangga, it's truly a lie… Setidaknya ada sekitar 800an anak tangga yang harus kamu lewati -- belum lagi beberapa jalan datar yang menambah langkah-langkahmu menjadi berjumlah ribuan. Aku berani bertaruh -- jika benar-benar berjalan dari gerbang masuk Petra -- nyaris tidak ada orang Indonesia yang sanggup mencapai monastery! Tantangan pertama adalah banyaknya kotoran keledai dan kuda di sepanjang jalan yang dilalui – membuat sebagian orang biasa langsung il-feel dan menyayangkan apabila sepatunya yang mahal harus dikotori dengan ‘that kind of stuff’. Kedua, tingginya tempat monastery berdiri yang membuat oksigen semakin tipis dan ratusan tangga itu membuat kamu kehabisan napas -- bahkan aku sempat menyuruh Yudi dan Timmy meninggalkanku di tengah perjalanan karena aku merasa akan semaput. Dalam hati aku ngedumel sendiri, “Mengapa di Indonesia kita tidak memiliki budaya berjalan kaki!! Terlalu banyak orang nyaman dengan berkendaraan pribadi kemanapun mereka ingin pergi (sayang sekali, aku termasuk dalam golongan itu..). Bahkan ada lelucon yang berbunyi,"kalau angkot itu bisa mengantar sampai depan rumahnya, itulah yang dipilih oleh orang Indonesia". Dapat dibandingkan dengan orang-orang barat. Meskipun mereka menggunakan high-heels, berjas, berdasi, namun tetap membudayakan menggunakan transportasi umum dan menyambung dengan berjalan kaki dari halte terdekat ke tempat tujuan mereka. Makanya, cukup mengejutkan juga pada mulanya saat mendaki tangga-tangga monastery kami banyak berjumpa dengan kakek-nenek berkebangsaan eropa yang tetap antusias mendaki-- meskipun mereka tertatih-tatih. Tentu saja, semangat mereka sangat menyidir diriku yang masih muda dan sudah hampir menyerah untuk dalam pendakian tersebut.(dan sudah berwajah pucat, dengan keringat tertahan dalam mantel)

Kembali pada diriku yang ngos-ngosan mendaki gunung batu itu (dan sudah tertinggal jauh di belakang Timmy dan Yudi), aku sempat putus asa dan memilih untuk berhenti. Sambil membasahi kerongkonganku yang kering dengan beberapa teguk air, kulihat ada seorang pria berukuran jumbo yang napasnya juga tersengal-sengal dan Nampak tertinggal dari rombongan…(pak…kita senasib…(T_T) ). Aku berpikir apakah sebaiknya aku menunggu Yudi dan Timmy saja untuk turun kembali ke situs di bawah, sampai akhirnya aku bertemu dengan seorang wanita turis asing. Aku tidak bertanya darimana asalnya. Rambutnya merah ikal dan nampaknya berusia sekitar 50an. Dia dalam perjalanan turun dari monastery.
“Is it still far to go up there?”, tanyaku padanya dengan wajah memelas
“No..”, katanya dengan wajah cerah,”Ït’s only at the back of that stone and you just straight…there it is”
“Ï almost lost my breathe”, kataku berkeluh kesah
Dia menyemangatiku,”You know what…I have asthma. But I don’t feel it. I just take a deep breath…deep breath. And what you see there, it’s worthied”
Aku tertegun. What???! Aku ngga akan kalah dengan orang yang asma untuk mencapai monastery itu;8 . Akhirnya aku mendaki dan mendaki…dan akhirnya, tidak sampai 10 menit, aku mencapai monastery…yippeeee -- meskipun kata Timmy dan Yudi wajahku sudah pucat pasi.
Sesampai di atas, aku ngga lupa mengambil foto dengan pose seperti patung liberty di depan monastery. Ini benar-benar pengalaman ngga terlupakan! Lalu kami istirahat sejenak dan memesan teh botol. Harganya 3 dinar = Rp 36ribu!!! Kalau ngga karena kecapean, aku ngga akan memesannya (T_T). Teh botol mahal itu diminum dengan kepuasan yang ngga terkatakan – kamu seperti baru memenangkan olimpiade!!
Untuk mendaki ke monastery kami menghabiskan waktu kurang lebih 1 jam! (mungkin karena aku beberapa kali berhenti untuk mengambil napas). Tapi untuk turun dari sana, kami hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit.
Dan yang menarik adalah dalam perjalanan turun yang terasa ringan itu, aku kembali bertemu dengan si wanita berambut merah
“Hey..”, dia menyapaku terlebih dahulu,”you did it!!!”
Ÿaa…I did it…”, kataku senang.
“Ÿou see…”
Yuppp…I see…Pengalaman ini memang memberiku pelajaran pribadi. Terkadang seringkali aku menyerah untuk sesuatu yang sangat berharga – bahkan membuat keputusan-keputusan yang salah. Padahal untuk memperoleh hasil yang aku inginkan, aku hanya perlu berjalan sedikit lebih jauh….ya, sedikit lebih jauh….^^

Yordania: Mencapai Titik Terendah di Dunia



Salah satu tempat wisata Yordania yang juga terkenal adalah Laut Mati atau dalam bahasa Ibraninya, Yam-Hamelah. Ini adalah posisi titik terendah di muka bumi – yaitu sekitar 400 m di bawah permukaan laut. Setiap tahunnya, diperkirakan jumlah turis pengunjung Laut mati mencapai 600,000 orang! Pariwisata memang menyumbang 10-12 persen dari Produk Domestik Bruto Yordania.
menuju Laut Mati

Meskipun dinamakan Laut mati, sebenarnya ini adalah danau, karena airnya ngga berotasi – meskipun airnya pun asin kayak air laut pada umumnya. Posisi Laut Mati memisahkan Israel dari wilayah Yordania dan Palestina. Karena posisinya yang juga rendah itulah, kadar garam di Laut Mati sangat tinggi – konsentratnya sekitar 35% -- menyebabkan ngga ada binatang air mana pun yang bisa bertahan hidup di dalamnya.

Menurut penelitian, Laut Mati menunjukkan tingginya khasiat mineral air laut. Konon, ada 35 jenis mineral yang terkandung di danau seluas 18 kilometer persegi dengan panjang 67 kilometer persegi tersebut. Dan akhirnya lumpur dari Laut Mati jadi terkenal, karena dipakai sebagai bahan produk-produk kecantikan. Antara percaya dan engga, sesampainya di tempat wisata itu, aku pun mencoba ‘ritual ‘yang biasa dilakukan turis di Laut Mati – luluran lumpur. Mulai dari wajah, tangan, sampai kaki (dalam sekejap aku berubah menjadi Dakocan). Sedangkan Timmy dan Yudi lebih tertarik untuk berenang di laut – membuktikan bagaimana kadar garam yang tinggi di danau itu dapat membuat apa pun yang ada di dalamnya mengapung – termasuk orang yang ngga bisa berenang… Padahal siang tadi saat kami tiba disana, matahari terik sekali.

Menurut Timmy dan Yudi – karena aku memilih untuk berjemur saja dalam ‘selubungan’ lumpur, dan tidak berenang – air Laut mati membuat kulit terasa perih. Mereka pun akhirnya tidak mau berendam terlalu lama disana setelah mengambil foto dalam beberapa pose mengapung. Dan ternyata mengapung disana memang sangat mudah…cukup berbaring saja, dan dijamin 100% mengapung. Tapi saat keluar dari air, kulit mereka terasa seperti dilumuri minyak – licin sekali. Dan tanpa sengaja, Yudi terciprat air danau tersebut dan mengenai matanya. Katanya pedih sekali. Barulah sehabis itu kami melihat papan yang bertuliskan peringatan agar jangan sampai terciprat air Laut Mati (telat sekali…)

penampakan Laut Mati dari resort
Saat aku mencari-cari tentang Laut Mati di internet, inilah yang kudapatkan… Para pakar selama beberapa tahun terakhir terus mengkhawatirkan kian anjloknya permukaan Laut Mati. Kalau pada 1970, permukaannya tercatat 395 meter di bawah permukaan laut (dpl), pada 2006 sudah berada di level 423 meter dpl. Itu berarti rata-rata turun 1 meter per tahun. Buntutnya, karakteristik Laut Mati pun terancam. Sebab, permukaan air tanah ikut tergerus infiltrasi air dari luar, terutama dari Sungai Jordan yang bermuara di tempat tersebut. Kadar garamnya pun perlahan berkurang. Padahal, justru di situlah letak keistimewaan Laut Mati. Banyak yang menuding, tingginya laju pembukaan lahan pertanian dan pembangunan berbagai properti, seperti hotel dan apartemen, turut merusak lingkungan Laut Mati. Kandungan air Laut Mati menjadi menyusut karena sumber-sumber air dalam tanah tersedot berbagai proyek tersebut.

Mengenai hal itu, memang sebelum mencapai Laut Mati kami melewati Suwayma, wilayah Laut Mati sisi Jordania berada, yang dikenal sebagai sentra pertanian. Wilayah Suwayma memang terhitung subur, bagaikan warna hijau di tengah luasnya padang pasir dan batu berwarna coklat. Selain adanya ladang-ladang tani, terdapat juga berbagai hotel, restoran, supermarket, dan ada beberapa bangunan bar, seperti resort, yang tengah digarap di sekitar al-Bahr al-Mayyit sisi Jordan. (uppss…kami pun melihat salah satu proyek hotel Emaar ada di pinggir danau itu..)

Masih menurut tulisan yang kubaca di internet, sejak 2009 hingga kini Yordania –yang sangat miskin sumber air– serius menggarap Jordan National Red Sea Development Project. Itu adalah proyek air bersih sekaligus konservasi Laut Mati. Jadi, air laut dari Teluk Aqaba disalurkan melalui pipa untuk menjalani proses ’’degaramisasi’’ agar bisa dijadikan sumber air minum. Nah, air laut yan tersisa alias tak tersaring dialirkan ke Laut Mati untuk menjaga jumlah kandungan air serta, yang paling penting, kadar garamnya. Hingga kini, infrastruktur proyek itu belum seratus persen selesai. Efektivitasnya untuk menyelamatkan Laut Mati otomatis belum terbukti





Yordania: Hari yang Sejuk



penampakan Amman dari atas bukit
Pesawat hampir mendarat di Amman, Yordania pada pukul 3.25 sore waktu setempat, saat aku belum menuntaskan film “Narnia: Voyage of the Dawn Treader” yang aku tonton. Kulihat melalui jendela bahwa cuaca di luar cukup cerah.

Apa kepentingan aku dan teman-temanku sampai ke Yordania? Sebenarnya tidak ada. Kami kehabisan visa, dan membutuhkan waktu beberapa hari untuk mengurusnya. Maka kami harus masuk ke negara lain yang mengijinkan turis masuk dengan visa on arrival…dan itu pun berarti kami harus mengijinkan alat-alat broadcast yang kami bawa untuk ditahan. Maka jadilah kami ke negara Yordania bak pelancong.

Bandara Queen Aliya, Yordania memang tidak sebesar dan sebagus bandara di Dubai Int'l Airport, UEA. Tapi paling engga jalurnya simple dan keimigrasiannya ngga seketat di UEA. Begitu kami keluar bandara, seorang supir menjemput kami dan segera membawa kami ke ibukotanya yang bernama Amman.

Jika mau melihat kota Timur Tengah yang mendekati bentuk aslinya, seperti yang sering muncul di film-film bertema sejarah, Yordania tempatnya. Di Yordania, kamu akan menemukan masih banyak padang luas dan bukit-bukit dengan rumput yang semi hijau-kekuningan serta tanah berupa pasir berbatu. Lalu akan ada sekawanan domba, kambing, atau keledai yang sedang berbaring atau makan rumput disana bersama dengan gembala yang nampak menjagai kawanan hewan lucu itu. Ini membuat aku lebih mudah mengimajinasikan dalam benakku bagaimana kisah Tuhan Yesus saat menceritakan  tentang perumpamaan “gembala yang baik bersama kawanan domba-domba gembalaannya”.=)

Ternyata bukan hanya kawanan domba dan keledai yang ada di pinggir jalan, tetapi juga tenda-tenda. Awalnya kukira itu adalah rumah orang miskin di negeri ini. Tapi ternyata tidak… Supir kami (yang aku lupa namanya) bilang kalau ada warga gipsi yang suka tinggal nomaden/ berpindah-pindah. Selain itu, ada juga penduduk setempat yang memang sudah memiliki rumah, tetapi memilih untuk tinggal di tenda-tenda semacam itu pada musim tertentu. (Hmm..kebiasaan yang aneh menurutku). Bedanya tenda penduduk setempat dengan tenda milik gipsy, adalah pada warnanya – gipsy cenderung menggunakan tenda warna-warni, sedangkan warga arab Yordan menggunakan tenda warna putih lusuh.

Jalanan dari bandara menuju kota Nampak sepi, meskipun ada beberapa tempat perhentian. Udara di luar cukup sejuk dan kering. Katanya jika kami datang seminggu lebih awal, kami bakal masih sempat menyaksikan salju turun menutupi kota.
Memasuki kota Amman, kamu akan melihat rumah-rumah seperti yang muncul dalam film Passion of the Christ. Berbeda dengan Dubai yang rumah-rumahnya sudah banyak modifikasi cat dan bentuk, rumah di Amman dan gedung-gedungnya masih beratap datar dan banyak yang terbuat dari dinding batu-pasir berwarna salem -- sangat mirip dengan warna pasir gurun. Amman benar-benar kota yang tenang dan nampak masih statis. Mungkin bisa diumpamakan dengan kota Tarakan di Kalimantan Timur. Tidak terlihat keramaian di kota ini. Mall yang ada bahkan kalah besar jika dibandingkan dengan Balikpapan Center. Memang ada KFC, Pizza Hut, Domino's Pizza dan beberapa produk franchise lainnya, tetapi tidak banyak. Sekali mengelilingi mall nya, pasti langsung bosan. Dan seperti hal nya penduduk di UEA dan Bahrain, penduduk lokal fasih berbahasa inggris, hanya saja tidak banyak pekerja dari Asia Selatan, Asia Timur, maupun Asia Tenggara disini. Di jalan-jalan, yang kami temui hanya warga Arab.

Kami diantarkan ke sebuah hotel yang bernama Holiday Inn. Hari menjelang gelap, suhu udara sudah turun hingga 15 derajad celcius, dan angin menjadi cukup kencang dibandingkan sore tadi. Yahhh…namanya juga masih peralihan dari musim dingin – berbeda dengan Bahrain dan UEA yang suhunya sudah mulai mencapai 35 derajad celcius di siang hari. Dan akhirnya mantel yang kami bawa dari Indonesia berguna juga…

Dubai: Seni Mengemudi ala Dubai



yahh..klo mobilnya kayak gini, ngga heran lah, ya..:p
Kemarin sebuah peristiwa menggegerkan terjadi. Sebuah kecelakaan berlangsung di Dubai -- tepatnya di jalan raya menuju ibukota, Abu Dhabi. Kecelakaan itu berupa tabrakan mobil beruntun yang melibatkan 127 kendaraan!! Setidaknya 1 orang korban tewas di tempat, 9 kritis, dan 61 orang lainnya luka-luka. Saking hebatnya kejadian tersebut, evakuasi korban bahkan harus menggunakan helikopter. Lalu petugas lalu lintas harus mengerahkan sekitar 100 armada untuk melerai 127 bangkai mobil yang bertumpukan di jalan. benar-benar tragis…

Hingga saat ini kronologis peristiwa tersebut belum kuketahui secara pasti. Tapi kabarnya karena jarak pandang pengemudi yang terganggu akibat tebalnya kabut – musim peralihan memang memungkinkan kabut begitu rendah turun hingga ke jalanan. Well, jika memang itu penyebabnya -- lalu ditambahkan dengan kebiasaan mengemudi penduduk di kota ini -- aku tidak akan heran.

Di Dubai, kamu akan melihat bagaimana ada banyak pengemudi mengendarai mobilnya dengan 'asal-asalan'. Yang kumaksud adalah, terkadang mereka berpindah ke lajur kanan-kiri sesuka hatinya. Semua orang melakukannya -- baik pendatang maupun penduduk asli. Selain itu, mereka suka mengemudi dengan kecepatan tinggi -- hingga 80-130 km/jam! Memang banyak faktor yang mendukung hal itu. Pertama, jalanan mereka lebar dan masih mampu menampung volume kendaraan yang ada di kota -- bahkan jalanannya lebih lebar dari jalan tol yang ada di Jakarta…believe me… Kedua, rata-rata mobil mereka keluaran Eropa, sehingga tetap nyaman dikendarai meskipun dengan kecepatan tinggi. Ketiga, mereka bahkan tidak mengurangi kecepatan saat akan berbelok atau putar-balik. Jadi ngga bakal heran kalau berkali-kali di jalan kamu akan mendengar bunyi ban berdecit -- seperti di film-film balap hollywood -- saat ada mobil akan belok atau berbalik-arah. Pertama kali kami mendengar decitan ban mobil saat berputar di daerah downtown, kami kira ada kecelakaan yang nyaris terjadi. Dan meskipun akhirnya kami mengetahui itu adalah kebiasaan penduduk setempat, tetap saja decitan ban mobil cenderung membuat kami menoleh dan mencari dari mana sumber suara berasal, takut-takut jika terjadi kecelakaan di sekitar kami.

Jadi, lagi-lagi, berita tersebut tidak cukup mengherankan. Memang faktor kabut dicampur
dengan gaya berkendaraan mereka bisa sangat mematikan.

Anyway, kita juga harus melihat di sisi lainnya. Kalau diperhatikan, jumlah korban tewas tergolong kecil sekali -- bahkan jumlah keseluruhan korban lebih kecil dari jumlah kendaraan yang rusak. Itu sebagai pertanda bahwa mereka patuh untuk menggunakan sabuk pengaman! Di
mobil-mobil Eropa keluaran sekarang memang biasanya dilengkapi dengan indicator penggunaan sabuk pengaman. Jadi kalau mobil sedang berjalan, dan disana duduk penumpang
yang tidak memakai sabuk, alat indikator akan langsung berbunyi, dan tidak akan berhenti sampai penumpang tersebut menggunakan sabuk pengaman. Sisi ini memang mengandung nilai positif. Selain itu, jika ada orang mau menyebrang jalan di Dubai -- dan kita menyeberang di zebra cross -- sekencang apapun sebuah mobil berlari, akan berhenti dan mempersilakan kita untuk menyebrang. Why? Karena disini ada peraturan jika ada seorang pejalan kaki tertabrak mobil, maka yang tertabrak harus mendapat ganti rugi sekian dirham (aku lupa berapa, yang jelas itu setara dengan puluhan juta rupiah!). See..?! Peraturan yang keras terkadang sangat diperlukan bahkan untuk mendisiplinkan masyarakat (catat itu!).