Monday, February 3, 2014

360: HARGA KEPUTUSAN POLITIK



Patung Kristus Raja di Dili
Selama beberapa kali mengunjungi daerah perbatasan Indonesia, mungkin perbatasan Indonesia- Timor Leste adalah yang terbaik. Ini kali pertama berkunjung ke Atambua, NTT. Ngga duga lho, ada jalanan mulus yang menghubungkan ibukota Kupang hingga ke daerah perbatasan di Mato Ain (meskipun jalanannya kecil, yang jelas jalanannya sudah berselimutkan aspal dengan baik)

Perjalanan menuju Atambua lumayan....302 km!! ( atau sekitar 7 jam – kami melewati Soe – Kefamenanu, hingga akhirnya tiba di Atambua). Dan selama itu juga, mata ini dimanjakan oleh pemandangan khas daerah indonesia timur – rerumputan kering yang ditinggali oleh sejumlah hewan ternak.

rumput NTT yang menguning karena teriknya matahari daerah Timur
Cuaca sangat panas. Pada siang hari, seakan warna yang ada hanya kuning dan coklat. Matahari terasa terik sekali, sampai-sampai dedaunan cenderung berwana coklat kering. Hampir tidak ada rumput menghijau. (mungkin akan cukup terganggu, kalau perjalanannya ngga pakai mobil yang ber-AC, ya...).

Membosankan?? Justru sebaliknya...mata ini sangat termanjakan dengan pemandangan di sepanjang perjalanan Kupang menuju Atambua. Apalagi kalau liat sunset...! benar-benar kereeenn.... (kayaknya tangan sampai cape’ karena harus ambil beauty-shot berkali-kali). Hal yang menghibur adalah setiap kali melihat sapi atau babi menyebrang dengan seenaknya di jalan raya:D...(mereka sama sekali ngga takut dengan kendaraan). Mungkin karena masyarakat disini memberikan mereka hak istimewa dibandingkan masyarakat perkotaan. Dan hal yang sangat aku hargai adalah ketika pada malam hari dapat melihat bintang-bintang memenuhi langit....!! Rasanya sudah lama sekali tidak menyaksikan maha karya Tuhan yang satu ini......Thank God for this moment...^^

ternak bisa lewat jalanan, melengos seenaknya
Siapa yang akan menyangka, 14 tahun lalu, rute yang sama menyisakan luka bagi sebagian orang?? Saat itu mereka harus mengungsi, sebagai konsekuensi memilih menjadi warga negara Indonesia. Hasil jajak pendapat di Timor Timur memutuskan bahwa wilayah yang sempat bergabung dengan Indonesia di tahun 1975 tersebut akhirnya memilih untuk merdeka – di bawah bendera negara baru bernama Timor Leste. Mereka yang tidak rela untuk menyandang status warga negara baru, maka harus merelakan harta bendanya dan mengungsi ke wilayah Indonesia. Tidak hanya merelakan harta benda, tapi juga keluarga yang berbeda pendapat saat memilih mau jadi warga negara apa.

Joau menunjukkan saya jalan pintas menyebrang ke Timor Leste secara ilegal
Sayangnya, di saat yang bersamaan, aku hanya menyaksikan keputusan melepaskan Timor Timur dari televisi. Apa yang kurasakan saat itu sangat aneh -- antara tidak mengerti (maklum..masih 14 tahun), namun juga ada rasa kecewa karena terpecahnya 'tubuh' Indonesia. Bisa jadi itu adalah efek penanaman ideologi pancasila yang kuterima sejak kecil melalui TVRI dan pelajaran PPKn (masih ingat mata pelajaran itu?? Ok...lupakan...)

Kembali ke Timor Timur. Ternyata 14 tahun -- sejak peristiwa 1999 -- cukup untuk membuat seseorang memulai hidup yang baru. Meskipun masalah tempat tinggal pengungsi yang seharusnya dijamin pemerintah tidak kunjung selesai, ada banyak hal baru yang dimulai. 

tokoh agama memegang peranan penting di NTT dan Timor Leste
Keluarga besar yang terpisah, akhirnya memilih untuk tetap saling mengunjungi, meskipun harus melintasi pos lintas batas setiap hari/ minggu. Jika tidak punya paspor, mereka memilih melewati jalan tikus (seorang warga menunjukkan padaku beberapa jalan tikus menuju desa di Timor Leste). Selain itu, beberapa orang bahkan menikah lagi dan membangun rumah tangga yang baru. Yang kehilangan pekerjaan (bekas milisi, bekas tentara, pekerja di Timor Timur) memilih untuk membuka ladang, beternak, atau menjadi nelayan. 

Kita ngga bisa mengatakan mereka telah hidup sejahtera, sih. Aku nyaris ngga menjumpai puskesmas. Hanya ada beberapa sekolah (mungkin hanya 1 SMA). Selain itu, sulit sekali mencari fasilitas air bersih. Rumah-rumah cenderung menyediakan puluhan jirigen untuk membawa air dari tempat yang cukup jauh. 
bocah perbatasan NTT

Tapi yang aku rasakan adalah ketulusan masyarakatnya. Tim liputan kami disambut dengan ramah. Memang dalam banyak hal, itu juga berkat fixer kami yang kenal baik dengan daerah itu dan mampu berkomunikasi dengan bahasa Timor maupun Tetun. Kami merasa tidak dicurigai. 

Mereka bersedia untuk berbagi cerita, bahkan menyediakan waktu untuk menghidangkan makanan bagi kami, seakan-akan kami keluarga yang datang dari jauh. Padahal cerita yang kami minta untuk dibagikan menyangkut isu-isu yang sensitif – tidak ada yang menyangkal bahwa kisah Timor Timur memiliki kenangan tersendiri – mereka membagikannya seakan itu hanyalah kisah biasa. Mungkin juga karena sejak lama mereka telah hidup dengan situasi tersebut, dan menerimanya sebagai bagian yang mewarnai jalan hidup mereka. Tidak ada satu pun terlontar hujatan terhadap pemerintah, tuntutan atas nasib mereka saat ini, ataupun menanyakan perhatian masyarakat Indonesia lainnya yang nampak ‘anteng’ di pulau Jawa.
melihat foto-foto mereka

Hidup terus berjalan, bahkan di Atambua... apa yang mereka lihat setiap hari adalah bagaimana mencapai masa depan – dengan atau tanpa bantuan pemerintah pusat. Mereka ngga ambil pusing kalau di Jakarta orang-orang ribut karena harga BBM naik, pejabat tertangkap korupsi, atau bahkan ibukota kebanjiran. Apa yang mempengaruhi hidup mereka sehari-hari adalah gereja, TNI penjaga perbatasan, dan transaksi dengan Timor Leste...
hidup saling mengasihi di perbatasan NTT

ehhh....ada tambahan...

Satu cerita menarik yang kudengar saat itu... Sekitar tahun 2011, presiden SBY bersikukuh mengunjungi Atambua via jalur darat. Padahal jalur darat Atambua di beberapa bagian rusak cukup parah. Belum lagi rencana SBY di last minutes ingin agar perjalanan 1 hari itu menjadi 2 hari (alias ada tempat peristirahatannya). Yang terjadi adalah semua pejabat pemda bergotong royong untuk menutupi segala kekurangan disana-sini, bagaikan kain  bolong yang ditambal di berbagai bagian. Bahkan rumah peristirahatan SBY entah bagaimana diusahakan hingga sampai dipasang AC segala. Intinya, kerja keras para pejabat pemda berhasil...

Budaya menyenangkan atasan memang melekat pada orang Indonesia...di daerah manapun. Bahkan hal yang awalnya ngga ada dan ngga bisa diberikan bagi warganya, bisa tiba-tiba ada atau di-ada-ada-kan. Kunjungan SBY 2 hari, jalanan bisa mulus. Padahal belasan tahun sebelumnya, kondisi jalanan tak terurus. Ahh....andaikan sedemikian cinta pusat pada daerahnya, mungkin tidak akan mudah setiap warga untuk berteriak "tolong lepaskan....kami ingin merdeka!" 


bersama Xanana Gusmao







1 comment:

  1. kak lori udah nonton atambua 39^ belum? aku pengen nonton dan ga keburu waktu itu. pengen nyoba kesana juga pengen tau rasanya gimana di flores. sepertinya benar2 menyenangkan

    ReplyDelete