Tuesday, August 5, 2014

360: 3rd DAY - TAMBRAUW

taukah Anda bahwa profesi dokter hanyalah 1 dari sedikit profesi yang disumpah saat dijabat?

“Siapa yang menang piala dunia?”, Tanya Dr. Lie pagi itu
“Jerman..”, kata salah seorang penghuni kapal…..
“Papi bilang juga apa….memang harusnya Jerman….”, dan dia mulai mengoceh dengan bangga tentang betapa layaknya Jerman menjadi juara…

Pastinya pagi itu menjadi begitu membahagiakan bagi Dr.Lie. dan semoga mood itu membantunya untuk melakukan operasi sepanjang hari ini. Hal yang membuatku amazed adalah, Dr.Lie dan tim nya pernah memecahkan rekor mengerjakan lebih dari 50 operasi dalam waktu 1 minggu!! Itu terjadi di Pulau Kei, Maluku. Untungnya, hingga hari ini semua operasi itu berhasil….

Dr.Lie sendiri bukannya tanpa alasan menjadi sangat bangga akan Jerman. Itu adalah negara tempat ia mengambil sekolah kedokteran. Apa sebenarnya yang membuat seorang Lie Dharmawan ingin menjadi dokter? Toh dulu ayahnya bukanlah seorang dokter. Ia pun tidak datang dari keluarga yang berada.

Usut punya usut, saat Dr. Lie masih kecil, pengalaman kematian adiknya dan inspirasi dari seorang Belanda yang tinggal di lingkungan itu membuat dia bercita-cita untuk menjadi dokter. Dan karena saat itu tersohor kabar bahwa kedokteran terbaik adalah di Jerman, ia berkeinginan untuk belajar ilmu kedokteran di Jerman. Se-simple itu saja…

Lie kecil mengemukakan cita-citanya untuk menjadi dokter….dan ia ditertawakan. Sejak itu dia menjadi mau untuk mengungkapkannya, dan akhirnya hanya mengucapkannya dalam doa setiap hari. Lie kecil berkata pada Tuhan,
“Tuhan…aku ingin menjadi dokter…dan sekolah di Jerman…”

para dokter memotret bengkak di leher seorang pasien
Saat dewasa, bukannya tidak pernah Lie mencoba melamar berbagai beasiswa untuk bisa sekolah di Jerman. Namun entah mengapa, ia selalu gagal di psiko test. Konon kata orang-orang yang membaca hasilnya,”secara psikologi, kamu ngga cocok jadi dokter…”

Terus terang, aku bersyukur bahwa saat mendapatkan pernyataan itu. Lie tidak menyerah dan memilih menerima kata-kata itu. Karena jika ya, maka saya tidak akan memanggil dia hari dengan sebuatan “dokter”.

Karena tidak tembus dengan beasiswa, ia memutuskan untuk sekolah dengan biayanya sendiri. Akhirnya, ia berhasil sekolah di University Hospital di Cologne, dan Free University Berlin, Jerman hingga memperoleh title “spesialis bedah jantung”…title yang saat itu belum ada di Indonesia.

antusiasme warga untuk mendapatkan pengobatan gratis di Tambrauw, Papua Barat
Tapi entah mengapa suatu hari ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia….dan menelan kenyataan pahit, bahwa saat itu Indonesia tidak siap dengan non-Islam dan non-pribumi yang lebih unggul dari mereka. UI menolaknya dengan pongah, bahkan hanya melirik kartu nama yang ia sodorkan. UGM menolaknya layaknya kesantunan jawa, yang menyuruh dia mencoba untuk melamar di semester berikutnya…lalu berikutnya….lalu berikutnya….selama  2 tahun. Dan akhirnya Dr. Lie tidak pernah mengabdi di universitas negeri ini.

Mungkin sebagian orang akan berkata,”Kenapa harus kembali ke Indonesia? Toh sudah hidup enak di Jerman….penghasilannya bagus di Jerman….suasana akademisnya bagus di Jerman…lalu mengapa? Mengapa Dr. Lie seperti memilih tinggal di negara dengan peradaban yang tertinggal…bahkan tidak menghargainya?”

Mungkin Dr. Lie tidak akan cukup punya kata-kata untuk menjelaskan apa yang dia rasakan, sehingga kita bisa memahami mengapa ia mengambil keputusan itu. tetapi itulah hal yang harus ia lakukan….dan ia menyebut itu sebagai jalan hidupnya.

kegiatan DoctorShare telah menyentuh beberapa dari sekian banyak wilayah yg butuh tenaga medis
Tanpa jalan itu, maka organisasi DoctorShare tidak akan berdiri berpuluh-puluh tahun berikutnya, dan Rumah sakit apung mungkin tak pernah ada. 

Mengapa tidak ada milyuner bangsa ini yang membuat rumah sakit apung sebelumnya, jika memang mereka mau memberantas kehidupan yang ngga equal di negara ini? Kenapa harus seorang Dr.Lie menjual rumahnya untuk menghasilkan kapal kayu itu? Mengapa orang-orang kaya itu ngga membuka jalur ke pedalaman, membangun pasar atau toserba, memberikan transportasi gratis untuk distribusi barang bagi warga pedalaman? Itu semua bicara mengenai panggilan hati…dan setiap orang memilikinya secara personal. Terkadang panggilan itu (mari kita sebut: panggilan hidup) tidak akan bisa dimengerti oleh orang lain…bahkan orang terdekat dengan kita.

Setiap orang yang memuji Rumah Sakit apung itu, pernahkah mereka berpikir bagaimana cara mereka memperoleh pendanaan untuk operasionalnya dari pulau ke pulau? Sesuatu yang menggelitik hati saya saat Dr. Lie berkata,
”Orang agak berbeda saat menerima kami setelah RSA muncul dalam acara Kick Andy…”

pernahkah terpikir bahwa untuk menyandarkan kapal ini tidak semudah kita melihatnya...?
Lalu bagaimana perlakukan orang-orang itu sebelumnya terhadap RSA? Pernahkah mereka tau bahwa RSA memiliki kendala ijin hingga hari ini karena belum ada aturan UU di negeri ini mengenai kapal rumah sakit? Taukah mereka di hari launching RSA, ijin baru keluar pukul 2:00 dini hari? Taukah mereka pergumulan RSA saat mau mengganti mesin kapalnya dari mesin traktor? Taukah mereka sejumlah menteri memberi dukungan berupa tepukan bahu, namun tidak satu pun surat kuasa keluar untuk mempermudah mobilitas mereka dari pelabuhan ke pelabuhan? Bahkan seorang syahbandar pernah berkata dengan ‘indah’nya, “Kamu boleh bawa SBY kesini, tapi selagi di wilayah ini…kalau saya katakan kapalmu tidak akan berlayar, maka tidak akan…!”. saya sempat berpikir pria mana yang begitu tega berbicara sangat kasar dengan seorang kakek berusia lebih dari 65 tahun??!! Tapi, seperti lagu lama menyanyikan ".....itulah Indonesia...."

Nyatanya... hingga di hari saya meliputnya, kapal itu masih berlayar….dan semoga terus berlayar….untuk membawa orang-orang seperti Dr.Lie dan dokter-dokter muda lainnya…yang berusaha memenuhi panggilan hidupnya…

ini adalah calon rumah sakit apung yang ke-2. Mari kita doakan supaya lancar hingga berlayar...

No comments:

Post a Comment