Tuesday, October 30, 2012

Dubai: Sand Storm


Aku dan teman-teman meninggalkan Bandara Queen Aliya, Yordania pukul 2 siang waktu setempat. Udara masih cukup dingin saat kami meninggalkan negeri itu – sekitar 16 derajad celcius. Dengan maskapai Emirat, kami menuju Dubai dengan perkiraan jarak tempuh perjalanan lebih dari 3 jam.
Aku tidak ingat tepatnya apakah setelah 2,5 jam atau 3 jam perjalanan – yang jelas kami sudah memasuki kawasan Uni Emirat Arab -- pesawat boeing 777 yang membawa kami tiba-tiba mengalami goncangan. Burung besi raksasa itu terlempar ke kanan-kiri, naik-turun berkali-kali dalam hitungan detik. Penumpang yang semula tenang dan sedang menikmati makan siang atau nonton TV serta-merta menjadi panik.

Aku segera melihat ke luar jendela. Awan nampak tebal dan menggumpal dengan warna ke-abu-abu an – meskipun tidak seperti warna awan hujan. Apakah yang sedang terjadi, bathinku. Aku berusaha untuk menenangkan hatiku sendiri.

Goncangan yang semula diperkirakan akan mereda ternyata terus berlangsung lebih dari 3 menit dan tidak kunjung berhenti. Perutku mulai terasa teraduk-aduk. Jantungku mulai berdetak kencang. Penumpang mulai ada yang teriak histeris – terutama penumpang wanita. Anak-anak menangis. Situasi dalam pesawat cukup mencekam saat itu (atau “sangat mencekam” bagi yang saat itu benar-benar ketakutan setengah mati). Aku pun mulai berdoa – berharap Tuhan mengingat setiap kami yang ada di dalam pesawat dan segera berkemurahan untuk menenangkan cuaca buruk di luar sana, seperti hal nya Yesus menenangkan angin sakal di danau saat perahu murid-murid-Nya diterjang gelombang.(heran...kok aku ngga nangis, ya...)

Film Harry Potter yang sedang kutonton pun sudah ngga ku gubris lagi, sibuk menggenggam kencang pegangan kursi pesawat. Penumpang-penumpang pun mulai muntah – termasuk yang duduk di bangku depanku. Bunyi “hoekkk…”yang bertubi-tubi sontak membawa tanganku meraih pashmina yang kupakai sebagai syal untuk menutupi hidung. “Ya, Tuhan…jangan sampai bau muntah orang-orang ini juga memancing aku muntah”, pikirku. Dan perutku pun mulai menunjukkan reaksi-reaksi sulit berkompromi. Aku pun berusaha menenangkan debaran jantungku yang begitu kencang, seiring dengan pesawat yang naik turun dengan cepat serasa naik kora-kora di Taman Ancol. Dan dalam momen kritis itu, temanku Timmy pun dengan sigap segera menyalakan ipod-nya dan mulai merekam kejadian di dalam pesawat. (entah apa yang merasukinya – padahal itu bisa menjadi saat-saat terakhir kami). Suara tangis anak-anak masih terdengar kala itu. Aku tidak ingat seberapa lama itu berlangsung, sampai akhirnya situasi pun mulai mereda, dan pesawat kami lolos melewati cuaca buruk tersebut.

Hanya dalam hitungan menit setelah situasi mereda, pesawat kami dinyatakan siap untuk mendarat di Bandara int’l Dubai. Dubai terlihat agak teduh dengan langit berwarna kelabu.

Setelah pesawat mendarat, barulah aku mendengar dari salah satu pramugari bahwa kami baru saja melewati badai gurun (sand storm). Aku tidak tau penyebab pasti terjadinya badai gurun, namun kemungkinan karena peralihan musim. God…ngga kebayang kalau tadi kami naik pesawat kecil apa yang akan terjadi…???!!!!!!

Pengalaman menghadapi sand storm di udara  mungkin adalah salah satu pengalaman yang ngga akan terlupakan seumur hidup. Aku jadi teringat, bahwa kejadian kemarin bukanlah satu-satunya pengalamanku menghadapi sand storm. Sebenarnya saat aku dan teman-teman meliput di Bahrain, kami pun menghadapinya.

Sand storm terjadi pada suatu malam. Aku tidak melihat langsung kejadian saat angin menghantam Bahrain begitu hebatnya malam itu, karena sudah tidur;p (aku memang suka tidur cepat..). Namun sudah mendengar selentingan beritanya dari twit beberapa penduduk local yang aku ikuti via account twitter-ku. Tapi menurut Yudi dan Timmy yang masih terjaga pada jam itu, kaca jendela kamar mereka terpukul berkali-kali oleh tali tempat pembersih kaca hotel bergelantungan. Dan saat mereka berusaha untuk melihat jalanan, tidak ada satu pun yang terlihat – hanya putaran pasir berterbangan yang membuat pemandangan berwarna coklat keruh.

Dan saat paginya, waktu kami mau live di luar lobby hotel, aku sempat kaget melihat pohon-pohon, mobil-mobil, dan atap parkiran semuanya tertutup warna coklat pasir. Anginnya pun masih bertiup sangat kencang pagi itu, sehingga kami terpaksa live dari dalam lobby hotel. Dan ternyata stand storm yang dialami oleh Bahrain bersumber dari Kwait (jadi aku pun ngga bisa bayangkan seberapa dasyatnya sand storm menerpa Kwait kala itu).

sehari setelah sand storm, angin masih terlalu kencang...lihat daun pohonnya...
Saat keliling kota pun, kami melihat mobil-mobil berlalu lalang dalam kondisi kotor. Nampaknya para pemilik kendaraan memutuskan untuk tidak mencuci mobilnya sebelum efek sand storm berakhir. Menurut Jafar, supir kami, ini adalah hal yang biasa terjadi di Bahrain. Maka munculnya sand storm ngga otomatis membuat orang memilih untuk izin ngga masuk kerja atau menutup toko-toko. Bahkan ia mengaku pernah membawa kendaraan saat sand storm sedang melanda kota, dan baginya itu hal yang lumrah. Aku jadi geli sendiri  jika membandingkannya dengan hujan di Jakarta. Saking buruknya sanitasi kota itu, hujan biasa pun dapat menyebabkan banjir dan jalanan macet berkilo-kilo meter. Sehingga situasi hujan selalu bisa menjadi pembenaran untuk telat berjam-jam masuk kantor. Dan masuk kantor telat ngga berarti mereka akan pulang kantor telat. Justru pas pulang kantor, selalu tepat waktu! Ck..ck..ck…
lihatlah pada debu di mobil...bukan pada merk mobilnya:p
Kembali tentang sand storm, setidaknya ini jadi pengalaman bagiku..hehehehe…mau kapan coba ngalami sand storm di Indonesia??!!=D… Tapi aku ngga bakal mau lagi ngalamin sand storm di udara kayak kemaren ..X8…. and thank God for His mercy…


Dubai: Menjadi si No.1


apa pendapatmu saat melihat raut wajah Mohammed bin Rashid Al Maktoum??
Mungkin ada banyak orang sudah tahu Dubai, dan mungkin ada lebih banyak orang yang tidak mengetahui banyak mengenai Dubai (seperti pada saat aku datang ke sana). Dubai membuatku tercengang dan berdecak kagum, menyadari bahwa banyak “yang no.1 di dunia” ada di kota ini. Yang baru kuketahui adalah aquarium terbesar, mall terbesar, gedung tertinggi, lift tercepat, gedung dengan lantai terbanyak, hotel dengan lobi termegah, restaurant ter-elit dan entah apa lagi... Ini bisa dikatakan hasil ‘sampingan’dari ratusan gedung pencakar langit yang sudah berdiri di ke-emir-an ini. Aku curiga mereka pun mengincar predikat “gedung pencakar langit terbanyak di dunia”.

Semuanya tentunya bersumber dari seseorang yang memiliki visi, dan dialah sheikh Mohammed bin Rashid al Maktoum, yang merupakan penguasa Dubai. Wajah Mohammed bin Rashid terpajang hampir di setiap sudut kota Dubai -- di dinding jalan, gedung-gedung tinggi, hotel, bandara, dan tempat-tempat umum lainnya. Biasanya wajahnya terpampang bersebelahan dengan wajah raja sekarang dan wajah raja pertama UEA – secara negeri ini memiliki tingkat respect yang tinggi terhadap pemimpinnya, layaknya negara-negara monarkhi.

Truly speaking, dia bukan hanya disegani di Dubai, tapi juga seluruh pelosok UEA – secara dia juga merangkap sebagai perdana menteri dan wakil presiden pada saat aku berkunjung kesana (sempat membuatku bergidik, bagaimana mungkin seseorang menjabat 3 posisi yang merupakan pucuk pimpinan??!!). Dialah yang membuat kebijakan agar Dubai menjadi kawasan ekonomi khusus, sehingga barang-barang impor yang masuk via Dubai tidak dikenakan pajak! (aku rasa aku pernah menjelaskan mengapa produk-produk elektronik yang kami beli bisa didapatkan dengan harga murah..ehh…atau belum?).

Seorang supir – lagi-lagi yang kami ajak ngobrol selama perjalanan -- menceritakan alasan yang diberikan oleh si penguasa Dubai atas pertanyaan mengapa ia membangun banyak yang “ter di dunia” di Dubai. Jawabannya cukup membuat merinding: karena sheikh Mohammed bin Rashid al Maktoum ingin orang Dubai selalu menjadi nomor 1 dimana pun mereka berada! Wow....inilah pemimpin yang seharusnya dimiliki oleh setiap negara.
Mohammed bin Rashid al Maktoum pun termasuk orang yang memiliki concern besar di dunia pendidikan. Salah satu debut yang ia buat adalah pada tahun 2007 ialah memberikan donasi bagi pendidikan sebesar US$ 10 milyar – menurut yang kubaca, itu adalah salah satu sumbangan terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah! Tujuannya adalah untuk mengejar ketinggalan pendidikan dunia Timur Tengah dari dunia Barat. Huff..seandainya saja aku bisa menjadi salah satu penerima donasi itu…
Kau tahu, aku belum lama berkecimpung di liputan politik Indonesia – setidaknya belum sampai 5 tahun – dan aku sudah mual karenanya. Mual karena keserakahan penguasa dalam pembagian jatah, mual dengan keculasan dan main tikam antar pesaing, mual dengan mulut manis dan bunga-bunga dalam pidato yang tidak berisi dan terkesan tidak cerdas, dan yang paling utama adalah tidak habis pikir bagaimana mungkin orang yang tidak punya visi jauh ke depan bisa terpilih duduk di kursi tersebut! (setidaknya buatlah visi jangka panjang seperti Soekarno atau Soeharto…dan aku masih bisa memaklumi ‘çatatan hitam’ lain yang mungkin muncul dalam rekam jejak seorang pemimpin. Ok…aku mungkin bisa memaklumi, tapi tidak orang lain).
Dan meskipun tidak tau banyak (apalagi mengenal) Mohammed bin Rashid al Maktoum, aku yakin pastinya ia orang yang memiliki visi jangka panjang. Nampaknya ada baiknya untuk memperoleh biografinya dalam versi bahasa Indonesia…J





Dubai: pengakuan TKI


Salah satu warga negara kita yang bekerja di Dubai berkata kepadaku,
“Jangan sampai jadi pembantu rumah tangga di Dubai”.
Banyak yang mengakui betapa menyenangkannya hidup di ke-emir-an Dubai. Meskipun disana status kita adalah pendatang, tetapi ada kepastian hukum yang menjamin ‘aturan main’ negeri itu dapat berjalan. Jadi, asal mengikuti aturan yang berlaku, kita dijamin untuk bisa memiliki tempat tinggal, kendaraan, membuka usaha, bahkan memperoleh pelindungan hukum untuk hak-hak yang harus kita peroleh. Tapi ada  catatan penting: jangan sampai harus berurusan dengan hak warga lokal – karena bagaimanapun mereka, para warga local, akan selalu didahulukan oleh pemerintah.

Menurut lawan bicaraku, hal itu sangat kentara dalam kasus penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga. Banyak pembantu rumah tangga di negeri ini adalah warga Indonesia. Dan negeri ini termasuk salah satu yang memberikan perlakuan buruk terhadap TKI kita. Selain penyebabnya adalah kemampuan TKI kita yang pas-pas an, mereka juga memang terbiasa untuk memperlakukan pembantu sebagai budak mereka – toh, negara pun akan berpihak pada mereka. Jadi, mau majikannya dipersalahkan atas nama hukum legal maupun hak asasi manusia, tetep aja mereka kebal – mungkin bisa aku istilahkan ‘law-resistant’ =p

UEA termasuk 3 besar negara yang terdaftar memberikan perlakuan buruk pada TKI. Menurut data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia pada tahun 2010, ada 45.626 kasus penyiksaan TKI. Penyiksaan banyak terjadi di Arab Saudi (sampai 22 ribu kasus), disusul Taiwan, Uni Emirat Arab, Singapura, dan Malaysia.

Masih hasil bincang-bincang, harus diakui kemampuan TK Indonesia jauh jika dibandingkan tenaga dari Filiphina yang juga banyak di UEA. Paling tidak dari segi bahasa, TK Filiphina bisa berbahasa inggris, sehingga memudahkan komunikasi dengan majikan dan aparat setempat (semua orang UEA menguasai bahasa Inggris). Apabila ia diperlakukan kasar oleh tuannya, ia bisa melapor. Itu saja sudah menjadi nilai plus yang sangat menguntungkan. Belum lagi mereka lebih terdidik dan memiliki kemampuan untuk bernegosiasi.

Sedangkan untuk TK Indonesia, jangankan mengharapkan mereka yang bekerja sebagai PRT untuk menguasai bahasa inggris, pekerja profesional di Indonesia pun ada yang belum menguasai bahasa inggris.  Belum lagi mengharapkan TK Indonesia untuk menguasai penggunaan alat-alat elektronik yang bahkan belum tentu mereka miliki di rumah mereka di Indonesia, seperti microwave, penyedot debu, coffee-maker, mesin cuci, dll. Jika mereka masuk ke negara-negara Timur Tengah ini secara ilegal dan tanpa pelatihan dari badan penyalur tenaga kerja, sudah hampir dipastikan akan babak belur, karena dianggap tidak becus bekerja oleh majikan

Mengapa seorang majikan bisa sedemikian marah, sehingga memberikan hukuman kepada pembantunya (atau baginya, budak) dengan sedemikian kejam?? Menurutku, bisa jadi sang majikan merasa telah ‘berkorban’ terlalu banyak untuk memeperoleh seorang pembantu. Jika seorang warga ingin menyewa seorang pembantu, maka ia paling tidak harus mengeluarkan US$ 1000 untuk membayar penyedia jasa pembantu. Meskipun itu terbilang besar, perlu diketahui bahwa pendapatan per kapita warga di negara ini adalah hampir US$ 50,000. ( jadi apa yang perlu dikhawatirkan?! Aku yakin uang segitu dengan mudahnya mereka hambur-hamburkan buat shopping..). Setelah itu, mereka harus mengeluarkan gaji bagi pembantu mereka yang berkisar Rp 1,5 – 2,5 juta per bulan. Tapi tidak sedikit majikan yang ngga mau rugi, dengan tidak membayar gaji pembantu mereka di beberapa bulan pertama, sebagai ganti US$ 1000 yang mereka keluarkan. (Dasar pelit…). Itu pun masih terbilang ‘majikan becus’.karena yang ngga becus bisa sampai ngga mau membayar gaji si pembantu.

Kembali ke konsep pembantu yang disamakan dengan budak. Budak itu dibeli. Dan setelah mereka dibeli, maka mereka bebas diperlakukan semau majikannya – termasuk untuk dipukuli jika dianggap tidak becus bekerja. Masalahnya adalah mereka bukan hanya dipukuli, tapi ada juga yang diperkosa hingga menghasilkan anak. Ngga heran klo TKI wanita ada yang pulang dengan membawa anak dengan tampang peranakan, dengan hidung mancung, mata besar dengan garis tegas.. padahal ibu nya wong jowo abizz...( Apakah itu termasuk dalam hak majikan dalam memperlakukan budak??!)

Tapi harus diakui, kesejahteraan dari segi gaji dan fasilitas pemerintah memang menggiurkan, meyebabkan tiap tahunnya jumlah TKI yang datang ke Dubai bukannya berkurang, namun bertambah. Toh perlakuan buruk itu tidak dialami oleh semua TKI yang jadi pembantu. Jadi, berharap saja menjadi salah satu pembantu yang memperoleh majikan baik. Itu sebabnya banyak pembantu lebih senang mendapat majikan expatriate (seperti orang-orang Eropa yang tinggal di Dubai untuk bekerja). Para expatriate dinilai masih memberikan pembantunya hak-hak yang dibutuhkan, seperti cuti, jam istirahat (dan mungkin juga bayaran ekstra). Expatriate yang bekerja selaku orang kantoran/ professional pun juga cenderung tidak melakukan kekerasan fisik.

Dan bagaimana kalau dapat majikan yang penduduk local?? Tentu saja aku ngga bisa mengatakan semua ornag local memberi perlakuan buruk. Tetapi menurut lawan bicaraku ini, ada banyak contoh kasusnya. Sekarang, kalau membayangkan kasus TKI yang disetrika oleh majikannya, digunting mulutnya, bahkan sampai yang mayatnya dibuang ke tong sampah…hhiiiihhhhhh….ngeri rasanya… Sulit percaya ada orang yang hidup di jaman modern dengan terpenuhinya segala kebutuhan duniawinya, tetapi punya perilaku seperti orang di jaman bar-bar!

Aku mulai berpikir, dan mencoba memaklumi jika majikan mereka marah besar saat baju mereka yang mahal bolong saat disetrika, guci antic milik mereka pecah, makanan unuk dinner rasanya aneh, dsb -- tapi tentu saja tidak membenarkan tindakan penyiksaan sebagai akibat dari kecerobohan itu. Para tenaga kerja itu, mereka datang hanya karena mencari nafkah dan penghidupan yang lebih baik. Banyak dari mereka bahkan baru melihat bandara dan untuk pertama kalinya naik pesawat, ya..saat jadi TKI ini. Kebayang ngga kalau terjadi delay di pesawat saat sedang transit atau ada pengurusan prosedur yang ngga becus saat mereka tiba di suatu negara?! Aku ngga bisa bayangkan betapa bingungnya mereka (dan satu lagi, ngga semua dari mereka tau ada yang namanya kantor perwakilan negara seperti KBRI). Meskipun mereka tidak terdidik, mereka ngga cukup bodoh untuk dengan sengaja merusak perabot majikannya (ok…pembenaranku adalah mereka melakukan semuanya dengan tidak sengaja). Dan mohon dimaafkan kalau hingga saat ini Indonesia ngga sanggup untuk menafkahi anak bangsanya sendiri…

Mengantisipasi resiko menjadi PRT, itu sebabnya banyak juga pendatang yang mengadu nasib di Dubai yang lebih enjoy untuk datang dan membuka usaha sendiri. Jika ada modal, cukup penuhi syarat-syarat yang diajukan pemerintah, sebuah toko atau ruko pasti bisa dibuka. Kalau belum punya modal, bisa juga jadi penjaga toko di toko milik teman sebangsa…yang penting majikannya jangan warga setempat…(rasanya seperti dilanda pengalaman traumatic). Warga China cukup pintar dalam hal ini. Jadi di Dubai, kamu ngga gampang menemukan warga China, meskipun sebenarnya mereka banyak sekali. Tapi mereka justru terkumpul untuk bekerja di salah satu mall (yang bernama Dragon Mall), menguasai semua toko yang ada disana – baik yang punya toko, hingga penjaga toko, dan penjual makanan-minuman, semuanya adalah orang China.. Di satu sisi, mereka dapat keuntungan kepastian hukum untuk menjalani usaha di Dubai. Dan sisi lain,, mereka bisa feel like home..

Dubai: Warna-warni Pakaian


maaf tampak belakang...soalnya mereka 'rela' melapor ke polisi klo merasa tersinggung


Ada pribahasa berbunyi: “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”, yang artinya dimana pun kita berada, hendaknya tingkah laku dan kebiasaan harus menyesuaikan dengan adat-istiadat setempat. Sempat terpikir bahwa aku dan rekan-rekan akan kesulitan untuk menyesuaikan diri saat akan meliput di Timur Tengah. Alasannya? Banyak hal…karena ini adalah negara muslim, selain itu pemerintahannya alergi pada kebebasan pers, posisi wanita ada di nomor sekian dalam lapisan social, dan tentu saja ada kekhawatiran terhadap peraturan tata busana setempat yang sangat árabic dan tertutup’. Tapi saat kami transit di Dubai, UEA,  nampaknya kekhawatiranku itu memang berlebihan…

Aku dan Anne mencoba baju abaya...pantaskah?;)
O,ya...perlu diketahui bahwa penduduk di Dubai sangat beragam -- mulai dari penduduk asli, pengunjung dari negara-negara Teluk, orang-orang Eropa yang bekerja dan melancong, serta orang-orang Asia yang kebanyakan mengadu nasib untuk penghidupan yang lebih baik. Keberagaman penduduk ini tentu saja mempengaruhi tata busana sehari-hari *wink2;)

Dubai adalah salah satu kota di kawasan Timur Tengah dimana orang bebas berbusana apa pun -- mulai dari yang tertutup dari atas sampe ke bawah, hingga yang model terbuka dimana-mana. Namun kebanyakan pendatang dari sekitar Teluk sangat setia untuk berbusana abaya dan kandura. O, yeah…kayaknya ini memang harus diterangkan satu per satu..

ABAYA DAN KANDURA
abaya adalah pakaian tradisional untuk kaum wanita. Dan seperti yang sering terlihat di foto-foto dan televisi abaya memang hanya berwarna hitam dan bentuknya seperti daster -- memanjang dari atas hingga bawah --  hingga menutupi ujung jari kaki. Seringkali aku melihat sekelompok wanita, menggunakan abaya berjalan-jalan di mall, hingga ujung abaya nya menyapu lantai (aku bahkan heran mereka bisa berjalan tanpa abayanya terinjak oleh temannya).

kandura seperti ini lazim dipakai pria remaja hingga dewasa
Seiring dengan berkembangnya jaman, abaya sekarang dapat 'sentuhan modern' juga. Warna abaya tetaplah hitam, tapi sekarang sering disertai dengan jahitan manik-manik berwarna-warni di beberapa bagian -- terutama di bagian pergelangan tangan baju. Seringkali agar senada, burqa (penutup kepala)nya pun dibuat satu set dengan manik-manik yang serupa.

Nah…biasanya wanita cukup memakai burqa dan abaya. Tapi di beberapa daerah yang cukup ketat, wanita pun memakai gafaaz -- sarung tangan. Ini adalah untuk menutupi jemari wanita yang dianggap sebagai bagian aurat yang harus dijaga dan tidak boleh ditunjukkan ke sembarang orang (kesannya dapat mengundang nafsu priaL ). Tapi selama di Dubai aku merasa tidak pernah menemukan wanita memakainya.

Baiklahhhh…cukup untuk abaya. Sekarang untuk pria. Pakaian tradisional pria disebut kandura. Kalau pakaian wanita warnanya hanya hitam, kandura paling engga ada 3 warna, yaitu putih, coklat, dan abu-abu. Tapi yang sering digunakan di musim semi dan panas adalah warna putih
-- sedangkan abu-abu dan coklat biasanya digunakan di musim dingin.

Yang mengherankan aku adalah hampir tidak pernah terlihat pria di Dubai kanduranya kotor -- bahkan oleh sebercak tumpahan kopi, kena gores pulpen atau bekas lipstik pun ngga ada. Meskipun kota mereka bersih, bukankah keringat, asap knalpot kendaraan, dan debu pasir dari gurun pastinya harus mengenai baju mereka!??

Maka usut punya usut, kabarnya cowok-cowok pengguna kandura biasanya mengganti
bajunya beberapa kali dalam 1 hari untuk menghadiri acara-acara yang berbeda. Ini membuat aku menyimpulkan jika mereka pulang kerja dan akan jalan ke mall, mereka akan mengganti kandura, lalu jika habis itu akan ke mesjid, maka kanduranya diganti lagi. Katanya
sih…bukanlah hal yang mengherankan kalau seorang pria punya 50 atau lebih
kandura di lemarinya, bahkan bisa mencuci 20 potong kandura dalam sekali cuci!
*glekk…

Nahh…kalo sudah pake kandura, biasanya kepala mereka pun pake topi ghafiyah -- mirip topi orang Yahudi kalo doa atau topi orang muslim kalau sholat (ini bukan peci, lho..). Tapi ghafiyah biasanya ngga keliatan, karena ditutup dengan guthra -- sejenis kain besar penutup kepala pria (ingat fotonya Yaser Arafat, khan??!!).
Guthra ada macam-macam corak. Ada yang kayak punya Yaser Arafat -- dengan corak kotak-kotak merah-putih -- tapi umumnya orang-orang menggunakan yang warna putih polos. Dan
supaya guthra nya terikat kencang, maka ada semacam tali pengikat yang
melingkari kepala, yang disebut egal.

BERPAKAIAN DI KESEHARIAN DUBAI
Bisa dikatakan terlalu banyak pendatang di Dubai…dan terlalu beragam…dengan kebanggaan akan identitas mereka masing-masing. Pendatang dari Eropa cenderung menggunakan busana modern – mereka yang dalam perjalanan dinas nampak dalam balutan busana kantor yang casual maupun elegan,  yang berwisata ngga jauh berbeda dengan yang terlihat di Bali. Aku  pun dapat menemukan banyak wanita yang memakai kain sari, karena banyaknya pekerja asal India maupun Nepal disini. Jadi bisa bayangkan, kalo kamu sedang jalan di mall, semua orang-orang itu bercampur menjadi satu – dan kamu seperti sedang mengganti-ganti channel TV, kemudian melihat orang dengan busana, tipikal wajah dan tubuh serta ekspresi berbeda-beda yang muncul dalam hitungan sekian detik.

Dan meskipun sentuhan modern memasuki Dubai, tetap saja penduduk setempat yang bekerja di kantoran tetap memakai pakaian tradisional mereka. Memang sih..sudah ada kantor yang juga memaklumi jika pria dan wanita menggunakan jas/ blazer dan celana panjang, tapi tetap saja wanita nampaknya belum diperkenankan ke kantor dengan rok pendek -- biasanya mereka dengan rok panjang atau celana panjang. Di Abu Dhabi pun, suasana kantor masih agak lebih konservatif, demikian pula dengan pakaiannya. Setauku, ada 1 tempat bernama Sharjah (aku pun belum pernah kesana). Aku dengar disana peraturan cukup ketat. Bahkan pria pun disana dilarang menggunakan celana pendek! Sedangkan wanita, semuanya harus tertutup -- termasuk jari-jari -- kecuali mata…huff….Aku ngga berharap ada disana… Dan seperti yang kukatakan sepanjang tulisan ini, karena memang lazimnya didominasi warna hitam dan putih, maka kain hitam dan putih disini pun tidak akan pernah kehilangan pangsa pasar
J

Melihat sikap mereka yang konvensional tentang budaya berpakaian punya nilai tersendiri bagiku. Pastinya di masa lampau, menggunakan kostum seperti mereka itu menyiksa sekali (mungkin bagi mereka tidak, tetapi bagi orang-orag yang tidak terbiasa sepertiku, ya..). Tapi kini, Timur Tengah sudah dimanjakan oleh AC, jadi tidak masalah…O, ya…penggunaan abaya dan kandura mungkin adalah suatu kebanggaan. Justru para pendatang dan yang bukan warga negara teluk dilarang untuk menggunakan kostum ini (lihat bagaimana mereka membuat penggunaannya justru terkesan eksklusif)

MEMAKAI ABAYA BUKAN BERMAKNA RELIGIUS






Seperti yang kukatakan sebelumnya, menurutku unsur kebanggaan sebagai warga teluk lebih menonjol ketimbang unsur religius dalam penggunaan abaya dan seluruh perangkatnya. Berbeda dengan penggunaan jilbab, maupun hingga 1 set dengan baju panjangnya dan cadar, di Indonesia yang membuat seseorang lebih dituntut untuk soleh, di Dubai tidak ada ‘tekanan’ semacam itu. Contohnya saja, jika ada orang yang memaknai abaya digunakan hingga semata kaki dan longgar, untuk menutupi aurat dan tidak menonjolkan kemolekan tubuh wanita, maka awalnya pasti heran kalau melihat abaya di Dubai banyak yang dimodifikasi -- yaitu dengan belahan rok memanjang di depan.

Pernah suatu kali aku terkejut, karena melihat seorang wanita menggunakan abaya dengan rok
berbelah, dan kau tau apa yang menyembul di balik abayanya……..celana ketat warna
emas mengkilat! (aku rasa dibandingkan melihat seorang wanita dengan celana
pendek, pemandangan itu lebih menarik perhatian pria…Jadi kau bisa lihat, itu malah seperti ajang “pamer aurat”). Aku juga melihat beberapa remaja dan wanita menggunakan abaya dengan celana jeans skinny menyembul di balik kain yang ia kenakan. Dan yang lebih unik lagi – wanita-wanita ini pun turut memenuhi pusat perbelanjaan pakaian seperti Zara, H&M, Mark&Spencer, Oysho, dkk serta tertarik untuk mencoba gaun-gaun mini dan mencari tank top! Jadi bisa diduga hadirnya butik Victoria secret, Lingerie, Adidas, Reebok, bahkan berbagai produk yang ada di fashion TV, bukan hanya untuk menarik minat beli turis yang singgah disini, tetapi juga untuk para penduduk setempat. Aku ngga tau apakah mereka membelinya hanya untuk ‘fashion show’ di rumah atau menggunakannya di balik abaya mereka. Yang jelas, adalah hal yang wajar pula jika melihat wanita-wanita dengan abaya menenteng tas LV, Hermes, dan tas blink-blink lainnya serta menggunakan high-heels dengan warna senada. Jadi, untuk Dubai, penggunaan abaya dan perangkatnya yang hanya 1 warna pun tidak diidentikkan dengan kesederhanaan.

Jika malam hari sedang nongkrong di café-cafe, kamu bahkan bisa menemukan wanita-wanita
ini pun cekikikan bercerita sambil menghisap shisha -- sejenis rokok dengan pipa
besar yang menggunakan jenis rasa tertentu dan dibakar dengan arang. Jadi memang
pakaian tidak bisa digunakan sebagai takaran penilaian seperti yang sebelumnya
digunakan. Lagi-lagi, aku tekankan ini bukan bentuk judgement, lho… aku hanya mau menunjukkan adanya pemaknaan yang berbeda dengan yang aku (dan sebagian orang Indonesia) terima selama ini… apakah penyebabnya? Entahlah…  Mungkin giliranmu untuk memberitahu jawabannya….



P.S: o, ya…sebagai tambahan,  ada satu hal yang lucu. Di beberapa mall dan tempat umum, kamu akan menemukan himbauan yang tertulis di layar LCD atau papan agar pengunjung diharapkan berpakaian sopan -- disertai gambar baju wanita terusan. LOL:D!!! Himbauan yang nyaris ngga berfungsi...... ƪ(ˇ_ˇ'!)

O, ya…lagi-lagi aku ada catatan menarik…selain ada papan yang menunjukkan aturan berbusana, ada juga peringatan larangan merokok dalam mall. Di bawah gambar rokoknya ada tulisan “serial killer”, hahahahahahahahahahahaha………..

Dubai: Dancing Fountain


Pernah melihat dancing fountain?? Beberapa mall di Indonesia mulai membuat hiburan dancing fountain. Bahkan di tempat hiburan Pulau Sentosa, Singapore, ada dancing fountain. Tetapi semuanya terlihat tidak berarti jika dibandingkan dengan dancing fountain nya Dubai Mall….asli…
 Nyaris ngga ada 1 pun pengunjung yang mau melewatkan pertunjukan dancing fountain – termasuk aku. Paling engga mereka harus menyaksikannya sekali… dan setelah nonton sekali, maka jadi penasaran dan ketagihan, kemudian menunggu pertunjukkan dancing fountain berikutnya. Dalam 1 hari paling engga ada 9 kali pertunjukkan dancing fountain, dimulai pukul 6 sore, dan selanjutnya pertunjukan akan selalu ada setiap 30 menit – hingga yang terakhir jam 10 malam.

Satu kali pertunjukan dancing fountain durasinya kurang lebih 3-5 menit – tergantung lagu yang dimainkan. Ada lagu barat, ada juga alunan lagu Timur Tengah. Salah satu lagu barat yang ku tau dimainkan di performance dancing fountain adalah “The Prayer”yang dinyanyikan Celine Dion dan Bochelli. Tapi menurutku goyangan dancing fountain akan terkesan lebih gemulai dan seksi jika mengikuti irama lagu Timur Tengah (mungkin karena orang Timur Tengah nyanyi ada ‘çengkok-cengkok’nya – kayak lagu dangdut).

klo semburannya aja sebesar itu, bisa bayangkan pertunjukannya seperti apa??!!
Pertama kali aku melihatnya, aku benar-benar terpesona. Bagaimana mungkin ada orang yang benar-benar mau bersusah payah untuk menyesuaikan gerakan dan tekanan air dengan irama beberapa lagu!!! (orang yang mu membuatnya untuk 1 lagu saja sudah kuacungi 2 jempol!). Aku tidak tahu apakah orang yang bekerja di balik ini adalah musisi, tekhnisi atau apa… Yang jelas mba Shinta, salah satu warga Indonesia yang bekerja disini, pernah cerita bahwa perancangnya adalah orang-orang dari Jerman dan mereka sempat menginap di hotel Al-Manzil. Yang lebih menarik lagi, si dancing fountain dibuat 1 paket dengan si Burj Khalifa. Jadi setiap pertunjukan dancing fountain dimulai, maka Burj Khalifa juga akan mengeluarkan cahaya kedap-kedip seakan ikut menikmati alunan music bersama. Bangunan beton yang tingginya hampir 1km yang awalnya terlihat kokoh itu kemudian jadi terlihat genit, hihihihihihihi……..

Pernah suatu kali aku bersikukuh untuk merekam 3 pertunjukan dancing fountain dalam 1 hari. Jadi aku, Yudi, dan Timmy menunggu cukup lama sambil nongkrong di café bersama Mas Mulyana dan mba Shinta yang kami buat geleng-geleng kepala melihat antusiasme kami terhadap hal-hal yang ngga bisa kami dapati di Jakarta..

Tapi memang merekamnya tidak semudah bayanganku. Pertama, aku harus berkompromi dengan ipod yang resolusi cahayanya kurang bagus untuk merekam di tempat yang kurang cahaya – sedangkan pertunjukan dancing fountain bergulir seiring larutnya malam. Kedua, penontonnya banyak bangetttss! jadi beberapa saat sebelum pertunjukan dimulai, kita harus sudah booking spot untuk merekam dan menunggu disana – takut-akut tempatnya diambil orang. Itu pun tetep beresiko gambar ‘bocor’muka atau tangan orang lain yang ada di depan atau kanan-kiri kita yang sedang melakukan aktivitas yang sama. :( Dan akhirnya, aku berhasil merekam beberapa pertunjukan dancing fountain dengan banyak ‘kebocoran’—termasuk jari ku sendiri yang beberapa kali menutupi lensa, hehehehehe….

P.S: aku sedang berusaha mengupload videonya....tapi sulit sekali...mungkin untuk sementara digantikan foto:p

Sunday, October 7, 2012

Bahrain: Berkunjung ke Muharraq

gahwa

Liputan kami di Bahrain sudah usai. Kami akan segera meninggalkan tempat ini…saying sekali. Sebenarnya aku tertarik untuk membuat beberapa liputan soft news. Namun karena ijin kami sudah habis (dan pengawasan di berbagai tempat masih super ketat), akhirnya aku mengurungkan niatku.

halwa yang berwarna-warni
Sebelum kami pulang, Suheir mengajak kami untuk mengunjungi salah satu kota tua di Bahrain -- namanya Muharraq. Ini adalah ibukota Bahrain di masa lampau. Nampaknya pemerintah setempat berketetapan untuk menjaga nilai-nilai tradisional yang ada di kota itu, sehingga ada banyak bangunan dan tempat pertemuan yang tidak dirombak dan dibiarkan dalam wujud aslinya -- berbeda dengan Manama yang sudah dihiasi oleh gedung-gedung bertingkat dan banyak café-cafe bergaya barat.

Kami menyempatkan diri ke gedung pertemuan kaum lelaki disana. Katanya dulu para lelaki suka berkumpul untuk berbincang-bincang (aku rasa juga bergosip) sambil memainkan pemainan tradisional, seperti karambol dan dam. Tempat itu sangat populer, terutama saat menunggu waktu berbuka puasa. (aku mulai sedikit memahami, kenapa ibu-ibu memang bisa memilih untuk berkumpul dan bergosip dirumah-rumah saja:p)

Di Muharraq kami juga mencicipi makanan tradisional Bahrain. Kami makan snack yang namanya hamour. Bentuknya segitiga kecil dengan irirsan daging ikan di dalamnya. Ada dalam versi goreng, panggang, dan kukus. Terus ada juga semacam jelly manis yang namanya halwa showaiter. Halwa ini hanya wujudnya yang seperti jelly, tetapi lembeknya agak kayak dodol. Biasanya di atas halwa bisa ada toping, seperti irisan kacang atau daun. Menurut Suheir, halwa biasanya disajikan sambil minum teh. Namun karena toko tempat kami mencicipi snack-snack itu ngga menyediakan teh, maka kami menggantinya dengan minum kopi setempat yang namanya gahwa. Suheir sempat menegur pemilik toko itu mengapa tidak menyediakan teh (aku, Yudi, dan Timmy jadi merasa ngga enak, dan pura-pura ngga tau…). Mencicipi gahwa ternyata membutuhkan erjuangan tersendiri. Rasa kopinya nnga enak (mendingan kopi kapal api, jelas lebih enak…). Meskipun aku ngga menghabiskannya, tapi setidaknya memberi kesempatan untuk mencicipi.

Sambil mencicipi makanan, kami sempat mengitari pasar tradisional di Muharraq yang sedikit banyak mirip pasar di Indonesia. (bahkan bisa kukatakan kayak pasar klandasan di Balikpapan). Bedanya adalah pasar di Muharraq lebih bersih. Di jalan-jalannya ngga ada tanah, lumpur, dan sampah. Semuanya kering dan bersih.

Sebagai penutup perjalanan sebelum aku, Timmy, dan Yudi diantar ke bandara, Suheir megajak kami makan kue kentang dengan bumbu kari yang sangat banyak. (kami sampai bingung bagaimana cara menghabiskannya..(_ _?) ). Bagaimanapunn juga, Suheir benar-benar sangat
baik. Bahkan ia  membelikan kami beberapa kripik khas Bahrain sebagai camilan kami.
Sebelum berpisah, tak lupa ia mengingatkan agar selalu mengingat Bahrain. Dan, terus
terang saja, aku salut pada diri Suheir secara pribadi -- bagaimana ia mencintai negaranya

dan mengenal apa yang ada disana. Ini mengenyampingkan penilaian awalku tentang dirinya (pastinya kau ingat bagaimana pandangan awalku terhadapnya…). Betapa beruntungnya negara yang memiliki penduduk yang mencintai negerinya seperti Suheir...
permainan kaum pria di muharraq




Bahrain: Some Facts ‘bout Bahrain



Selama beberapa hari di Bahrain membuatku memahami beberapa hal mengenai negara kecil di daerah Teluk Persia ini. Membuatku menarik kesimpulan sementara bahwa apa yang kulihat di media-media asing tentang kerusuhan yang terjadi di tempat ini hanyalah beberapa potongan kecil dari puzzle besar yang bisa menjelaskan situasi yang terjadi.

Aku akan mencoba menjelaskannya secara runtut dengan gayaku sendiri...

1# Bahrain adalah negara yang kecil, seperti Singapura. Jadi goncangan kecil apapun yang dialami akan berdampak signifikan bagi bidang-bidang lainnya. Contohnya saja demonstrasi yang berujung kematian seperti kemarin. Publikasinya secara besar-besaran sangat berpengaruh pada perbankan dan pariwisata negara tersebut.

2# Bahrain ngga seperti negara-negara Timur Tengah pada umumnya yang memiliki minyak dalam jumlah besar. Oleh karena itulah mereka menggantungkan penghasilan lebih pada sektor layanan perbankan keuangan negara-negara Teluk dan pariwisata.

3# Bahrain katanya suka disebut "bar". Karena memang inilah tempat nongkrong orang-orang kaya Timur Tengah kala weekend. Perumpamaannya sering seperti ini: wanita di tangan kanan, minuman di tangan kiri. Kebanyakan turis berasal dari Arab Saudi. Makanya, di Bahrain pun banyak mall karena menjadi sasaran para turis yang datang

4# Meskipun agamanya islam, tetapi ada pembagian sunni dan syiah. Ngga  heran klo ada wilayah-wilayah tertentu yang banyak ditinggali orang-orang sunni dan ada juga wilayah-wilayah tertentu yang ditinggali orang syiah. Aliran sunni mirip dengan islam yang ada di indonesia saat ini, sedangkan syiah lebih berkiblat ke islam di Iran.

5# Orang di TimTeng, selain menghormati pemimpin negara, juga menghormati pemimpin/ tokoh agama. Oleh karena itu agak mengherankan juga kalau masuk suatu rumah orang syiah, justru memajang foto pemimping tokoh dari Lebanon atau Iran. Aku rasa itu sama seperti keanehan melihat foto Mahatir Muhammad dipajang di rumah salah satu tetanggaku di Balikpapan.

6# Ada yang percaya bahwa bentrokan di Bahrain bukan masalah sunni-syiah. Tapi karena masyarakat sedang 'diarahkan' oleh frame politik Iran. Aku hampir 100%  setuju. Sekedar info, Iran adalah negara tetangga Bahrain yang mayoritas syiah, dan pemimpinnya pun orang syiah

7# Kerusuhan banyak terjadi di beberapa wilayah yang banyak penduduk syiah -- bahkan jauh sebelum kerusuhan 14 februari pecah. Ini sudah menjadi agenda mingguan, seperti seringnya aksi demo di Makassar.

8# Ngga semua syiah miskin atau jadi golongan bawah. Wakil PM di Bahrain adalah golongan syiah. Tiga menteri mereka juga syiah. Dan masih banyak pengusaha-pengusaha syiah. Bahkan dekat dengan posisi KBRI di Bahrain adalah daerah tempat tinggal orang-orang kaya syiah.

9# Jika banyak yang bilang pucuk pimpinan dipegang oleh warga Sunni, itu adalah karena mereka adalah kerabat raja, bukan karena mereka aliran sunni. Dan secara mereka itu keluarga, wajar aja kalau alirannya sama. Bukankah di Indonesia pun kecendrungannya satu keluarga akan menganut agama/ aliran yang sama??!! Dan mengapa keluarga raja banyak dapat jabatan di pemerintahan?? Halooo…ini negara dengan system monarkhi….

10# Para pemrotes pemerintah katanya juga didukung partai yang ada orang sunni nya, selain mereka didukung oleh partai Al-wefaq (tapi nama partainya aku ngga tau)

11# Apa sebenarnya tuntutan rakyat Bahrain? Meminta PM mereka turun, dan bukan seluruh keluarga khalifa. Tapi kenapa harus PM Khalifa yang turun? Menurut mereka alasannya adalah karena dia sudah bertahta terlalu lama:40 tahun

12# Beberapa orang pro-pemerintah percaya rakyat dikendalikan untuk minta PM turun sebagai permulaan. Tpapi kelak jika PM berhasil jatuh, maka seluruh keluarga khalifa akan menyusul ditumbangkan. selanjutnya yg diperkirakan terjadi: chaos 

12# Gagalnya pelaksanaan kejuaraan balap di sirkuit Bahrain sangat merugikan negara kepulauan ini. Kabarnya bahkan ada investor yg menarik dana keluar dari negara ini karena masalah dalam negeri Bahrain. Bukan hanya itu, turis-turis yang biasanya datang pada weekend pun menurun drastis. Mall-mall dan hotel akhirnya kosong melompong

13# Rakyat Bahrain sangat terdidik, sebag imbas dari pendidikan gratis sampai SMA. Rata-rata mereka lulus S1. Itu sebabnya nyaris ngga ada warga negara asli yang mau mengerjakan 'pekerjaan rendah' di Bahrain – tidak sampai pukulan krisis moneter terjadi pada akhir 2008.

14# Sebelum krisis ekonomi terjadi, Bahrain mirip dengan Dubai dalam hal mengímpor’ buruh dan pegawai untuk pekerjaan ‘rendah’. Maka kamu bisa menemukan orang Filiphina, Indonesia, Pakistan, dan India menjadi pegawai di restaurant dan hotel di Bahrain, atau menjadi buruh bangunan, supir, dan pembantu rumah tangga.

15# Begitu tingginya kompetisi untuk memperoleh lapangan pekerjaan di Bahrain, karena minimnya lapangan pekerjaan dan tingginya lulusan tenaga kerja professional dan terampil yang berasal dari warga local. Akhirnya daya saing pun semakin ketat. Banyak warga setelah lulus SMA memilih untuk sekolah di universitas luar negeri untuk menaikkan daya tawar dalam kompetisi bursa tenaga kerja.

16# Tetep selalu ada yang kalah saing dalam kompetisi itu. Dan berhubung merea pun ngga rela untuk bekerja sebagai supir, buruh bangunan, penjaga toko (apalagi PRT), akhirnya banyak juga yang mengadu nasib ke luar negeri.

17# Sejak krisis 2008, begitu beratnya pukulan ekonomi bagi Bahrain, akhirnya ada warga local yang di-PHK, dan mau tidak mau, akhirnya berpartisipasi dalam pekerjaan-pekerjaan yang sebelumnya tidak disentuh oleh warga local. Yang bersikukuh tidak mau (dan juga ngga berani mengadu nasib di luar negeri) akhirnya menambah jumlah pengangguran di Bahrain.

18# Seperti yang kukatakan sebelumnya, demo dan rusuh sudah biasa terjadi di Bahrain, bahkan sebelum perisiwa “14 Februari” terjadi. Menurut warga pendatang yang telah tinggal di Bahrain cukup lama, setiap minggunya paling tidak selalu ada berita mengenai hal itu di koran nasional. Korban pun berjatuhan, bukan hanya dari warga di tempat kerusuhan, tetapi juka dari petugas polisi yang patroli di area setempat.

19# Atas nama HAM dan kemanusiaan, warga meminta pemerintah setempat untuk mengusut aparat yang membunuh warga. Namun d lain pihak, warga tidak rela apabila ada warga yang ditahan akibat tuduhan membunuh petugas kepolisian yang bertugas di distrik setempat.





20# Berhubung Bahrain sangat bergantung pada sektor pariwisata, setidaknya di awal tahun mereka memperoleh ‘dua pukulan’di sector tersebut: batalnya F1 musim pembuka dan gagalnya perayaan valentine (percaya atau tidak, negara ini sangat diuntungkan dengan keberadaan perayaan valentine..). Bisa dibayangkan usaha apa saja yang merugi akibat hal tersebut: perhotelan, catering, penerbangan, penyewaan mobil, jasa tour-guide, bisnis cendramata, dan mungkin masih ada lagi…

Pastinya masih banyak fakta maupun pendapat yang muncul ke permukaan, karena aku ngga lama tinggal di Bahrain. Tapi paling engga ini memberikan aku sedikit gambaran bahwa terlalu “sempit”sekali pemikiran yang melihat konflik di negara ini sebatas kepentingan “Sunni vs Syiah”. Well, mungkin di tingkat kepentingan internasional memang demikian, namun aku percaya dokrin “Sunni-Syiah” itu hanyalah sebagai alat politik dan bukan menjadi tujuan yang sebenarnya. Sayangnya, demi kepentingan tersebut, rakyat yang mempercayai jargon “sunnni vs syiah”selalu menjadi korban…

Bahrain: Sirkuit yang Kosong


Aku memang tidak memiliki ketertarikan terhadap dunia balap mobil atau motor, sehingga saat mendengar ide peliputan selanjutnya adalah ke sirkuit grand prix Bahrain, aku hanya memandangnya sekilas lalu. Tapi Yudi dan Timmy terlihat sangat bersemangat. Ok, boys…this is your toy…

Sirkut Bahrain sering juga disebut sirkuit Sakhir, karena terletak di gurun Sakhir -- sebelah tenggara Bahrain. perjalanan menuju ke tempat itu cukup jauh, sekitar 30-45 menit perjalanan darat -- dengan kecepatan tidak kurang dari 110 km/jam. Sirkuit Bahrain adalah satu-satunya sirkuit balap yang ada di Timur Tengah. Resmi berdiri pada tahun 2004, atas ide putra mahkota Bharain, Shaikh Salman bin Hamad Al Khalifa (sungguh memiliki visi…salut..). Kabarnya, Bahrain emang jor-jor an pas ngebangun sirkuit ini.Ngga heran klo sirkuit megah di tengah padang pasir yang awalnya mustahil dapat berdiri dalam hitungan bulan saja! (seingatku pembangunan apartemen di daerah Puri masih dikerjakan, mulai dari pertama kali aku masuk Metro TV hingga hari ini!). Tentunya dengan biaya yang ngga sedikit -- US$ 150 juta (hanya untuk konstruksinya saja!) Bahkan arsiteknya pun langsung ambil dari Jerman, Hermann Tilke -- dia juga lah yang merancang sirkuit Sepang di Malaysia.
Timmy menjadi produser hari ini
Biasanya setiap musim semi -- diperkirakan di awal Maret -- akan berlangsung pertandingan kelas internasional untuk musim pembuka di sirkuit Bahrain. Jadi bisa dipastikan sektor apa saja yang turut diuntungkan dengan hadirnya acara tahunan tersebut -- mulai dari bisnis kaos, cendramata, perhotelan, catering, tempat wisata, hingga penyewaan kendaraan setempat (jangan lupa resto, cafe, tempat pijat, dan mall yang turut diuntungkan karenanya). Bisa kubayangkan,
pusat kota Manama dan daerah pinggir pantai akan dipenuhi para turis, café-cafe penuh, mall-mall disesaki wanita-wanita yang berlalu lalang dengan banyak kantong kertas berisi baju dan asesoris. Pastinya menjadi pemasukan yang menggiurkan untuk negara sekecil Bahrain…


entah apa maksud pose ini, ttp aku suka^^
Kembali ke Timmy dan Yudi, mereka ngga henti-hentinya mengagumi megahnya sirkuit tersebut. Dan harus aku akui…sangat megah. Namun nampaknya ketertarikanku kalah dibandingkan bagaimana patner-patner pria ku ini mengaguminya. Apalagi saat panitia setempat mengajak kami untuk mengambil gambar dari dalam mobil yang melaju mengelilingi sirkuit, Yudi nampak mengambil gambar dengan sangat antusias, meskipun di mataku yang awam ini bangunan megah tersebut tak lebih dari sebuah arena balap yang kosong tanpa pengunjung.

 “Lori…kau adalah reporter wanita pertama yang sampai ke sirkuit ini”, kata Yudi mengingatkan betapa beruntungnya aku. Ok, Yud…sayangnya para umbrella-girl  pastinya sudah berkali-kali mendahului aku ke tempat ini…



taping bersama Yudi untuk berita sirkuit Bahrain
Aku tidak tau seberapa besar kompetisi balap di awal tahun ini menyumbangkan dana bagi pendapatan negara Bahrain -- tapi aku yakin jumlahnya pasti sangat besar. Dan lihatlah sekarang akibat dari demonstrasi yang terjadi sejak pertengahan bulan Februari tersebut bagi negara ini…….semua peluang itu hilang. Tidak hanya itu, yang aku tau, setiap minggunya -- terutama di Kamis sore hingga Sabtu siang -- Bahrain selalu ramai oleh kunjungan turis dari negara-negara Teluk (mungkin bisa kita umpamakan seperti Singapura bagi negara-negara di Asia Tenggara). Namun tidak ada keramaian yang kutemukan selama di Baharain -- tidak di kota, tidak pula di pantai atau pasar. Semuanya berubah sejak terjadinya unjuk rasa di Pearl Square…dan masyarakat Bahrain mengaku menyadari adanya perubahan situasi tersebut. Satu kalimat terlintas di pikiranku mengenai hal tersebut,"Ini patut disayangkan…"



Bahrain: Berkunjung ke Benteng



museum informasi untuk Benteng Bahrain
Di negara sekecil Bahrain, ternyata mereka memiliki situs sejarah yang bernilai – setidaknya demikian menurut dunia, sehingga digolongkan dalam Situs warisan Dunia UNESCO. Seusai liputan, kami pun menyempatkan untuk mampir ke Qal'at al Bahrain, atau yang sering dikenal dengan sebutan Benteng Bahrain.

Saat kami datang, museum yang menjadi pusat penerangan untuk benteng tersebut sudah tutup. Aku rasa karena kami datang menjelang senja. Tapi itu tidak menghalangi kami untuk berkeliling – atau setidaknya mengambil beberapa gambar sudut benteng. Toh supir kami, Jafar, sudah berbaik hati mengantarkan kami ke tempat ini.

sisa reruntuhan peradaban Dilmun
Lokasi benteng Bahrain sebenarnya diperkirakan telah diduduki warga sipil sekitar pada abad ke-4 SM. Mereka percaya lokasi itu merupakan tempat munculnya peradaban Dilmun. Di sekitar benteng utama, ditemukan jalan, struktur perumahan dan monumen dari 2300 SM, yang dikelilingi oleh dinding pelindung. Sayangnya, semua sudah tidak beraturan dan pecah-pecah. Menurut info dari wikipedia, sebenarnya hanya se-perempat bagian saja dari situs yang berhasil ditemukan – mungkin karena sempat tidak terawatt sekian lama dan karena tantangan cuaca.

bersama Timmy dan Yudi di Benteng Bahrain
Kami segera berjalan memasuki benteng utama. Ada pintu-pintu yang terkunci, tapi da juga yang terbuka. Bagian benteng yang terbuka di tengahnya sangat lapang, dengan beberapa tangga tanpa sisi pegangan yang menempel ke dinding. Pada abad ke-16 Portugis lah yang telah  datang dan membangun benteng ini. Bahkan menurut catatan sejarah, di bawah kekuasaan Portugis, benteng ini menjadi instalasi militer penting untuk melindungi rute perdagangan dari Afrika, India dan Eropa. Namun aku sendiri kurang mengetahui apa yang menyebabkan akhirnya benteng ini kehilangan masa kejayaannya, sehinga perlahan-lahan ditinggalkan. Paling tidak, benteng tersebut diperkirakan masih berfungsi hingga abad ke-18.

mungkin inilah gambaran kehidupan masa itu
Hari beranjak senja. Kami pun hanya memperoleh beberapa gambar untuk dokumentasi pribadi. Jafar nampaknya cukup geli dan terhibur melihat tingkah laku kami saat berpose bodoh untuk foto-foto kami. Yahh…aku rasa memang tidak banyak yang bias kau lakukan untuk menghibur diri sendiri jika kau berada di negara yang sedang sendu karena krisis nasional, khan…




Benteng Bahrain di kala senja


foto: Timothy, Wahyudi, Lori



Tuesday, October 2, 2012

Bahrain: kisah Jafar


Kali ini aku mau cerita tentang supir yang setia mengantar kami selama di Bahrain. Aku rasa dengan sedikit mengetahui pengalaman hidupnya, kau akan tau sudut pandang salah satu warga Bahrain mengenai negaranya. Namanya Jafar. Dia adalah penduduk asli Bahrain. Dari golongan, ia adalah penganut syiah.

Seingatku aku pernah menceritakan padamu bahwa Jafar adalah mantan pegawai bank (atau tidak pernah, ya???). Ya, ia pernah kerja di bank selama 22 tahun. Namun suatu hari di akhir tahun 2008, sesuatu yang tidak diduga terjadi. Ia dan puluhan (aku ngga tau apakah itu mencapai ratusan atau tidak) temannya yang lain dipanggil oleh atasannya. Kemudian diumumkan,
 "mulai besok, Anda tidak dapat bekerja lagi disini".

Mereka yang dipanggil sangat shock, lalu menangis. Itu bukan lelucon, dan memang nampak sebagai petaka bagi mereka pada hari itu. Krisis ekonomi yang terjadi di AS akhir tahun itu ternyata turut memukul perbankan di Bahrain, sehingga harus mengadakan perampingan jumlah karyawan. Jafar termasuk di dalamnya -- meskipun ia sudah mengabdi lebih dari 2 dasawarsa di perusahaan tersebut.

Tentunya hal tersebut sangat sulit diterima oleh Jafar. Bagaimana mungkin pemutusan hubungan kerja bahkan tidak memberi kesempatan waktu setidaknya 2 minggu hingga 1 bulan untuk mencari pekerjaan baru??!! Saat ia pulang dan menceritakan hal tersebut pada istrinya, istrinya sangat shock. Namun akhirnya mereka berusaha menghadapinya. Berbekal uang pensiun 22 ribu dinar (1 tahun pengabdiannya dihargai 1000 dinar), ia melunasi angsuran rumahnya dan membeli sebuah mobil GMC. Mobil itulah yang ia jadikan modal untuk menawarkan diri sebagai supir bagi turis dan pendatang (catatan: bahasa inggris memang selalu menjadi modal penting dimana pun kau berada…bahkan sebagai supir). Namun jika tamunya dalam jumlah 2-4 orang, ia akan menggunakan mobil sedan ford nya untuk mengantar keliling kota.

Kami pernah suatu kali mampir ke rumahnya (sehabis liputan sirkuit Bahrain). Aku, Yudi, dan Timmy sungguh ngga menduga rumahnya besar dan bertingkat – meskipun sedari awal kami tau bahwa rata-rata warga di Bahrain hidup di atas standar miskin internasional. Penampilan rumah itu pun elegan. Saat masuk ke dalamnya, tercium bau wewangian seperti rempah – terakhir kali aku mencium aroma therapy seperti ini di spa-spa dan hotel. Nampaknya, demikianlah lazimnya rumah orang-orang di Timur Tengah (mengingat aku banyak melihat toko-toko di Dubai pun banyak menjual aroma therapy sebagai perlengkapan rumah tangga) . Ada pajangan piala dan beberapa medali kejuaraan sepakbola. Kata Jafar, semua itu ia peroleh dalam pertandingan antar sesama pegawai perbankan -- dulu.

Pernah suatu kali Jafar menunjukkan kami apartemen subsidi yang diberikan oleh pemerintah Bahrain. Menurutku, apartemen itu bagus dan layak huni. Tapi ternyata tidak bagi Jafar. Baginya, lebih enak punya rumah, karena kita dapat merancang bentuknya dan membongkarnya di kala kita menginginkan suatu perubahan. Sedangkan apartemen tidak akan pernah menjadi milik kita dan tidak dapat dimodifikasi sewaktu-waktu. Terus-terang saja, aku dan teman-teman hanya tersenyum simpul. Kami tau yang Jafar katakan adalah benar. Namun bagi kami warga Indonesia, mendapatkan perumahan dengan subsidi tinggi, meskipun rumahnya hanya untuk tempat sewa, sudah menjadi suatu anugrah yang ngga akan dilewatkan..

Jafar pun pernah cerita, meskipun biaya kesehatan di Bahrain gratis, ia pernah mengalami kekecewaan dalam pelayanan kesehatan. Pasalnya, ayahnya meninggal karena gagal jantung – saat operasi ayahnya, terjadi kecerobohan medis yang menyebabkan terjadi pendarahan di dalam. Pendarahan baru diketahui 1 jam kemudian, dan ayahnya tidak terselamatkan. Seluruh keluarga Jafar saat itu sangat shock dan sedih, karena sehari sebelumnya ayah mereka nampak sehat dan mereka tertawa bersama hingga malam hari.
They killed him”, katanya
Dan meskipun Jafar tidak menyampaikan secara gambalang, dari kata-katanya seakan tersirat bahwa tidak ada hal yang dapat mereka tuntut, karena mereka orang Syiah. Dan tidak ada hal yang membuat para medis takut atau berusaha bertanggung jawab, karena pasien itu bukan Sunni. Apakah benar seperti itu yang terjadi? Entahlah….

Kembali ke kunjungan kami di rumah Jafar. Saat kunjungan ke rumahnya itulah, ia memutar channel TV al-Alam. Ini adalah stasiun TV yang kantornya berpusat di Lebanon. TV itu menunjukkan protes dan doa bersama yang terjadi di beberapa kota lain di Bahrain terkait dengan kematian beberapa demonstran sejak peristiwa 14 februari lalu. Ya..Jafar termasuk mereka yang berharap PM Bahrain segera diturunkan dan diganti dengan yang baru. Aku tidak tau pasti apa yang melatari Jafar mendukung para demonstran – apakah latar belakangnya yang Syiah, apakah kekecewaan terhadap manajemen pemerintah yang tidak mampu mencegah PHK saat krisis, apakah membenci PM Khalifa yang otoriter, pengalaman dengan pihak RS yang terjadi dalam penanganan operasi ayahnya yang tidak bisa dituntut, atau sebab-sebab lain? Kau tahu di saat-saat seperti saat itu, betapa sulitnya menunjukkan sebagai apa kau harus bersikap -- sebagai teman, sebagai wartawan, atau sebagai orang luar.... Aku kesulitan untuk memilih…

 N.B: maaf...ngga ada fotonya Jafar...:(

Bahrain: so...what is Democracy??


Di suatu hari peliputan kami di Bahrain, kami mewawancarai pemred salah satu koran nasional di Bahrain --Gulf Daily News. Setidaknya ini akan memberikan sudut pandang jurnalis yang mencoba ‘think out the box’ atas situasi nasional yang terjadi. Meskipun demikian, aku, Timmy, dan Yudi sudah cukup mengerti bahwa narsum kami yang satu ini tidak akan 'netral'. Kami yang wartawan di negara yang menjunjung tinggi kebebasan pers pun mengakui tidak bisa netral dalam hal-hal tertentu, apalagi pers di negara yang kendali pemerintahnya kuat seperti ini...
bus di depan kantor Gulf daily News

Kami diantar oleh mobil sewaan  kami selama di Bahrain. Supir kami, Jafar, mengantar kami pagi ini ke kantor berita Gulf News yang hingga saat ini pun tidak kuketahui letaknya di sudut mana Bahrain =p (aku harusnya lebih peka untuk mengetahui nama wilayah…(_ _) )

Pertama kali bertemu dengan Mr. Abdulrahman, kesan smart memang nampak dalam dirinya. Dan selaku pewawancara, pertanyaan pertama yang diajukan Timmy adalah,
"Berbagai media menyebut konflik yang terjadi di Bahrain adalah antara kalangan
Sunni vs Syiah. bagimana pandangan Anda?"
Dan dengan tegas ia menjawab,
"Tidak. ini bukan konflik Sunni-Syiah…"


salah satu cover Gulf daily News
Pertanyaan demi pertanyaan bergulir dengan jawaban demi jawaban yang memberikan aku sudut pandang baru tentang Bahrain -- sungguh berbeda dan lebih mendalam ketimbang apa yang diberitakan oleh media online yang aku baca selama ini.

Semuanya bermula dari 1 pemahaman mengenai kata "demokrasi". Sejak tahun 1990, saat Uni Soviet runtuh, banyak orang mengagung-agungkan penjunjungan sistem ini. semua negara, suka atau tidak, mengaku menganut sistem demokrasi -- bahkan Korea Utara pun menyebut dirinya berdemokrasi! Tapi, tentu saja, demokrasi yang berjalan di setiap negara ngga ada yang persis sama dengan yang berlangsung di negara pendorong demokrasi tersebut agar berlaku di seluruh dunia, Amerika Serikat.

Hal yang sangat kentara dalam demokrasi adalah penjunjungan hak asasi manusia, kesetaraan bagi warga negara, sistem pemilihan umum, dan hak berekspresi/ berpendapat di muka umum. Ap
Anwar M Abdulrahman
likasinya sendiri terjadi dengan berbagai acara.

Nahh…kembali ke topik unjuk rasa di Bahrain yang berujung dengan jatuhnya korban jiwa, menurut Abdulrahman, bukanlah wujud massa yang berdemokrasi.
"Bagaimana mungkin mereka menyebut demokrasi jika mengekspresikannya dengan
cara-cara yang anarkis?!!”, kata Abdulrahman memberi jawaban sekaligus mengumpan pertanyaan retorik,

”Mereka memperoleh hal-hal baik dari pemerintah -- pendidikan gratis, kesehatan gratis, subsidi perumahan, dll. Lalu saat mereka mulai tidak menyukai pemerintahan, mereka meminta pemerintah segera turun. Saya yakin di negara manapun, meskipun itu AS,  tidak akan ada pemerintahan yang mau menerima hal itu.."
Hmm…untuk hal itu aku setuju. Dimanapun, bahkan di Amerika Serikat, tidak mungkin hal tersebut terjadi.

Menurutnya, pemahaman “demokrasi” oleh rakyat setempat  masihlah sangat prematur. Hal paling gampang adalah seperti menerapkan demokrasi dalam keluarga. Jika kita berkomitmen untuk memberikan anak kita hak mengekspresikan kemauannya di tengah-tengah keluarga, apakah kita juga akan membiarkan jika ia tidak mau makan makanan yang tersaji, tidak mau sekolah, dan menonton film-film yang belum boleh ia tonton?? Selaku warga negara di sebuah negara muslim, Abdulrahman menekankan bahwa menerima demokrasi bukan berarti membuang semua nilai-nilai tradisional. Dia percaya bahwa ada nilai-nilai islam yang harus dijaga – salah satunya adalah dalam hal menghormati orang tua dan mengakui kepemimpinan seorang pria/ ayah dalam rumah tangga.  (well, aku mau bilang hal tersebut pun tidak dibenarkan dalam ajaran kristen. Demokrasi tidak sama dengan kristen, babe… Hanya memang demokrasi muncul di negara barat yang dulu kebanyakan kristen. Dan berkat demokrasi pula, rakyatnya kini banyak yang atheis…)

Menurut Abdurahman lagi, bahwa pemerintahnya saat ini sedang dalam proses mempersiapkan demokrasi dapat diaplikasikan di negara mereka. Oleh karena itulah infrastruktur dan semuanya sedang dipersiapkan sebaik mungkin, sehingga akan tiba saatnya demokrasi siap diterapkan dalam forum yang lebih luas. Demokrasi tidak akan terwujud jika suatu negara masih sangat tergantung pada pemberian bantuan dari negara lain. Dia justru mencemooh demokrasi yang berlangsung di negara barat, seprti Amerika Serikat.
"Jika kita melihat tingginya tingkat kriminalitas dan pembunuhan disana, apakah kita bisa menyebutnya demokrasi? Jika masih ada orang yang ngga bisa makan 3 kali sehari disana, apakah kita bisa menyebutnya demokrasi?"
Kali ini pun aku setuju. namun jika ditelaah lebih jauh, maka kita akan menarik pemikiran ke konsep awal. bagaimanakah para filsuf dan pemikir membuahkan sebuah pemikiran yang dinamakan demokrasi? pada perjalannya yang memakan waktu ratusan tahun,demokrasi dikembangkan dengan berbagai cara. yang menonjol adalah saat demokrasi memberikan hak bagi para wanita dan warga kulit hitam (yang dulu kebanyakan budak) untuk turut berpartisipasi dalam pemilu, hingga akhirnya menyuarakan pendapat mereka di forum umum, lalu mendapat pekerjaan yang sepadan dengan warga kulit putih.
apakah harapan di bali itu? persamaan hak. mengapa kita butuh persamaan hak? sebagian orang menjawab "untuk memperjuangkan kesejahteraan masing-masing". Sebagian orang lain menjawab "untuk memperoleh kebebasan berekspresi dan berkarya".
oke...untuk hal itu jawaban bisa variatif. tapi banyak orang sepakat bahwa kesejahteraan menjadi sasaran utama mereka. lalu jika pemerintah telah memenuhi standar kesejahteraan tanpa sistem demokrasi, haruskah demokrasi itu dipaksakan???

Aku tau bahwa tidak ada sistem yang sempurna di dunia ini. Dan bukan berarti mau mencemooh negara yang menganut sistem demokrasi. Namun mencemooh bagaimana mereka memandang rendah negara yang memilih tidak menganut sistem demokrasi -- seakan-akan demokrasi itu paling hebat dan sempurna -- lalu mencegah bantuan atau pinjaman dari Bank Dunia mengalir hanya karena suatu negara tidak mau menganut sistem demokrasi. Menurutku itu benar-benar di luar urusanmu!!!

Aku jadi teringat dosenku, si kepala botak dari Singapura (hehehe…aku lupa namanya). Saat itu ia mengajar kami tentang sejarah dan pemerintahan di Asia Tenggara. Saat kelas kami sedang focus pada system di  Singapura, ia menunjukkan bahwa meskipun Singapura ketat dan terlihat banyak larangan di sana-sini,
"but it works…", katanya.Menurutnya, Singapura yang kecil secara bentuk, terkepung secara geografis, minim sumber daya alam, memang harus bertahan dengan cara yang ketat, sehingga lahirlah sistem yang berlaku seperti di Singapura saat ini. Dan aku rasa, itu pula yang terjadi di Bahrain.

Maka aku mengerti mengapa pemerintah Bahrain sedemikian keras menangani demonstran. Seandainya ini semua dapat disampaikan pada mereka yang tidak tahu... 

foto: Timothy, google