Monday, May 5, 2014

360: ADA APA DI TAMBORA??



Aku berusaha berjalan di lorong yang sempit itu.
“Maaf ya, Mbak..rumahnya lagi berantakan”, kata si bapak pemilik rumah
“Ngga pa-pa, Pak”, kataku sambil sedikit tersenyum
Pada kenyataannya, aku yakin rumah itu memang sangat berantakan dan ngga bisa diperbaiki – dalam artian dibereskan. Gimana engga, bahkan di lantai tempat aku berjalan terhampar barang-barang bekas yang seakan sayang untuk dibuang. Boneka rusak, kursi bekas, tumpukan kertas, dan entah apa lagi. Entah tata ruang apa yang dianut oleh pemilik rumah ini, sampai-sampai dari pintu masuk pun wujudnya sudah berupa lorong-lorong.
Rumah itu agak gelap. Aku menunduk sedikit untuk melihat, tiba-tiba gigiku membentur sesuatu....tangkai sendok, yang teronggok di atas piring bekas dipakai makan. Dalam hati aku bertanya sudah berapa lama piring bekas pakai itu diletakkan disana

Inilah liputanku yang selanjutnya: Kepadatan Penduduk. Terinspirasi dari Bonus Demografi yang dialami Indonesia per 2010, aku ingin melihat seperti apa sebenarnya hidup di lingkungan dengan jumlah penduduk yang sudah tidak ideal. Dan lokasi yang paling tepat untuk mengamatinya adalah: Kecamatan Tambora. Kecamatan ini dinobatkan sebagai wilayah terpadat se-Asia Tenggara. Rumahnya berdempetan nyaris tanpa sela. Jalan di gang-gang sempit yang lebarnya hanya berkisar 1 meter. Bahkan untuk pertama kalinya, bisa melihat selokan yang lebarnya ngga sampe sejengkal tangan, alias 15cm...ck...ck...ck...

Rumah yang kudatangi ternyata ditinggali oleh empat keluarga yang masih berhubungan satu darah. Alhasil rumah kecil itu pun dibagi menjadi beberapa bilik, meskipun akhirya menghasilkan gang-gang sempit dalam rumah beserta dengan perabotan using yang campur aduk. Dan rumah ini hanyalah satu gambaran dari sekian banyak rumah di kecamatan Tambora.

Aku terheran-heran, bagaimana mungkin masih ada orang yang mau tinggal di lingkungan seperti itu. Tapi keberadaan mereka yang bahkan telah tinggal di sana puluhan tahun adalah bukti. Bahkan kontrakan yang kunilai tidak layak pun nyaris ngga pernah sepi peminat. Rata-rata para pengontrak adalah buruh konveksi, satpam, dan supir. Hidup keras Jakarta membawa mereka tinggal disana. Satu bilik atau ruang yang lebarnya sekitar 2,5 x 2,5 m2 pun dihuni oleh 3-4 orang, demi penghematan. Tidur pun akhirnya berhimpitan satu sama lain.  

Ngga jarang dari mereka yang tidur dengan suatu sistem. Jika 2 orang pergi kerja di siang hari, maka 2 lainnya akan tidur di ruangan. Saat malam tiba, maka tidur pun bergantian. Hal tersebut tidak hanya lumrah bagi para bujangan, tapi juga bagi pengontrak berkeluarga. Jangan heran jika tengah malam masih bisa melihat bocah-bocah berkeliaran di gang-gang, atau bahkan tidur di depan siskamling. Itu pertanda bilik sedang dipakai orang tuanya untuk istirahat sehabis kerja seharian.

Setiap kali pulang sehabis liputan di tempat itu, aku masih selalu termangu dan berpikir keras. Adakah rasa kekeluargaan yang membuat mereka sulit meninggalkan kecamatan Tambora. Seiap kali menyusuri gang demi gang, sapaan terhadap ketua RT, RW, atau Lurah selalu terucap dari mulut para warga. Suasana kedaerahan yang sangat sulit ditemukan di tengah kota Jakarta yang individualis.

Adakah kecamatan Tambora yang menjadi lokasi pengancam keselamatan jiwa – karena seringnya menjadi langganan kebakaran – justru menyediakan perasaan dihargai sebagai manusia, meskipun lokasi tempat tinggal mereka sendiri tidak cukup manusiawi??


No comments:

Post a Comment