Saturday, December 1, 2012

Yordania: Pelajaran dari Petra



"Haji memashite...", seorang gadis kecil gipsy menyapaku dalam bahasa Jepang. Hehehehe…memangnya mukaku mirip orang Jepang??!!! Sambil menahan geli, aku akhirnya hanya tersenyum sembari menjawab,
"I'm not japanese...I'm indonesian"
seakan tidak menggubris jawabanku, dia lalu berkata,
"Do you like this stone? Take it, ma'am...I give it to you..", sembari memberikanku sebuah batu berwarna. Ngga berhenti disitu, si gadis melanjutkan,
How about jewelry, maám? I give you only 1JD..”
tawar-menawar sewa keledai dengan bocah gipsy
Dyuhhh….sudah kuduga akan berujung kesana…(‘_’!)

Hari ini aku, Yudi, dan Timmy mengunjungi Petra -- salah satu kota tua peninggalan suku Nabatean yang adalah penyembah berhala. Namun terlihat memang ada jejak kejayaan kerajaan Romawi disana saat menaklukkan wilayah ini di era 106M – terlihat dari beberapa arsitektur sisa bangunan yang berdiri, seperti coliseum dan kuil pemujaan. Disebut Petra, karena kota ini dibangun di lembah Yordania berbatu cadas dengan ketinggian mencapai 40an meter yang merupakan peninggalan jaman purba, mungkin jaman dinasourus (dalam persepsiku
J) saat Petra dulu masih berupa lautan. Begitu menakjubkannya Petra, hingga akhirnya sejak 7 Juli 2007 lalu Petra terpilih sebagai bagian “7 Keajaiban Dunia” yang baru.

Turis biasanya mengambil paket 3-5 hari perjalanan untuk mengelilingi Petra dan melihat situs-situs di dalamnya, karena seperti kukatakan tadi, Petra merupakan kota -- sehingga ada kawasan luas perumahan, kuil dan gereja, hingga makam-makam bangsawan. Tapi karena memperkirakan bahwa besok kami akan kembali ke Dubai -- dan mengingat jaraknya Petra 2,5 jam dari Amman -- maka kami cukup gila untuk menyanggupi mengelilingi kota tua itu selama 6 jam!

Kami berjalan di tengah belahan gunung batu yang sangat besar. Nyaris tidak ada rumput-rumput yang menyelimuti gunung raksasa tersebut – jika ada pun, hanya sembulan pohon kecil dengan ranting-ranting yang rentan patah. Dan setiap ada ranting atau semak belukar yang kami temukan, Timmy menebaknya sebagai semak belukar yang terbakar saat Musa menerima titah Tuhan untuk membawa Israel keluar dari wilayah Mesir…LOL!

Ada banyak sekali lubang-lubang di batu. Itulah rumah-rumah tempat orang Petra tinggal berabad-abad lalu. Ya, mereka tinggal di gua-gua yang mereka lubangi sendiri untuk dijadikan hunian. Pastinya dulu lubang-lubang itu berbentuk simetris, tapi kita sudah tidak beraturan karena pengendapan bebatuan dan sedimentasi dari pasir-pasir yang memenuhi celah-celah kosong tersebut setelah tidak ditinggali selama ratusan tahun. Menurut cerita, Petra sempat disebut sebagai kota hilang, karena keberadaannya tersembunyi dari para peneliti Barat hingga barulah pada tahun 1812, petualang Swiss, Johann Burckhardt, berhasil memasuki kota itu dengan menyamar sebagai seorang muslim.

berpose di pilar-pilar sisa peninggalan kerajaan Romawi
Di Petra, ada banyak makam bangsawan yang bahkan ukurannya lebih besar daripada rumah masyarakat umum – kemungkinan karena sekaligus digunakan sebagai tempat penyimpanan harta. Beberapa bangunan merupakan perpaduan antara budaya Mesir, Nabatean (yang merupakan warga setempat), dan Roma (yang menjadi penjajah di era itu). Di depan setiap situs selalu ada orang-orang gypsi – dewasa maupun anak-anak – yang menjajakan postcard, perhiasan, bahkan menyewakan kuda dan keledai mereka untuk ditunggangi mengelilingi situs-situs disana. Tentunya itu semua tidak gratis -- bahkan disewakan dengan harga yang cukup tinggi. Itu sebabnya gadis kecil gipsy yang menyapaku harus dapat ditolak secara halus sebelum dia menghabiskan dinar yang kubawa hanya untuk perhiasan dan transportasi :3



kami mengunjungi banyak sekali bangunan-bangunan peninggalan...ada yang nampak utuh, ada yang sudah hancur sebagian. Kami singgah di Al Khazneh ("The Treasury")  yang menjadi bangunan pertama yang ditemukan setelah melewati dinding batu yang super tinggi, bekas gereja dengan lantai berhiaskan mozaik ala Byzantine, Theatre, dan entah bangunan apa lagi.. Entah karena baru kali ini melihat peradaban kuno dunia lain, aku sangat kagum dengan kegigihan para pemahat di bukit batu ini....membuat bertanya-tanya bagaimana cara mereka melakukannya...seperti membuat lingkaran tiang yang halus misalnya??!!
kami mencapai monastery:)

Salah satu tempat yang sulit dicapai – tetapi wajib kunjung selama di Petra -- adalah monastery/ biara (
El Deir ). Letaknya di gunung batu di daerah yg disebut Ad-Deir. Di puncak itu terdapat suatu bangunan megah yang diperkirakan sebagai gereja pada jaman Byzantine. Untuk mencapainya, kau harus menaiki ratusan anak tangga. Jika kau mendengar bahwa mencapai monastery perlu menaiki 100 anak tangga, it's truly a lie… Setidaknya ada sekitar 800an anak tangga yang harus kamu lewati -- belum lagi beberapa jalan datar yang menambah langkah-langkahmu menjadi berjumlah ribuan. Aku berani bertaruh -- jika benar-benar berjalan dari gerbang masuk Petra -- nyaris tidak ada orang Indonesia yang sanggup mencapai monastery! Tantangan pertama adalah banyaknya kotoran keledai dan kuda di sepanjang jalan yang dilalui – membuat sebagian orang biasa langsung il-feel dan menyayangkan apabila sepatunya yang mahal harus dikotori dengan ‘that kind of stuff’. Kedua, tingginya tempat monastery berdiri yang membuat oksigen semakin tipis dan ratusan tangga itu membuat kamu kehabisan napas -- bahkan aku sempat menyuruh Yudi dan Timmy meninggalkanku di tengah perjalanan karena aku merasa akan semaput. Dalam hati aku ngedumel sendiri, “Mengapa di Indonesia kita tidak memiliki budaya berjalan kaki!! Terlalu banyak orang nyaman dengan berkendaraan pribadi kemanapun mereka ingin pergi (sayang sekali, aku termasuk dalam golongan itu..). Bahkan ada lelucon yang berbunyi,"kalau angkot itu bisa mengantar sampai depan rumahnya, itulah yang dipilih oleh orang Indonesia". Dapat dibandingkan dengan orang-orang barat. Meskipun mereka menggunakan high-heels, berjas, berdasi, namun tetap membudayakan menggunakan transportasi umum dan menyambung dengan berjalan kaki dari halte terdekat ke tempat tujuan mereka. Makanya, cukup mengejutkan juga pada mulanya saat mendaki tangga-tangga monastery kami banyak berjumpa dengan kakek-nenek berkebangsaan eropa yang tetap antusias mendaki-- meskipun mereka tertatih-tatih. Tentu saja, semangat mereka sangat menyidir diriku yang masih muda dan sudah hampir menyerah untuk dalam pendakian tersebut.(dan sudah berwajah pucat, dengan keringat tertahan dalam mantel)

Kembali pada diriku yang ngos-ngosan mendaki gunung batu itu (dan sudah tertinggal jauh di belakang Timmy dan Yudi), aku sempat putus asa dan memilih untuk berhenti. Sambil membasahi kerongkonganku yang kering dengan beberapa teguk air, kulihat ada seorang pria berukuran jumbo yang napasnya juga tersengal-sengal dan Nampak tertinggal dari rombongan…(pak…kita senasib…(T_T) ). Aku berpikir apakah sebaiknya aku menunggu Yudi dan Timmy saja untuk turun kembali ke situs di bawah, sampai akhirnya aku bertemu dengan seorang wanita turis asing. Aku tidak bertanya darimana asalnya. Rambutnya merah ikal dan nampaknya berusia sekitar 50an. Dia dalam perjalanan turun dari monastery.
“Is it still far to go up there?”, tanyaku padanya dengan wajah memelas
“No..”, katanya dengan wajah cerah,”Ït’s only at the back of that stone and you just straight…there it is”
“Ï almost lost my breathe”, kataku berkeluh kesah
Dia menyemangatiku,”You know what…I have asthma. But I don’t feel it. I just take a deep breath…deep breath. And what you see there, it’s worthied”
Aku tertegun. What???! Aku ngga akan kalah dengan orang yang asma untuk mencapai monastery itu;8 . Akhirnya aku mendaki dan mendaki…dan akhirnya, tidak sampai 10 menit, aku mencapai monastery…yippeeee -- meskipun kata Timmy dan Yudi wajahku sudah pucat pasi.
Sesampai di atas, aku ngga lupa mengambil foto dengan pose seperti patung liberty di depan monastery. Ini benar-benar pengalaman ngga terlupakan! Lalu kami istirahat sejenak dan memesan teh botol. Harganya 3 dinar = Rp 36ribu!!! Kalau ngga karena kecapean, aku ngga akan memesannya (T_T). Teh botol mahal itu diminum dengan kepuasan yang ngga terkatakan – kamu seperti baru memenangkan olimpiade!!
Untuk mendaki ke monastery kami menghabiskan waktu kurang lebih 1 jam! (mungkin karena aku beberapa kali berhenti untuk mengambil napas). Tapi untuk turun dari sana, kami hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit.
Dan yang menarik adalah dalam perjalanan turun yang terasa ringan itu, aku kembali bertemu dengan si wanita berambut merah
“Hey..”, dia menyapaku terlebih dahulu,”you did it!!!”
Ÿaa…I did it…”, kataku senang.
“Ÿou see…”
Yuppp…I see…Pengalaman ini memang memberiku pelajaran pribadi. Terkadang seringkali aku menyerah untuk sesuatu yang sangat berharga – bahkan membuat keputusan-keputusan yang salah. Padahal untuk memperoleh hasil yang aku inginkan, aku hanya perlu berjalan sedikit lebih jauh….ya, sedikit lebih jauh….^^

5 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Yuk boleh dikomentari ga?
    Kenalin sy Andyan,
    Pertama2 saya ngeblog tapi ga punya teman diskusi yang sesuai minat.
    Kedua kebetulan saya ada minat dalam masalah sejarah peradaban manusia.
    Ketiga saya akhir2 ini suka lihat kakak tampil di TV.

    ReplyDelete
  3. Peradaban dahululu belum tentu lebih mundur dari peradaban sekarang, begitu pula banyaknya penduduk, jaman dahulu belum tentu lebih sedikit dari sekarang. Tidak ada yg bisa menjamin secara pasti.

    Membangun peradaban maju, membelah bukit , membangun tiang, membangun bangungan sekalipun sudah dilakukan oleh engineering kuno.

    Maaf sara, sepengetahuan islamku disebutkan kehidupan masa lampau, kaum Samud membangun kota dengan membelah bukit, nah diriku paling yakin kaum itu ada di kota Petra itu.... tapi ini cuma pendapat, belum ada literatur dan studi yang cocok dengan itu.

    satu lagi, ternyata di islam tidak menganjurkan, bahkan bisa melarang bepergian dengan alasan yang tidak kuat, ke tempat yg telah dimurkai, dan diberikan bencana ke padanya. Nah kaum Samud itu salah satunya. Jadi aku pribadi sih, jadi agak terkendala ni, misal mau napak tilas ke sana.

    Di satu sisi hasrat ingin belajar ada.
    Di satu sisi, ada anjuran untuk tidak ke sana bila tidak ada tujuan darurat, atau tujuan jelas yang kuat.

    ReplyDelete
  4. tak perlu takjub, orang roma bisa bikin tiang besar, orang nabatean bisa ngeroposin bukit.
    karena nusantara saja bisa bikin borobudur, yang kemungkinan cara buatnya mirip cara buat piramida. tapi bedanya di nusantara ga ada onta buat bangun kali ya.


    Oh ya ada yang menarik, tentang opini kakak , yaitu jalan kaki.

    Jalan kaki, baunya remeh, tapi ternyata budaya yang luar biasa. Puji tuhan diriku meskipun tidak sering, jalan kaki masih jadi pilihan, karena keadaan, mau2 ga mau kuliah harus jalan, karena di tempat sudi ku , kendaraan stop di luar gerbang kampus , dan ga bisa masuk.

    Perlu dibenamkan , sehingga meresap ke ranah moral masyarakat Indonesia , bahwa jangan anggap jalan itu menurunkan kelas sosial suatu insan.

    Karena budaya jalan udah lekat di kampus, pernah aku ngobrol dengan teman sekampus, dan bilang,
    "emang jalan kaya gini, elo ga kecepetan?"
    "enggak malahan kalau gw jalan kaya gini, di Singapur bisa ditabrak orang."

    wah, selambat apa sih orang Indonesia jalan, sampai bisa ditabrak gitu. #ANECDOT

    ReplyDelete
  5. Dulu pas masih SMP aku juga pernah di tanyain sama nenek bule asal Belanda di borobudur kenapa aku turun tangga nya lama banget. Padahal masih muda. Baca tulisan si kakak reporter jadi ngerasa kalau aku ga sendirian. Hehehehehe...

    ReplyDelete