Tuesday, August 25, 2015

KEHJE SEWEN: hari 1

bagi saya, orangutan memang sudah seharusnya berada di rumahnya......hutan


Suatu hari di bulan Mei 2012......

Pesawat mendarat mulus di bandar udara sepinggan, Balikpapan.....kota kelahiranku. Masih sekitar jam 9 pagi. Aku menatap setiap tiang dan pondasi bandara itu -- nyaris tidak ada yang berubah dengan arsitekturnya selama belasan tahun. Ukiran khas dayak yang mengelilingi tiang kayu coklat berdiameter lebar, dengan palang-palang atap yang bermotif serupa.

Jauh-jauh ke balikpapan, tugasku selalu sama.....liputan. Liputan kali ini agak berbeda dari yang pernah kulakukan. Kali ini, kami mengangkat cerita aksi lepas liar orangutan. Jadi, seperti yang kamu duga, lepas liar spesies endemik ini ngga mungkin di tengah kota, kayak Balikpapan. Kami akan pergi lebih jauhhhhhhhhhh......masuk hutan. 

Perjalanan akan dicicil selama 3 hari. Dan khusus hari ini, kami menargetkan perjalanan 18 jam menuju penginapan kami (yang entah dimana persisnya...)

Tim yang membawa kami adalah Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF). Dan ini dia rombongan wartawan yang ikut..... Perkenalkan.....
Lori Singer (reporter Metro TV)
Agung Maulana (cameraperson Metro TV)
Syahrul Karim (jurnalis Media Indonesia)
Regina Safri (fotografer Antara)

(Jujur.....kami baru mengenal satu sama lain dalam liputan ini...:)...)

Lokasi lepas liar orangutan ini,  sebenernya aku ngga bisa paparkan persis. Mereka menyembut tempat itu bernama "Gunung Belah". Lokasinya berkisar di kecamatan muara wahau, kalimantan timur -- tempat suku dayak wehea telen bermukim. 

Sebagai penduduk (atau kamu bisa menyebutnya "mantan penduduk") yang melewatkan masa kecil di Kalimantan, aku belajar sedikit mengenai suku dayak. Di Kalimantan Timur, suku ini banyak menggunakan burung enggang -- salah satu hewan endemik selain orangutan -- sebagai lambangnya. Sebaliknya, penggunaan simbol-simbol orangutan nyaris ngga terekspos dalam pahatan kayu, maupun tenunan manik khas kesenian dayak.

Tapi, jangan salah.. Ternyata orangutan memiliki makna penting bagi suku dayak -- yaitu sebagai sahabat. Orangutan berfungsi untuk pemberi kabar bila musuh mendekat. Caranya? Melalui suara mereka.. (Penduduk asli tentunya bisa membedakan suara orangutan, ya....seperti di film Tarzan). Itu sebabnya, bagi orang dayak, menjaga kelestarian orangutan sama dengan menjaga hidup sahabat mereka sendiri.

Terancamnya orangutan emang ngga terlepas dari rusaknya hutan tempat mereka tinggal. Musa Ba Helaq, sekretaris adat Dayak Diak Lay, menceritakannya pada Mas Syahrul -- rekan kami dari Media Indonesia. 
(Perlu diketahui, Diak Lay adalah nama salah satu desa tempat tinggal suku dayak wehea telen. Desa lainnya yang menjadi tempat tinggal mereka, adalah desa Bea Nehas dan desa Beq)

Menurut Musa, masyarakat dayak wehea telen tinggal di kawasan gunung Pea Pung dan Gunung Gua Leseg, yang dikelilingi oleh Sungai Telen. Selama puluhan tahun (atau mungkin ratusan tahun) mereka tinggal berdampingan dengan hutan, sesuai dengan ajaran nenek moyang mereka. Bagi mereka, yang namanya memberdayakan hasil hutan, itu hanya boleh seperlunya saja. 

Kalau ada yang melanggar, ada hukumannya lho. Mereka ngga akan diijinkan untuk masuk hutan selama periode waktu tertentu. Selain itu, mereka juga kena hukuman tebusan, dengan memotong babi seberat 100 kg, satu potong ayam, satu butir telur, dan puasa selama 3 bulan. (Aku sendiri ngga memahami makna dari setiap lambang hewan dan benda tebusan ini....:/...)

Yahh...secara hukumannya cukup berat. Jadilah aturan tersebut ditaati selama ini. Tapi semuanya mulai berubah, sejak awal tahun 2000 lalu. Menurut Musa, perubahan nampak saat perusahaan kelapa sawit mulai masuk hutan. Dampak yang paling dirasakan di hutan hujan tropis yang cenderung sejuk sepanjang tahun itu, adalah saat musim kemarau cuaca cenderung terlalu panas. Sebaliknya, saat musim hujan, mereka bisa mengalami banjir. 

Efek negatif lain dari kehadiran perusahaan sawit, adalah hasil buangan pabrik, yang kemungkinan dialirkan ke sungai. Menurut Musa, seringkali air sungai terlihat lebih keruh, berwarna lebih kecoklatan dan agak berminyak. Padahal buat suku pedalaman, sungai adalah nadi kehidupan, selain hutan. Mereka minum, mandi, mencuci, masak.....semuanya menggunakan air sungai.

Kesimpulannya adalah, terancamnya nasib orangutan saat ini, sama dengan terancamnya nasib suku pedalaman -- mereka yang sama-sama menganggap hutan sebagai rumah dan sumber kehidupan. 

Aku sendiri ngga mengerti, seberapa kuat kemampuan suku pedalaman untuk bernegosiasi dengan pemerintah daerah setempat, untuk mempertahankan nasib mereka. Yang jelas, mereka bisa memilih untuk abai. Toh generasi muda dayak bisa saja memilih untuk ngga melanjutkan tinggal di hutan. Bisa jadi mereka memilih pergi ke kota, bekerja menjadi buruh atau pegawai. Lambat laun, desa akan menjadi sepi, dan hanya meninggalkan generasi tua yang tetap ingin mempertahankan hidup mereka disana.

Tapi kalau orangutan, mereka mau pindah kemana? Mereka ngga bisa membela diri mereka sendiri, atau tiba-tiba ganti profesi jadi buruh juga, kan....

(Mmmm....ceritanya to be continued, ya.... perjalanan kami akan segera dimulai. 2 monil land cruiser sudah siap menjeut kami...:D.... Wish me luck...!)



SUMBER FOTO: google.com

1 comment:

  1. Semoga cerita ini menjadi kenangan terindah pada masanya dan reperensi untuk anak muda Adat Wehea pada umumnya untuk menjaga kelestarian lingkungan karena sumber air adalah sumber kehidupan semua orang.salam dari saya MUSA BA HELAQ DIAQ LAY.WAHAU

    ReplyDelete