Friday, June 29, 2012

Everest: hari 23

Bhaktapur, kota lumbung padi
Jika kita menyukai bangunan tua, indah, dan unik, maka Bhaktapur merupakan tempat yang perlu kita kunjungi. Dan ide untuk mengunjungi Bhaktapur awalnya dicetuskan oleh mba Ami -- salah satu anghota romnongan perjalanan kami. Karena lagi punya waktu luang dan masih harus menunggu Anton dan rombongan tiba di Khatmandu, aku menyetujui ide tersebut. Jadi setelah menghabiskan sarapan pagi, kami langsung menyewa taxi menuju Bhaktapur.

Bhaktapur ternyata cukup jauh juga. Letak kota tua ini adalah 12 km sebelah timur Khatmandu. Dulu, Bhaktapur adalah kota tempat tinggal raja dan keluarganya. Ngga heran klo di Bhaktapur ada banyak kuil pemujaan -- yang bukan hanya menggambarkan Nepal memiliki penduduk yang religius, tetapi juga menjadi 'tugu peringatan' bagi rakyat untuk selalu mengingat raja yang menjadi pengagas berdirinya kuil tersebut. Untuk masuk ke Bhaktapur ngga gratis lho...kecuali bagi penduduk asli Nepal. Untuk masuk ke kompleks kota tua Bhaktapur, turis asing perlu membayar US$10 (lumayanan,ya...). Padahal klo warga Asia Selatan atau China, cukup membayar 50 rupee saja...! Jauh sekali bedanya..:'(

guide kami membubuhkan tika pada mba Ami
Menurut guide kami, Bhaktapur berasal dari bahasa Nepal kuno yang berarti "tempat padi". Yaa...sebenarnya Bhaktapur adalah kota persediaan makanan, namun akhirnya dipilih menjadi tempat raja dan keluarganya tinggal. Sampai hari ini, Bhaktapur masih menjadi tempat penggilingan padi yang dikerjakan oleh penduduk lokal yang telah tinggal disana turun temurun. Jadi sebelum masuk gerbang kompleks kota tua, aku menemukan sekelompok warga yang sedang menggiling padi. Namun karena banyaknya kuil yang didirikan para raja, Bhaktapur lebih dikenal sebagai kota tempat pemujaan.

Saat melewati gerbang utama untuk masuk ke kompleks kota, aku seakan-akan melewati gerbang waktu yang membawaku ke masa lampau...kota itu benar-benar kuno...! Mata ini langsung disajikan pemandangan kuil, istana, dan patung-patung dewa yang menjulang. Dari sekian banyak bangunan, kami akhirnya memilih untuk masuk ke museum terlebih dahulu.

pemandangan kota tua Bhaktapur
Di museum, ada banyak sekali gambar dewa...entah dewa apa saja. Yang aku ingat, penduduk Khatmandu yang rata-rata adalah pemeluk ajaran hindu, mengagung-agungkan 3 dewa besar: Brahma, Wisnu, dan Siwa. Setiap dewa itu memiliki rupa lain yang memiliki nama yang berbeda lagi; ada rupa baik, ada rupa jahat. Belum lagi ditambah istri-istri dewa tersebut akan menambah jajaran dewa yang harus disembah. Menurut cerita, bahkan Krisna (raja dalam mitologi adalah inkarnasi Wisnu) memiliki lebih dari 16.000 istri...! Yang agak nyeleneh, bahkan ada gambar dewa sedang bercinta... Dan meskipun bagi kita penggambaran itu aneh sekali (bagaimana kalo dilihat anak-anak!???), tetapi hal tersebut bukanlah hal yang tabu bagi masyarakat Khatmandu. Bahkan di beberapa kuil mereka, terdapat ukiran dan relief serupa, baik manusia maupun hewan. Mungkin saja mereka melihat hal tersebut sebagai salah satu proses yang lazim terjadi di alam, layaknya kehidupan dan kematian.

patung singa di dekat gerbang
Keluar dari museum, barisan kuil, istana kuno dan gang sempit yang meliuk-liuk kembali terlihat. Kini kami menuju Golden Gate. Golden Gate adalah pintu masuk utama ke halaman dan Istana 55 jendela. Disebut Golden Gate, karena memang warna gapura ini bagaikan emas -- dibangun oleh Raja Ranjit Malla dan merupakan salah satu ornamen yang paling indah dan kaya dengan ukiran. Di sisi penyangganya, terukir wajah Dewi Kali dan Garuda, burung tunggangan Dewa Wisnu.

atap-atap bangunan di Bhaktapur yg khas
Istana 55 jendela adalah tempat tinggal keluarga raja di masa lampau, dibangun pada abad ketujuh belas oleh Raja Bhupatindra Malla. Lagi-lagi, menurut guide yang mengantar kami, angka 5 dipercaya sebagai angka keberuntungan, makanya angka 5 dan kelipatannya banyak dipakai di bangunan istana dan kuil-kuil yang ada di Bhaktapur.  Raja tidak lagi tinggal di sini sejak gempa bumi di tahun 1934 yang merusak kompleks Istana, namun istana kini merupakan tempat menarik untuk wisata budaya di Kathmandu.

Ada banyak sekali kuil, sampai-sampai aku ngga tau kuil yang mana, yang bernama apa. Tetapi hampir setiap kuil memiliki teras, dimana terdapat pasangan patung yang sedang berjongkok, dua gajah, dua singa, dan patung dua orang laki-laki, yaitu patung Jaya Malla dan Fatteh Malla, yang konon kabarnya sepuluh kali lebih kuat daripada orang lain.
belajar membuat kerajinan tanah liat


Jujur saja, mengelilingi Bhaktapur itu melelahkan. Lagipula di kota tuaini terdapat debu dimana-mana, entah dari ampas padi, ataupun kikisan bangunan yang terbuat dari bata merah. Namun setiap bangunan kuno yang tetap berdiri kokoh selama ratusan tahun memang mengundang decak kagum. Sejak menjadi bagian dari warisan budaya dunia yang ditetapkan UNESCO, keaslian dan kekunoan Bhaktapur dilestarikan. Bahkan warga yang tinggal di dalamnya pun hidup dengan cara yang masih tradisional. Tetapi walaupun demikian, internet dan restoran masakan internasional pun sudah merambah kawasan cagar budaya ini. melintasi lapangan, kami menemukan sekelompok pembuat pot tanah liat. Mereka sedang sibuk mencelupkan mulut pot tersebut, lalu menjemurnya di tengah lapangan. Kurva-kurva coklat beraturan, mulus dan halus, berbaris di bawah terik matahari. Agak tertarik, aku meminta seorang kakek pembuat pot tanah liat mengajari saya membuatnya...ternyata susah juga... Akhirnya kami berhasil membuat sebuah asbak tanah liat, meskipun keberhasilan tersebut lebih banyak karena sentuhan tangan si kakek...;)

yang berhasil....si kakek :p
Apakah nilai moral dari cerita panjang perjalananku hari ini? Hmm...hampir tak ada;D Aku rasa aku hanya bersenang-senang sepanjang hari ini... well..hmm, yeah....tapi aku harus salut dengan jiwa para penduduk Bhaktapur yang religius....Hampir di setiap patung dewa, terdapat sesajian ataupun cercahan bubuk merah sisa pemujaan para warga yang datang setiap harinya. terlepas dari kondisi politik dan ekonomi negara mereka yang cukup memprihatinkan, mereka masih memiliki pengharapan yang besar pada dewa-dewa mereka untuk memelihara hidup mereka setiap hari....

No comments:

Post a Comment